Basa-Basi #22 : Masyarakat Indonesia, Siapkah Dewasa ?
Sore ini kembali ada panggilan hati untuk menulis.
Sebenarnya ini cuma basa-basi biasa, layaknya ibu-ibu yang ngerumpi di teras tetangganya, atau
seperti bapak-bapak yang mengobrol dikala istirahat bertani di dangau. Jadi
sebenarnya tidak ada hal yang bagus dari basa-basi saya, biasa saja, sama
seperti obrolan batin, sama seperti kata hati yang susah untuk diungkapkan.
*
Pemerintahan Indonesia Terlalu Lembek?
Malam tadi, Bapak saya berbicara dengan kawannya, berbincang tentang
perpolitikan sambil menonton berita di televisi. Ada sebuah hal yang cukup
menarik bagi saya, mereka membandingkan keadaan Indonesia di masa sekarang,
dimana banyak sekali permasalahan yang mengancam kedaulatan negara baik dari
dalam maupun dari luar, dengan zaman Soeharto berkuasa, dimana masa itu
pemerintahannya begitu ketat nan keras. Jangankan mengancam pemerintahan,
bertanya macam-macam saja bisa dikarungin
dan lenyap dalam semalam.
Tapi di zaman sekarang, walau sudah ada undang-undang hate speech,
rasanya makin menjadi-jadi berbagai macam kasus, penistaan, kebencian, fitnah
dan berbagai macam hal yang lebih tajam dari pedang keluar dari mulut manusia.
Disini saya mempertanyakan, apakah undang-undang ujaran kebencian ini memang
tepat sasaran?
Di satu sisi, upaya pemerintah meluncurkan undang-undang ini adalah
untuk meredam konflik dan perpecahan yang terjadi dalam lingkup sensitif, agama
misalnya. Tapi hal ini saya lihat tidak begitu efektif, karena jika ada yang
ditangkap, kawan-kawannya akan marah, menyebarkan lebih banyak hoax dan ujaran
kebencian, belum lagi jika ada tokoh masyarakat yang ternyata punya andil dalam
kasus-kasus itu.
Setelah kasus Ahok, Fitsa Hats-nya Habib Novel, chat mesum Habib Rizieq,
kemudian disusul dengan Indonesia Bubar 2030-nya Prabowo, dan yang paling baru
puisi Ibu Indonesia Sukmawati, masyarakat Indonesia harusnya lebih sadar dan
lebih paham, kalau kata-kata bisa lebih tajam daripada pedang, kata-kata bisa
merusak lebih banyak dari tornado. Apalagi di zaman ini, dengan sosial media
semua orang mulai dari yang baperan sampai tukang bully berkumpul, tidak ada
batasan yang bisa membendung orang-orang tertentu masuk ke dalam sosial media.
Dengan sosial media, isu-isu kecil bisa menjadi besar, bergaung dan
disebarkan oleh ribuan orang. Seorang yang salah tulis seperti kasus Fitsa Hats
bisa menjadi viral dan membuat satu Indonesia geger, atau seorang yang sedang
curhat bisa menjadi viral dan dibully ramai-ramai.
Tapi bisakah pemerintah
membendung perpecahan yang terjadi di sosial media?
Dari yang bisa saya lihat, yang tertangkap dua orang dalam satu hari,
dan dalam satu hari dua ribu orang bisa lebih menjadi-jadi dari dua orang yang
tertangkap. Lambatnya respon dan kurang niatnya pemerintah menyediakan tempat
pelaporan secara daring membuat kasus-kasus hate speech semakin menjadi-jadi.
Apalagi, banyak sekali orang yang saya kenal mengeluhkan jika website
untuk melaporkan kejahatan cyber ternyata jarang ditanggapi dan membutuhkan
waktu berminggu-minggu untuk dibalas saja. Disini mungkin pemerintah harus
menyediakan lebih banyak lagi personil yang bisa diturunkan ke dunia maya,
karena sebenarnya di era sekarang, sosial media lebih berbahaya daripada
senjata api.
Jika pemerintah terus membiarkan hal-hal kecil seperti ini berkeliaran
bebas, maka kisah fiksi yang diutarakan Prabowo jika 2030 Indonesia Bubar bisa
saja menjadi kenyataan. Apakah pemerintah Indonesia perlu menjadi lebih keras?
Ataukah masyarakat Indonesia yang perlu diberikan didikan tentang sosial media?
