Kebenaran dalam Semangkuk Soto di Ujung Hari - Azi Satria | Cerpen

Kebenaran dalam Semangkuk Soto di Ujung Hari



Azi Satria


“Apakah kita benar-benar bisa menciptakan kebenaran?” Vina bertanya, diseruputnya jus apel yangbaru saja diantar pelayan.

“Tentu saja, jangankan menciptakan, mau menghilangkan atau mengubah pun manusia punya kuasa atas kebenaran. Kebenaran bukan semata-mata milik mereka yang punya akses terhadap dunia gaib, terhadap roh-roh nenek moyang, atau mereka yang sudah pernah merasakan anggur yang mengalir di sungai surga. Kebenaran itu subjektif, kebenaran itu diciptakan dari kerumunan masyarakat yang mempunyai isi kepala sama.” Aku berceloteh.

Kupandangi lembayung senja yang berwarna oranye, sebagian tertutup awan. Waktu menunjukkan jam 16:37 sore, sedangkan makanan yang kupesan, yakni semangkuk penuh soto ayam lengkap dengan sayur mayur dan bumbu cabai merah masih belum tersentuh. Vina sendiri dengan asyiknya melahap paha ayam bakar berlumur kecap.

Suasana lebaran, seperti biasa masih penuh oleh kehangatan. Suasana seperti ini tak jauh beda dengan berselimut tebal di kamar sambil sesekali meraih cangkir kopi dan mendengarkan suara hujan di luar rumah, nyaman. Lebaran kurasa bukan masalah maaf-memaafkan, toh yang namanya manusia pasti bisa memaafkan atau minta maaf tanpa harus diucapkan, tapi berkumpul dengan keluarga adalah hal yang paling penting.

“Tapi bukannya isi kepala masyarakat itu layaknya komputer, kita bisa memasukkan data apapun ke mereka?” Vina kembali bertanya, sambil mulutnya tak henti ber-nyam-nyam dengan ayam bakarnya.

“Tentu, bukan hanya memasukkan data, tapi juga virus, atau menginstall ulang mereka. Asalkan kau memahami seluk beluk pemikiran setiap manusia, disitulah kau bisa memulai memasukkan data, menambal celah yang bocor karena bug, atau justru memperparah keadaannya.” Aku menjelaskan.

Beberapa waktu lalu kawanku pernah bicara soal kerjaannya sebagai tukang ‘servis’ manusia alias psikiater. Dia bilang jika pikiran manusia itu bisa diobrak-abrik semaunya asalkan kau mempunyai kunci untuk menuju kesana. Pikiran manusia itu kompleks, tapi serumit apapun, asalkan tahu jalan masuk dan jalan keluarnya, toh tukang servis hp langgananku bisa membetulkan komponen mana yang harus ditambal atau diganti dalam papan sirkuit.

Setidaknya begitulah manusia, mau sekuat apapun tenaganya, mau sebesar apapun pengaruhnya, tetap masih mempunyai celah untuk dimasuki penjahat pikiran. Konon orang-orang beragama bilang jika tidak ada manusia yang sempurna, makanya manusia bukanlah produk final yang lahir tanpa bug di sistemnya. Sesuci apapun seseorang masih bisa dirasuki setan radikalisme, atau sepintar apapun seseorang masih bisa dibuat sebagai sales hoax media.

Kupandangi Vina, dia bukan wanita biasa yang bisa kau temukan di pinggir jalan sedang jajan bakso dengan pakaian serba minim, bukan pula wanita yang berboncengan bertiga sampai berempat diatas motor drag dan merayu anak-anak pembalap liar. Dia wanita yang tidak bisa dengan mudahnya kau taklukan hanya untuk meracuni pikirannya.

Kok ngelamun? Banyak pikiran ya? Jangan kebanyakan mikir, cepet mati!” Vina menepuk tanganku.

Karena penasaran, segera kucicipi soto ayam di depanku. Rasanya tetap seperti masakan restoran, bukan makanan rumahan. Entah kenapa soto buatan tetanggaku rasanya lebih punya karakter dibandingkan sekian banyak soto-soto yang kubeli di luar. Mungkin karena soto restoran dibuat dengan secarik resep masakan, bukan dengan satu jilid perasaan.

