Mereka yang Bertuhan Waktu - Azi Satria | Cerpen
Mereka yang Bertuhan Waktu
oleh
Azi Satria
Rini berjalan mendahuluiku, dia memasukkan kedua tangannya
ke dalam jaket. Langkah demi langkah dia menyusuri gang yang gelap nan penuh
debu. Aku mengikutinya sambil mendengarkan suara-suara di balik gang ini, di
dalam hotel kelas melati, di tempat-tempat karaoke.
Malam ini begitu dingin, dan aku lupa membawa rokok dari
rumah. Walau kami hendak pergi ke rumahnya Rini yang tak jauh dari rumahku,
hanya perlu berjalan melewati gang, melintasi jalan raya, kemudian masuk ke
sebuah gang kecil dan rumahnya akan kau temukan berhiaskan cat oranye dan
tanaman-tanaman berwarna-warni menyambutmu di teras depan rumahnya.
Kami baru saja sampai di depan gang, melihat sorot lampu
mobil yang hilir mudik kesana kemari tiada habisnya. Rini memandangku, sebelum
melangkah menyebrangi jalan, ia berkata padaku
“Tuhanku adalah waktu.”
Dibawah kerlap kerlip cahaya gedung-gedung yang menembus
langit, kami berjalan menyusuri jalanan, merasakan aspal yang panas siang
maupun malam. Kami terbiasa untuk melihat pedagang nasi goreng yang mengelap
keringatnya dikala ia bekerja, kami terbiasa juga dengan manusia-manusia yang
bergegas pergi dikejar rutinitas.
Di dalam sebuah tempat service
handphone, seorang lelaki memandangku, dengan pandangan lelah, sementara
tangannya memegang kabel-kabel yang semrawut bagai pandangan matanya, dari
kerutan wajahnya, tergambar jelas hidupnya serumit papan sirkuit.
Kami masuk ke gang kecil, Rini memimpin jalan sambil
menyeret tanganku karena aku berjalan begitu lambat hanya untuk melihat-lihat
keadaan sekitar yang tak pernah berubah berminggu-minggu lamanya, selalu
seperti itu.
*
Rini menyulut rokoknya, kemudian dengan pandangan kosong dia
menatap ke depan. Di punggung tangannya, tergambar sebuah tato mawar, sebagian
tertutup oleh jaket hitamnya. Rambutnya yang hitam tergerai, membuat ujungnya
sesekali bergerak ditiup angin. Dia duduk mengangkat kedua kakinya ke atas
kursi, mendekap lututnya. Celana pendeknya membuatku bisa melihat tato-tatonya
yang beraneka rupa di kakinya.
“Apa logis saat kita berteriak demi Tuhan di jalanan, sambil
tergesa diburu waktu, sambil menangis tak bisa mendapat gaji untuk hari ini.”
Rini berkata perlahan.
“Tidak. Kita tak perlu menuhankan yang lain saat kita sudah
menjadi jemaat setia waktu dan uang, bukan begitu?” aku menjawab, berusaha
memahami pemikirannya yang rumit bagai labirin.
Aku bertemu dengan Rini di depan gerbang rumahku, tergeletak
meracau karena terlalu banyak minum, hampir tak memakai baju di sebuah malam di
bulan april. Waktu itu, aku membawanya ke rumahku, mengobatinya dengan segala
yang aku bisa agar ia bisa tersadar secepatnya dan aku tak digebukin warga gara-gara menyimpan seorang gadis hampir telanjang
di rumahku.
Beruntung dia bisa sadar esok paginya, meminta maaf padaku,
dan dengan sopannya dia bicara kalau dia bisa bekerja di rumahku karena dia
telah merepotkanku. Dari yang kudengar, wanita-wanita malam adalah mereka yang
terbiasa dengan kehidupan hura-hura, dimana sopan santun sudah ditinggalkan dan
intelektualitasnya dibawah rata-rata. Tapi mengenalnya membuatku tahu, dunia
tak seperti pantulan cahaya yang samar-samar di matamu.
Rini seorang penjaja tubuh, hidup bertahan di kota
metropolutan ini -meminjam istilah Navicula- dan bekerja malam demi sesuap
nasi, ia paham betul malaikat maut mengayunkan arit di atas ubun-ubunnya, atau
malaikat akan datang dalam selingan ketika ia orgasme.