*
Perpecahan, Perpecahan dan Perpecahan
Tidak usah jauh-jauh perpecahan terjadi dalam masyarakat yang berbeda
agama, di sebuah lingkungan yang agamanya sama namun berbeda aliran saja, bisa
terjadi perpecahan. Hal ini sering terjadi di kalangan agama abrahamic, dimana
banyak sekali aliran-alirannya, yang sayangnya tidak semua bisa menerima
perbedaan itu. Sebut saja sunni-syiah dalam Islam, dua mazhab besar yang saling
menyalahkan, entah di Timur Tengah atau di Indonesia.
Walau sebenarnya wajar, kalau manusia selalu ingin dianggap benar.
Manusia memang haus akan kebenaran, manusia haus akan pujian dan hormat, maka
banyak yang menyalahkan orang lain hanya untuk dianggap benar. Di era sosial
media, manusia lebih bebas untuk mengaku paling benar dan bebas menindas yang
lain, yang satu bilang kami yang paling benar, satu lagi kami yang betul-betul
benar dan sesuai ajaran Tuhan.
Saya memang bukan keduanya, tapi sedikitnya, dari kacamata saya, saya
bisa melihat kalau persaingan dalam kebenaran ini tak lagi bernapaskan
kebenaran. Jika dahulu mereka berlomba-lomba menunjukkan kaumnya yang paling
benar dengan cara berbuat baik agar diakui masyarakat, maka kini mereka
berlomba-lomba menyebar hoax untuk saling menjatuhkan. Sangat disayangkan, karena
mengejar surga bersama iblis rasanya tidak diajarkan dalam agama manapun.
Ketika saya membuka-buka beranda facebook, bertebaran banyak sekali
informasi-informasi yang cukup mengejutkan. Ternyata di zaman sekarang, agama
merupakan topping bagi politik. Saya tidak hanya membual dan berandai, ini
terjadi betul-betul dalam dunia kita. Kita bisa melihat kilas balik dalam
pilkada Jakarta kemarin, dimana dimulainya isu SARA untuk mengacaukan
kestabilan dan kelancaran jalannya pemilihan.
Walau gubernur yang terpilih, Anies tampaknya bertanggung jawab dengan
apa yang ia katakan sejak awal kampanye, namun banyak warga yang memendam
dendam, merasa kalau Ahok, jagoannya dikacaukan dengan isu SARA. Maka dari itu
semakin panjanglah kisah ini, bahkan sampai sekarang masih banyak yang pro dan
kontra terhadap Anies hanya gara-gara masa lalu yang diungkit-ungkit.
Jangankan urusan agama dan politik, urusan selangkangan saja bisa
menjadi sumber perpecahan. Mulai dari LGBT sempat ditolak besar-besaran padahal
sebelumnya aman-aman saja. Menurut saya pribadi, urusan selangkangan biarlah
urusan orang lain, asalkan tidak menganggu kenyamanan warga sekitar dan mereka
yang melakukannya tidak di rumahmu.
Kalau kembali mau bahas agama, jika agama mereka berbeda denganmu, apa
kau masih mau memaksakan aturan agamamu kepada orang-orang agama lain?
Disini saya tidak pro dan kontra terhadap LGBT, saya rasa ada sisi baik
dan buruknya dari pelegalan LGBT di Indonesia. Jadi mendingan, Indonesia angkat
tangan dan tidak usah ikut campur soal LGBT, tidak usah dilegalkan dan tidak
usah dilarang, seperti ateisme contohnya, asalkan tidak menghasut dan
mengganggu kenyamanan ya biarkan saja. Bahkan, kalaupun ada orang yang asexual,
biarkan ia hidup sebagaimana layaknya.
Justru tindakan-tindakan seperti aksi bela martabak, aksi bela agama gue, aksi bela bapak gue, aksi penjarakan tukang cilok, malah
membuat konflik semakin menjadi-jadi, yang harusnya konflik itu diredam dan
padam, malah akan menjadi terbakar kembali, malah akan menjadi lebih parah dan
masyarakat akan terpecah menjadi kubu pro dan kontra. Untuk itu, saya sangat
tidak menyukai aksi-aksi yang berusaha mengungkit kembali hal yang harusnya
dikubur dalam-dalam.
Rakyat Indonesia, siapkah untuk maju dalam persatuan atau akan ngotot
hidup di zaman batu mementingkan kelompok masing-masing ? kalau masih ngotot,
saya akan menunggu sampai kalian menjadi fosil.
*
Sebenarnya bukan masalah seseorang bodoh atau baperan, tapi semua
berasal dari pengaruh doktrin yang diterima, entah itu doktrin agama yang
mengikat dan salah tafsir, atau doktrin-doktrin lain yang membuat manusia seperti
mayat hidup, berwujud tapi tak bisa lagi menerima informasi dari dunia luar.
