Basa-Basi #23 : Kebenaran dan Selangkangan
“Aku tak menemukan Tuhan disini,”
Lisa bergumam, menghisap rokoknya yang tinggal seperempat
batang, kemudian dengan tergesa ia keluar ruangan. Aku masih berdiri mematung,
terdiam sambil menghirup aroma alkohol yang begitu kuat. Sementara, di ujung
sana, dalam ruangan di lorong-lorong sempit, terdengar suara desahan, sesekali
ranjang berderit.
*
Ini bukanlah cerpen, hanya saja saya balut dengan sedikit
polesan agar sedikit lebih menarik. Saya seorang yang tidak terlalu percaya
jika nama Tuhan bisa dipinjam untuk kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya
untuk proposal pembangunan WC tiga lantai atau untuk membeli kursi jabatan. Makanya
saya selalu bertanya-tanya, entah itu dalam hati atau memang saya tanya betulan
ke orang lain “Tuhan itu dimana sih?”
Saya seorang penikmat kisah pewayangan, makanya saya bisa
membuat cocoklogi dan analogi antara dunia wayang dengan apa yang terjadi. Misalnya
bagaimana kisah Durna, seorang Mahaguru yang terkenal suci tapi hobi sekali
mengadu domba murid-muridnya, atau kisah Kresna, titisan Dewa yang menjadi
dalang dibalik kerusuhan di Kuruksetra. Dalam pewayangan, hal-hal suci memang
selalu dipakai untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Misalnya Werkudara yang disuruh mencari air kehidupan
(cmiiw) dalam tugas suci oleh Durna ternyata hanyalah akal bulusnya untuk
melenyapkan putra pandawa paling kuat itu. Sudah jelas sekali bahwa dalam
sejarah manusia, sejak dahulu suatu hal yang biasa kita anggap benar, suci, nan
istimewa justru malah dijadikan sebagai senjata karena kemampuan dari suci itu
sendiri : tidak terbantahkan!
Makanya tidak heran jika di zaman sekarang pun,
dalang-dalang di belakang layar selalu memainkan lakon yang sama, dimana-mana
teriakan kebenaran dan kesucian bergema, dimana-mana darah tumpah bersama nafas
terakhir mereka yang gugur tanpa dosa. Kadang lucu, ada yang berteriak
kedamaian sambil mengobrak-abrik kenyamanan orang lain. Ada yang berdalih ini
tugas suci, ini merupakan hasil mimpi semalam yang diseduh kedalam gelas
realita, ada yang bilang kalau ini suruhan Tuhan.
*
Dua orang perempuan yang masih remaja-mungkin 18-20 tahun-
itu menari-nari lihai di depan para hadirin yang datang untuk bersenang-senang.
Sebagian dari mereka merupakan orang yang capek setelah bekerja seminggu penuh,
sebagian merupakan pekerja yang jauh dari istri, sebagian lagi eksekutif muda
yang datang untuk mencari setetes madu.
Mereka datang bergerombol, seolah mereka tahu kalau malam
tiba artinya mereka sudah bisa memasuki gerbang surgawi. Mereka datang bagaikan
semut yang mengerubungi gula, bagai burung bangkai yang mencium aroma busuk di
gurun pasir. Berbondong-bondong mereka datang, sampai-sampai rumah bordir itu
lebih tampak seperti supermarket yang mengadakan diskon 50% bagi dagangannya.
Perempuan-perempuan dalam tabung kaca itu berjoget ria,
apalagi saat mereka tahu pengunjung menunjuk mereka. Tampak seperti warteg,
tinggal tunjuk menu yang diinginkan. Lisa mengajakku duduk di pojok, sambil ia
menarik tangan seorang perempuan penjaja tubuh disana.
“Tuhanmu dimana?” Lisa bertanya.
Pelacur itu gelengkan kepala sambil dahinya mengkerut, mungkin
tak paham.
Sementara yang datang makin membludak.
*
Banyak orang yang bergerombol, mereka datang ke jalanan,
mereka datang ke rumah-rumah, mereka mengetuk setiap pintu yang ada, bahkan
membentangkan spanduk bertuliskan kebenaran. Di lampu merah manusia menjajakan
kebenaran, di pasar, mereka melelang kesucian. Begitulah yang terjadi di dunia
kita yang serba sempit oleh pembatasan atas ideologi dan pemikiran, bahkan tema
panas yang selalu hadir di surat kabar mesti sama setiap harinya : Kebenaran
organisasi ini, kesucian orang itu.
Konflik rumahan seperti perbedaan paham dalam konteks mie
instan pun bisa menimbulkan kekacauan serius, yang satu lebih suka indomie,
satu lagi mie sedap. Keduanya saling mengakui bahwa mie instan mereka paling
enak, yang satu ngotot, yang satu merasa dikriminalisasi, akhirnya mereka ke
pengadilan. Walau ujungnya pasti bakalan sama : Si penikmat indomie akan menang
di meja hijau karena mayoritas. Kalaupun si indomie ini kalah, dia akan ngamung
dan mencak-mencak, merobek-robek trotoar, kemudian memboikot siapa saja yang
mengedarkan mie sedap.