“Ayam bakarmu enak?” aku bertanya.

“Enak kok, kenapa?” Vina malah balik bertanya.

“Buatan mama kamu lebih enak dibanding soto ini.” Aku sedikit berbisik.

“Nah, berarti tugas koki restoran ini tidak berhasil untuk menciptakan kesetaraan pemikiran konsumen agar semua orang merasakan nikmat.” Vina tertawa kecil, kemudian melanjutkan “Karena layaknya pendirian dan pemikiran manusia, seseorang pasti terikat terhadap apa yang ia cintai, kesan pertama itu bisa menjadi segalanya.”

“Contohnya?” Aku bertanya, sambil merasakan daging yang bumbunya meresap sampai ke serat-seratnya, sayangnya memang tidak berkarakter.

“Kamu lahir di Indonesia, dan dengan semangat kebangsaan Jerman yang menyala-nyala atau dengan rasa kehormatan dan kebanggan tinggi negara-negara skandinavia, kamu akan tetap mengingat Indonesia. Kamu mengalami bullying ketika kecil, maka dewasamu akan lebih tertutup dengan orang yang tak kamu kenal, sebaik apapun orang yang menghampirimu.” Vina menjelaskan panjang lebar, sementara soto ayam sudah kuhabiskan setengah mangkuk.

Koki sialan ini lumayan hebat juga meracik bumbunya, ketika teguk terakhir, kuah soto kurasakan begitu nikmat. Apalagi sambil kupandangi wajah Vina dengan penuh rasa takjub.

“Tapi, bak air menghujami batu, lama-lama kau akan mulai terkikis, sotonya mulai enak kan?” Vina bertanya.

Sialan.

*

Jalanan macet seperti hari-hari lebaran di kota-kota lain. Walau ini kota kecil, tapi justru makin banyak yang mudik tiap tahunnya. Banyak yang pergi ke ibukota, mengadu nasib, ada yang sukses dan punya anak sehingga membawa anak-anaknya ke kampung halamannya, ada juga yang masih jomblo selama satu dasawarsa lebih, sehingga selalu ditanya kapan nikah setiap lebaran.

“Pakai sampo apa?” Aku bertanya disela-sela suara klakson orang-orang yang tak sabaran di jalanan, jelas-jelas macet.

“Kenapa?” Vina bertanya, wajahnya nongol di spion.

“Motorku tak lari kencang, tak mungkin aroma rambutmu membuatku mabuk, apalagi kau di belakang.” Aku berkata, sambil sesekali menghirup aroma rambutnya yang memang wangi, sedetik kemudian berganti dengan bau asap knalpot motor tua dengan pengendara muda di depanku.

Nggak pakai yang macam-macam, cuma sampo lima ratusan yang biasa di warung.” Vina membekapku dengan rambutnya.

“Bagaimana bisa aroma rambut berhiaskan sampo seribu dua-mu mengalahkan bau puluhan asap knalpot di sekelilingku?” Aku bertanya, sementara mobil di depanku mulai melaju pelan.

“Itulah bagaimana kau mengubah mindset masyarakat, berikan mereka wewangian, suapi mereka dengan hal yang menggembirakan. Apa keyakinanmu sekarang?” Vina bertanya dengan nada genit.

“Aku yakin kebenaran berada bersama setiap helai rambutmu!”

Adzan maghrib berbunyi, senja pudar dan jalanan mulai lengang. Aku akan makan ketupat buatan tetanggaku, walau aku tahu hanya dia yang masak ketupat di hari raya, karena rumah sekelilingnya ateis semua.

Ciamis, 16-6-2018

*


Akhirnyaa, lebaran kembali tiba dengan kebahagiaan yang sama. Bahagia rasanya melihat orang-orang berbahagia. Walau tidak ada kucuran iman yang saya terima, tapi lebaran kali ini mengucurkan banyak rasa kekeluargaan.

Selamat merayakan idulfitri bagi umat Muslim, semoga kita semua tetap berada dalam kesejahteraan dan kedamaian. 

Komentar

Postingan Populer