Banyak orang menyalahkan agama untuk banyaknya kasus-kasus akhir-akhir
ini, tapi tidak bisa disama ratakan semuanya. Karena seperti yang kita semua
tahu, agama-agama besar dunia tidak hanya memiliki satu aliran saja, tapi
puluhan aliran atau lebih yang mana masing-masing mempunyai corak berbeda.
Mulai dari yang sangat berpegang teguh terhadap kitab sucinya hingga mereka
yang mulai menerima kemajuan zaman dan menerima berbagai budaya serta kultur
lain.
Tapi yang menjadi masalah, bagaimana cara menyatukan semua aliran itu
dalam naungan agama yang sama? Atau bagaimana menyatukan berbagai agama serta
suku bangsa dalam sebuah negara?
Ada sebuah pepatah yang sama pernah dengar, “Untuk menciptakan persatuan
dalam tubuh suatu komunitas, buat konflik dengan komunitas lain.” Dan kisahnya,
aksi ganyang Malaysia di masa lampau juga merupakan bentuk gebrakan agar
masyarakat Indonesia bisa bersatu dibawah panji merah putih. Lalu 2016 lalu ada
demo penjarakan Ahok, disitu terlihat, umat Islam yang berusaha menyatukan
semua lapisan umatnya, tak peduli apakah ia Sunni Syiah, Muhammadiyah NU,
mereka berusaha menyatukan tubuh mereka.
Tapi Indonesia, langkah apa yang hendak dilakukan untuk mempersatukan
berbagai macam suku, agama, dan golongan menjadi satu? Sehingga semua lapisan
masyarakat bisa sadar, jika kehancuran tidak akan disebabkan oleh Amerika, oleh
Yahudi atau oleh Jepang, tapi bisa terjadi karena perpecahan di dalam tubuh
negeri ini sendiri.
Bagaimana caranya mengolah kebencian menjadi cinta? Bagaimana manusia
bisa menjadi bijaksana tanpa nyinyir dan
bisik-bisik fitnah?
Konon, ada sebuah ilmu yang merupakan induk dari segala ilmu, yakni
filsafat atau philosophy. Menurut Wikipedia, Filsafat (dari bahasa
Yunani φιλοσοφία, philosophia, secara harfiah bermakna "pecinta
kebijaksanaan") adalah kajian masalah umum dan mendasar tentang persoalan
seperti eksistensi, pengetahuan, nilai, akal, pikiran, dan bahasa. Disini,
apakah dengan belajar filsafat manusia bisa mulai mencintai kebijaksanaan
sesuai dengan nama dari filsafat itu sendiri?
Filsafat di Indonesia identik dengan ateisme, makanya mahasiswa filsafat
lantas dicap sebagai ateis. Bukan tanpa alasan, karena ada sebuah cabang
filsafat bernama eksistensialisme, dimana didalamnya mengkaji hakikat Tuhan,
mencari makna eksistensi manusia di dunia, eksistensi Tuhan. Mungkin inilah
yang menyebabkan di Indonesia filsafat kurang diminati, karena banyak yang
berpikir, untuk apa kuliah filsafat?
Sebenarnya, walau kita tidak mempelajari secara utuh ilmu filsafat ini,
kita cuma perlu menyentuh sedikit tentang dasar-dasar filsafat, apa tujuan
manusia hidup di dunia ini? Apakah manusia perlu hidup adil di dunia? Apakah
kebijaksanaan itu perlu? Apakah dengan bertikai bisa menyelesaikan
permasalahan?
Secara umum, filsafat adalah ilmu yang mempertanyakan segala hal, terus
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak henti keluar di kepala
manusia. Sedangkan dalam agama atau kepercayaan, tidak boleh ada pertanyaan,
agama dan kepercayaan adalah jawaban yang tidak bisa lagi dipertanyakan. Inilah
asal muasal kenapa filsafat cenderung dimusuhi oleh golongan orang-orang
beragama.
Filsafat menuntun manusia, dengan bertanya, manusia takkan bisa tersesat,
dengan mengetahui konsekuensi apa yang terjadi jika kita meledakkan bom di
kerumunan orang asing, apa yang terjadi jika kita memperkosa anak dibawah umur.
Filsafat adalah ilmu yang tidak mempunyai batasan bagi mereka pecinta dan
penikmatnya untuk berpikir.