“Tuhan mana yang akan disembah manusia saat ia hampir dalam
keadaan sekarat dan butuh perpanjangan kehidupan?” Itu kata-kata Rini yang
masih kuingat saat dia bicara mengenai kehidupannya.
Ia menceritakan bagaimana di kampungnya, tak ada lagi
kesempatan untuk mendapat uang selain menjadi simpanan juragan sawah, atau
berharap dinikahi oleh pemilik pabrik muda yang punya banyak uang. Bapaknya
kawin lagi, ibunya stress dan gila lantas dirawat di desa oleh kakaknya,
sedangkan bapaknya kabur entah kemana.
Disana aku mulai paham, aku tak bisa menilai seseorang buruk
karena kelakuannya buruk, moralitas itu subjektif, dan hidup bukan untuk
menjadi relijius, hidup untuk bertahan, itu yang paling penting.
Ia yakin, Tuhan hadir dalam gelembung-gelembung bir yang
naik-turun begitu minuman itu mengalir dari botol ke gelas. Hidupnya selalu
realistis, ia tak pernah ikut ke acara keagamaan karena ia bisa kehilangan
uangnya untuk satu hari, yang mana artinya besok ia bisa saja tidak makan, ia
tak pernah protes ketika orang memanggilnya jalang. Ia yakin, hidup bukan untuk
menyenangkan orang lain, bukan untuk mencapai kesetaraan dengan mereka yang
jelas-jelas berbeda kehidupannya.
“Aku tidak mengerti,” Rini berkata sambil matanya menatap
wajahku “Banyak orang ingin diakui bahwa dirinya benar-benar baik, banyak orang
menjadi penjilat untuk diterima, banyak yang munafik berkeliaran di jalanan, di
trotoar, di dalam mobil-mobil berplat merah.”
“Karena sejatinya manusia ketika bisa bertahan, ketika ia
bisa hidup, ia akan berusaha untuk melampauinya, takdir manusia untuk menjadi
rakus. Kau tak usah cemburu.”
“Siapa bilang aku cemburu?”
Aku meraih asbak yang berisi puntung rokok, semuanya
bertumpuk menjadi abu, tak peduli rokok apapun yang dibakar, semuanya dibakar
akan menjadi abu, tak peduli siapapun yang membakar, apakah ia pelacur, dokter,
pemulung, atau petani.
“Kesetaraan hak, kesetaraan moral, kesetaraan keyakinan,
semuanya bullshit, taik kucing.” Rini mematikan rokoknya.
“Kenapa?”
Rini mengambil sebutir obat dari sakunya, kemudian berkata “Tak
semua manusia setara di dunia ini, seorang anak petani harus ditindas karena ia
memakai caping ke perkotaan, seorang anak pengemis miskin yang ibunya mati di
jalanan ketika melahirkannya, diludahi dan disebut amoral oleh mereka yang
hidup dari keluarga pemuka agama.”
“Untuk itulah, manusia perlu beradaptasi dengan
perubahan-perubahan di masyarakat, bagaimana ia harus hidup dengan
standar-standar sosial yang ada.” Aku berusaha membuatnya tenang ketika ia
memasukkan obat ke dalam mulutnya.
“Standar dibuat oleh mayoritas, kita hidup dimana logika
dinilai lebih rendah daripada dongeng nina bobo. Jika mayoritas yang ada di
masyarakat sesungguhnya tidak mempunyai otak, haruskah hal yang mereka sebut
peraturan itu jadi standar kehidupan bagi mereka yang masih punya akal sehat?”
“Tapi tentunya standar dan aturan dimusyawarahkan untuk
mencapai keadilan bagi minoritas maupun mayoritas.”
“Itu teorinya, semua sudah kudengar sejak SD. Jika mayoritas
percaya kalau memakai sneakers adalah
suatu keharusan agar dia diakui sebagai manusia utuh di masyarakat, apakah
minoritas, yakni si miskin yang menjual sawah untuk kehidupan anaknya kelak,
yang tak mampu bahkan untuk membeli sepatu bertali, masih dianggap manusia yang
normal?”
“Tapi tak semerta merta semua itu membuat ia dijauhi di
masyarakat, dengan keinginan dan tekad yang kuat seharusnya si minoritas ini
mampu untuk menyaingi dan membuat kehidupannya sesuai dengan standar yang ada.”
