Basa-Basi #21 : Kontroversi Puisi, Apakah Sastra Memang Punya Batasan ?
Kemarin ada sebuah
berita yang cukup panas, dimana seketika semua media tertuju pada kasus
Sukmawati.
Senja ini dengan
secangkir kopi saya akan melayang-layang terbang mengitari kasus ini.
Jadi awalnya puisi
Sukmawati Soekarnoputri dengan judul Ibu Indonesia ini dibacakan pada acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion
Week
Ibu
Indonesia
Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut
Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia
Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai
demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi
Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat
kepada ibu Indonesia dan kaumnya.
Dari
kacamata para seniman dan sastrawan, rasanya tidak perlu ada yang sampai
mengatakan ini penistaan. Bahkan sampai saat ini saya hanya mendengar kalau
puisi ini dilaporkan oleh orang-orang non-seniman saja. Karena dalam puisi ini
tidak ada yang salah, hanya penyampaiannya terlalu vulgar. Sedangkan hakikat
puisi sendiri untuk membunuh dikala sunyi, mengiris dikala sepi.
Ratusan karya sastra yang menyinggung agama, seperti
Triyanto Triwikromo yang dipublikasikan di surat kabar nasional saat sedang
panas-panasnya kasus demo keagamaan, atau karya-karya ‘pemberontakan’ dari para
penulis muda. Tapi tidak ada yang mempermasalahkannya, karena bagi para pembaca
karya sastra, bukan tampak luar yang perlu dinilai, bahkan jika kita berusaha
menilai isi dari sebuah karya, bisa saja penilaian kita salah. Makanya sejauh
ini jarang sekali kisah-kisah terkait dunia kesusastraan baik puisi maupun
prosa yang dipolisikan.
Tapi disisi lain saya juga bersyukur dengan kasus ini,
berarti orang Indonesia sudah mulai kembali mengenal puisi sejak ‘mingkem’-nya
beberapa belas tahun dari dunia sastra, kini karya sastra diperhitungkan
kembali.
*
Jika di zaman W.S Rendra karya sastra dibatasi oleh
pemerintah, di zaman sekarang akan terbalik, karya sastra akan dibatasi oleh
masyarakat, oleh norma dan dogma. Karena di zaman ini, sastra bukan lagi luapan
perasaan, bukan lagi suara hati, bukan buah pikiran, apalagi sebuah karya yang
bernilai luar biasa.
Sastra tak lebih dari seonggok bacaan yang tak usah dibaca
kalau perlu, karena di zaman sekarang, hoax lebih laku dibanding buku best
seller di pasaran.
*
Dalam kasus Sukmawati ini, jika bersikap netral, saya akan
bicara jika disini sama-sama terjadi kesalahan antara masyarakat yang merespon
dan juga Bu Sukmawati sendiri.
Pertama, dikala Indonesia sedang panas akan isu politik
dibumbui SARA, Sukmawati malah membicarakan hal yang jelas-jelas akan
membahayakan dirinya sendiri. Apalagi penulisannya yang begitu vulgar bisa
disalah artikan oleh jutaan manusia yang rata-rata gampang baper terusik sejak
beberapa waktu lalu. Makanya disini Sukmawati Soekarnoputri tidak sepenuhnya
benar atas penyampaian puisinya.
Kedua, respon masyarakat terlalu cepat, ngegas dan terlalu cepat menyimpulkan sebuah karya sastra. Padahal,
saya sendiri tidak berani untuk cepat-cepat beropini kemudian bicara saya
paling benar. Disini sebuah karya sastra harusnya ditinjau kembali, tidak
semerta merta karena bahasanya menyinggung lantas dipolisikan dan kemudian
media begitu lebaynya memviralkan hal yang jelas bakal membagi rakyat Indonesia
terbagi dua : pro dan kontra.
Ketiga, kasus ini ngotot dibawa ke meja hijau, membuat
banyak orang yang baru melangkah ke dunia sastra bakal ragu : Apa iya sastra
punya batasan? Lantas apakah imajinasi manusia harus dibentuk oleh orang lain?