Jika mempelajari filsafat barat yang cenderung liar dan keluar dari
batasan-batasan agama, ada filsafat timur tengah, yang mana sejak dahulu banyak
sekali filsuf-filsuf Islam yang tercatat dalam lembaran sejarah. Sebut saja Al
Khindi, Ibnu Sina, atau Ibnu Rusyd yang pemikiran-pemikiran kebijaksanaannya
dipengaruhi Aristoteles. Walau sebenarnya filsafat timur tengah sendiri dimulai
pada masa Zoroastrian atau Majusi, oleh Zarathustra (yang mana diangkat oleh
Nietzsche dalam karyanya Also Sprach Zarathustra).
Jadi jika manusia tidak bisa dituntun kepada kebijaksanaan oleh agama,
ia bisa mencari jalannya sendiri, walau sejatinya agama merupakan cara paling
mudah bagi manusia yang ingin mencapai kebijaksanaan, kenikmatan batin dan
rohani. Tapi seperti itulah agama, merupakan kebenaran yang tidak bisa diubah
lagi, maka karena tidak bisa diganggu gugat, ditafsirkanlah macam-macam menjadi
berbagai aliran.
Tapi tak peduli, manusia tidak harus dipandang apakah ia agama A, ia
agama B, apakah ia ibadah setiap minggu, setiap hari atau setiap detik, karena
manusia tidak harus melulu menghadapi afterlife. Hal paling penting, manusia
perlu untuk hidup sebagaimana layaknya manusia, memberikan manfaat bagi manusia
lain dan alam, mencintai dan menghormati. Sebuah negara akan makmur apabila
rakyatnya telah menjadi manusia seutuhnya, tidak tersentuh oleh kebinatangan,
rakus, ngacengan, atau kanibal alias
makan saudara sendiri.
Indonesia tidak perlu mengikuti jejak-jejak Timur Tengah yang kini
perlahan menuju kehancuran dan kekacauan, dimana mereka mengatasnamakan agama
untuk berpolitik, sebut saja negara Suriah, Iran, Irak dan negara-negara
TimTeng yang gemar sekali berkonflik sesama saudaranya sendiri. Indonesia
sendiri merupakan negara kesatuan, bisa kita lihat dalam nama lengkapnya :
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana kita semua bersatu sebagai saudara,
mengikrarkan diri menjadi keluarga, tak peduli apakah saudara kita beraliran A
beraliran B, apakah saudara kita menyembah martabak atau masih animism-dinamisme.
Indonesia tidak perlu meniru gaya politik-agama ala Timur Tengah, karena
dimana politik sudah dicampuri agama, manusia tidak bisa apa-apa lagi. Manusia
tidak bisa menentang agama, makanya jika politik sudah memakai topping agama,
kekuatan penuh sudah didapatkan dan ia takkan bisa menentang. Indonesia hanya
perlu kesadaran, mari kita cintai budaya, cintai alam, cintai saudara kita
sendiri.
Tak perlu demonstrasi bilang kalau budaya asing masuk kalau kita sendiri
tak paham kenapa Lurah Semar turun dari Swargatriloka untuk membantu Pandawa,
tak perlu demo generasi muda direcoki narkoba, kalau kita sendiri masih mabok
ego kelompok dan golongan. Tak usah bilang orang lain wibu atau ngarab jika
kita sendiri masih belum bisa menulis bahkan satu paragraf dengan bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
Kita saling mencintai karena kita berbeda, tapi perbedaan itu bukanlah
pedang yang menancap dan suatu waktu bisa dicabut untuk memporak porandakan
dunia. Kita memang berbeda lantas bukan halangan untuk saling tersenyum, kita
berbeda bukan berarti kita tidak bisa saling merangkul.
Apakah masih disebut manusia yang berpikir dan dewasa jika kita masih
mengedepankan ego sendiri dan saling menghina? Apakah kita pantas hidup di
masyarakat jika kita masih mengedepankan nafsu dan mengesampingkan logika, atau
lebih pantas di kebun binatang?
Indonesia memang negara yang membebaskan warganya untuk beragama,
beraliran, berideologi, berbicara, tapi bukan membebaskan kita untuk bilang
kami paling benar, saya paling nasionalis, saya paling beriman, kaum kami yang
paling cinta negara, kami yang paling susah berjuang demi negara. Tidak perlu
bicara saya paling nasionalis, karena toh belum tentu bisa mematuhi segala
peraturan negeri ini. Tidak perlu juga bicara bak kita sudah punya tiket surga
jika perbedaan saja masih dipermasalahkan.
Dan untuk masyarakat Indonesia, siapkah untuk melangkah menuju kedewasaan
berpikir?
Ciamis, 8-4-18
Komentar
Posting Komentar