Tapi konflik yang disebabkan kebenaran bisa diredam dengan
selangkangan. Sebut saja pendingin saat kasus aksi dan demo mencuat pertama
kali adalah Della bandung, Ria Bali, hingga Hanna Anisa. Kalau bicara
selangkangan, dijamin semua orang akan manggut-manggut setuju, tidak lagi
peduli apakah orang lain suka mie instan jenis apa atau lebih suka bubur ayam
diaduk.
Tidak ada rasisme dalam urusan selangkangan dalam kehidupan
bermasyarakat, tidak ada pengecualian warna kulit, siapa sesembahannya, atau
apakah yang mereka tonton seorang ateis atau zionis. Dalam dunia selangkangan,
semua orang berada dalam kesenangan, semua dalam rasa yang sama, satu hati,
satu rasa.
Urusan selangkangan dan kebenaran ini tak ayal lagi
merupakan kakak-beradik dalam kehidupan kita. Lihat bagaimana keduanya bisa
dilelang, harganya bisa turun-naik sesuai pasar, bahkan keduanya bisa menjadi
penolong dikala batin seseorang sedang merana dihujam realita.
‘Jajan sembarangan’ bisa jadi hal fatal bagi kelangsungan
hidup seorang insan di muka bumi, begitu juga dengan jajan kebenaran secara
sembarangan, ikut-ikutan, ikut tren atau sekedar mau percaya kebenaran hanya
gara-gara perlu caption baru untuk postingan instagramnya. Banyak orang
tertarik dengan ‘jajan di luar’ karena ingin kenikmatannya, begitu juga yang
coba-coba kebenaran gara-gara tertarik dengan imbalannya, bisa hidup damai
dengan kebenaranku dan membenci kebenarannya.
Banyak orang berbondong-bondong mencari penjual kebenaran
paling terpercaya, mereka mengunjungi setiap sudut kota, setiap toko dihampiri
untuk melihat yang mana kebenaran paling mudah dijalani. Aliran manakah yang
membolehkan merokok sambil garuk-garuk punggung, yang mana yang membolehkan
menyetir sambil satu tangan mengupil dan satu lain memegang kemudi.
Manusia terobsesi dengan kebenaran, tapi manusia masih
mempunyai ego, itulah kenapa banyak sekali aliran dan cabang dalam kebenaran
itu sendiri. Karena ketika yang satu bilang minum anggur itu tidak boleh dan si
B merasa perlu minum anggur, maka ia berkata kalau kebenaran si B ini bisa minum anggur hanya ketika udara sedang dingin.
*
“Saya tujuh belas tahun, berkelana dari gedung ke gedung,
dari gang ke gang sejak umur 15. Keluarga saya tunawisma, saya tidak
bersekolah, saya hidup bersama hewan pengerat yang mengambil sisa-sisa makanan
hotel bintang lima. Saya memulai profesi ini dari bawah, sekarang saya biasa
melayani para pejabat dan eksekutif muda.”
Perempuan di depan kami bicara, seolah mempromosikan
dirinya.
“Kamu pernah ketemu Tuhan selama itu?” tanya Lisa.
Perempuan itu meraih botol bir, kemudian meneguknya sedikit.
Gelembung-gelembung bir itu mengisyaratkan satu hal, atau mungkin dua hal dari
jawaban wanita tuna susila di depan kami, atau mungkin jutaan jawaban tanpa
pertanyaan.
*
Kebenaran itu tidak ada, bahkan dengan berbagai cara dan
pendekatan berbagai bidang ilmu, tidak akan ada yang bisa menemukan kebenaran absolut.
Kebenaran itu bisa saja debu yang terbang bersama dedaunan, bisa saja air yang
perlahan turun dari langit, bisa juga merupakan senyuman berarti dari seseorang
yang selalu ada di dasar hati. Manusia hanya bisa menciptakan standar untuk
mempersempit gerak kebenaran itu sendiri.
Jika manusia sudah mantap dengan kebenarannya, dia takkan
segan menumpahkan darah untuk kesalahan orang lain. Jika seseorang sudah yakin
dengan kebenarannya, dia tak akan merasa ragu untuk meludahi ibunya sendiri
jika ibunya tak sepaham.
Saya tak ingin menumpahkan darah hanya gara-gara imajinasi
berjudul kebenaran, begitu juga saya tak mau menggorok leher saudara sendiri
gara-gara ia tak sama kebenarannya. Saya tak ingin jalanan dipenuhi oleh
spanduk dan bendera kebenaran, apalagi suara-suara kebenaran itu bergema dari
setiap sudut kota untuk mengintimidasi logika.
Jika manusia bisa terprovokasi oleh imajinasi, apakah ia
bisa menahan kerasnya hujaman logika yang akan terus menempa setiap langkah
manusia?
*
“Sudahlah, Tuhan tidak ada disini.”
Lisa mengajakku keluar dari dalam gedung. Sementara malam
semakin dingin, walau begitu jalanan tetap macet, suara klakson mobil tetap
bersahutan, gedung-gedung masih bergelimang cahaya. Di luar sini, kami hanya
tak bisa mendengar suara desahan.
“Bagaimana kalau kita ke toko buku, akankah Ia ada disana?”
Lisa bertanya dengan mata berbinar.
Hening. Semesta menghela napas.
Ciamis
1/5/18
MayDay


Komentar
Posting Komentar