Apakah pola pikir manusia memang betul harus berpola sesuai dengan cetakan
orang lain?
Padahal, dengan kekeluargaan, bisa disimpulkan banyak hal.
Bukan cuma negara hukum, ini negara musyawarah. Padahal jika dibanding diseret
ke pengadilan, kasus ini jika diselesaikan dengan kekeluargaan akan
menghasilkan banyak hal : akan banyak kesimpulan, banyak klarifikasi, akan
banyak juga rakyat yang akan merasa lega.
Atau masyarakat Indonesia suka dengan kerusuhan?
*
Saya pernah membaca karya Sutardji, kalau tidak salah dalam
O Amuk Kapak ada banyak puisi keTuhanan, diantaranya ada puisi yang isinya
Sutardji gagal paham dengan keadaan manusia, dimana antara umat Kristiani
dengan umat Muslim bertikai pangkai padahal berasal dari nabi yang sama. Puisi
ini cukup jelas, dan pada masanya, tidak ada yang demo dan ngotot bilang harus
dipolisikan.
Sesungguhnya, apakah jutaan rakyat Indonesia di zaman
sekarang lebih baperan dari zaman dahulu, atau memang kemajuan zaman
menumpulkan akal sehat manusia?
*
Agama bukan hal yang perlu diumbar, tidak usah kesana-kemari
berteriak kalau saya bangga menyembah martabak, saya bangga punya Tuhan ini,
punya Tuhan itu, saya bangga ajaran saya paling benar, saya bangga karena bapak
saya selalu benar. Sebagaimana yang diceritakan oleh agama-agama Abrahamic
(Islam, Kristen, Yahudi) bahwa agama datang untuk menyempurnakan perilaku
manusia.
Jika perilaku manusia yang selalu membawa-bawa agama kesana-kemari
ternyata lebih buruk dari yang beragama, apakah masih pantas saya beragama?
Apakah saya betulan beragama? Apakah saya betul pantas beragama?
Sayangnya di zaman sekarang saya sering sekali mendengar
kata-kata “yang penting beragama! Daripada tidak beragama! Kayu bakar neraka!”
Padahal agama lebih tinggi dari gelar sarjana, tidak bisa kau pakai lalu kau
banggakan ketika kelakuanmu tak sesuai dengan perkataanmu.
Sebuah kutipan dari Karl Marx, sosiolog, filsuf sekaligus
bapak Sosialis-Komunis-Marxis, yang berbunyi “Die religion ist das opium des
volkes” yang mana artinya dalam bahasa Indonesia “Agama adalah candu bagi
masyarakat”.
Kini, jika saya merenungi perkataannya, saya menyimpulkan
satu hal. Agama akan menjadi candu, agama akan membuat manusia overdosis,
apabila agama dipakai lebih dari dosis yang wajar, apabila agama sudah bukan
lagi pegangan hidup, tapi dipegang dan dilempar untuk menghancurkan hidup orang
lain. Apabila agama sudah tidak lagi eksklusif, apabila aturan Tuhan
disesuaikan dengan keadaan masyarakat, bukan kehidupan masyarakat yang
ditentukan aturan Tuhan.
Sayangnya senja mulai memudar, saya perlu untuk mengakhiri
tulisan ini.
Jika senja mulai
pudar diterkam gelap
Malam mulai datang
memperkosa bayang-bayang
Obor tak lagi panas
terbuai tiupan angin malam
Masihkah kau mau
duduk dan menyaksikan bayangmu menyatu dengan kegelapan?
Moral tak lagi
perawan
Etika tak lagi
bertuan humanitas
Dogma mengikat
manusia
Agama memperkosa logika
Kawan
Sudahkah kau minum
sebutir Bromazepam?
Atau kafein di kopimu
terlalu banyak?
Ciamis, 4-4-18

Komentar
Posting Komentar