“Kau berlagak seperti mereka, para mayoritas yang menganggap
remeh kehidupan. Bagi mereka yang terbiasa dengan makan tiga kali sehari,
terbiasa hidup dengan uang mengalir setiap harinya tanpa perlu khawatir besok
makan dengan apa, semua terlihat gampang. Aku tahu dirimu, kau sering sekali
datang ke bar-bar kecil yang menampung para sopir truk dan kuli yang memesan
seteguk miras oplosan untuk meringankan beban pikirannya seharian. Aku juga
tahu kau selalu datang ke bar untuk ngobrol dengan mereka, kau sering bertanya
bagaimana mereka harus lembur untuk mendapatkan uang yang bisa digunakan
membeli seragam sekolah anaknya.”
Aku terdiam, menghisap rokok yang hampir habis.
Rini melanjutkan “Kau perlu munafik untuk hidup, kau perlu
berbohong untuk bisa diakui, kau harus bilang pada tetanggamu yang bilang kalau
martabak itu enak padahal kau tak suka, bahwa martabak itu enak, maka
tetanggamu akan menyukaimu. Kau hidup di lingkungan primitif, maka jangan
sekali-kali gunakan logikamu untuk menentang dongeng mereka tentang roh-roh
halus yang setiap hari berkeliaran bersama gajah-gajah raksasa memberikan
pahala bagi keluarga yang memasang arca di depan rumah. Kau hidup di lingkungan
dimana semua orang perlu berpikiran sama agar bisa diakui. Kau tak perlu
gunakan kepalamu untuk berpikir, maka peradaban bisa bertahan, tapi jika kau
berani untuk bicara, kau berani mengungkap isi kepalamu, peradaban akan
berubah. Tapi tak semudah itu.”
“Aku tahu apa yang kau pikirkan.” Kataku, berusaha
memahaminya.
“Ya, aku memang hidup sebagai pelacur, tapi aku tak mau
untuk melacurkan pikiranku, membuatnya dijamah oleh mereka yang doyan sekali mendoktrin. Aku akan tetap
hidup menjadi diriku sendiri, karena pencapaianku berbeda dengan mereka, aku
bukan mencari kesenangan usai mati, aku berusaha untuk mencari cara agar aku
tidak mati kelaparan malam ini. Hidupku memang hina, tapi maaf, Tuhanku waktu,
dia takkan marah hanya karena aku berusaha memanfaatkan waktu untuk menyambung
nyawa, waktu akan terus berjalan sekalipun kau menghinanya, sekalipun kau
menistakannya, waktu akan berjalan, dan bagaimana kau menyikapinya, itulah
pahala dan azab dari waktu.”
Waktu berjalan, malam semakin larut.
Desahan para kupu-kupu malam di ujung gang terdengar, derit
ranjang terdengar bersamaan dengan suara gelas yang pecah. Aku melihat Rini
memandang kosong ke depan, senyumnya melebar, obat penenang yang dimakannya
sudah berefek pada tubuhnya. Rokok di tanganku sudah hampir habis, tak peduli
apakah aku menghisapnya atau tidak, ia akan habis dengan perlahan.
Aku membawa tubuh Rini ke dalam rumahnya, untuk
menidurkannya dan aku bisa lekas pulang. Televisinya yang menyala menyiarkan
isu-isu SARA dan isu pejabat yang menelan duit negara. Kemudian kukecup bibirnya
yang tipis namun basah, meninggalkannya di rumahnya, kemudian aku berjalan
pulang.
Di jalanan, aku melihat tukang service handphone yang sering kulihat setiap kali aku lewat itu
sedang menghisap dalam rokoknya sambil melambaikan tangan kepadaku. Sementara
di jalanan mobil dan motor lalu-lalang, sebagian ngebut, berusaha memanfaatkan waktu, sebagian lagi tergesa, dikejar
waktu.
“Don’t waste your time or time will waste.. you..”
Dari mobil yang memutar arah di jalanan, sepenggal lirik
lagu Muse kudengar. Di langit, udara bercampur antara hembusan napas manusia
yang tergesa dengan bau keringat sopir angkot yang lelah lembur semalaman.
Sementara di sebuah gedung, para agamawan idealis sedang bermusyawarah,
bagaimana cara mereka memberantas perbuatan buruk di dunia ini, di bawah gedung
itu aku paham betul, para PSK yang putus asa karena tak bisa makan hari ini
sedang menggoda orang-orang yang lewat.
Di langit, setan minum kopi bersama malaikat.
Aku senang, hari ini
tidak hujan.
Ciamis
6-4-18


Komentar
Posting Komentar