Basa-Basi #26 : Kesadaran



Entah saya termasuk orang macam apa, menerima berbagai macam hal tanpa perlu memilah-milahnya. Saya tidak anti terhadap hal apa pun jika ada seseorang membicarakan itu di hadapan saya, entah itu pemerkosaan, penghinaan, alkohol, narkoba dan macam-macamnya. Selama dia cuma membicarakannya, tanpa melakukan, saya tidak merasa perlu untuk meninggalkan pembicaraan.

Saya benci dengan pembunuhan, genosida atau perang, di mana saja. Mulai dari perang Kurusetra yang kebetulan saya membaca sekelumit kitab suci Bhagavad Gita sebelumnya untuk mengenalnya, perang dunia satu atau dua, perang salib, perang uhud, atau perang yang sedang berkecamuk di Timur Tengah sekarang ini.

Tapi jika ada seseorang yang mau membicarakannya dengan saya, saya tak akan menolak untuk menyimak. Misalnya bagaimana cara membantai musuh kemudian melenyapkan mayatnya, bagaimana cara membunuh musuh tanpa suara, atau hal-hal keji lainnya. Bagi saya, semua hal adalah pengetahuan, jika seseorang bisa menyerapnya.

Maka, filter dan pembatasan tidak dilakukan sebelum pembicaraan, tidak menolak untuk membicarakan ini-itu, tapi filter dilakukan setelah pembicaraan selesai. Mana yang barangkali bisa berguna, mana makna yang terkandung dalam hal ini, mana hal yang mungkin bisa jadi strategi perlindungan diri.

Makanya, saya selalu manggut-manggut dan enggan membantah. Barangkali terkandung makna yang bisa diambil dari suatu hal. Saya tidak lantas mencap ini jelek atau itu tidak boleh diterima, saya menyimak sampai akhir, manggut-manggut, kemudian bergegas pergi untuk memikirkan hal itu kemudian,

Saya berusaha untuk menjadi teratai. Dalam agama Buddha, biasa digambarkan jika Sidharta Gautama duduk di atas bunga teratai atau kembang seroja*. Dimana bunga teratai melambangkan tetap berdiri teguh dengan kebaikan walau sekelilingnya berisi keburukan.

Bunga teratai hidup di perairan berlumpur dan kotor, namun ia bisa tetap hidup dengan menebarkan keindahan bunganya yang mekar dengan anggun. Teratai tak pernah mengeluh walau hidup di tempat kotor, justru ia semakin nyaman hidup di sana, tanpa perlu menjadi ikut kotor pula.

Begitulah hidup menurut Buddha, tak perlu ikut-ikutan kotor kalau kita hidup di tempat kotor, tak perlu ikut nakal saat hidup di lingkungan yang nakal. Hidup menjadi diri sendiri itu penting, walau terkadang kontras, toh lebih baik daripada sekedar ikut-ikutan.

(Ada beberapa sumber yang mengatakan Buddha sebenarnya digambarkan bersama lotus atau bunga seroja, sebagian lagi bilang kalau Buddha sebetulnya bersama teratai. Tapi di Indonesia, lotus pun disebut teratai, mungkin karena sama-sama mirip.)

*

Akhir-akhir ini saya melakukan yoga dan meditasi. Walau hanya setengah jam sehari, saya rasa apapun yang dilakukan dengan khidmat akan berbuah manis. Entah itu sembahyang, upacara bendera, atau mendengarkan ceramah guru.

Yoga sering digunakan sebagai metode relaksasi bersama dengan meditasi, keduanya sama-sama berasal dari agama Hindu. Yoga sendiri artinya penyatuan, awalnya dilakukan sebagai bentuk menyatukan diri dengan Pencipta dan alam. Konon, ilmu ini diekstrak dari Weda oleh Maha Rsi Patanjali.

Mudah saja sebetulnya, hanya perlu mengatur aliran nafas. Gerakkan kepalamu ke kiri sambil tarik nafas, dalam lima hitungan kembali gerakkan ke tengah sambil menghembuskan nafas, atau gerakan-gerakan simple lainnya. Karena inti dari Yoga adalah konsentrasi, disitulah, dimana konsentrasi atau kesadaran penuh ini bisa membawa kita menuju angkasa, menuju apa yang disebut dengan penyatuan.

Kesadaran. Itulah inti dari kekuatan tertinggi manusia. Manusia yang paling tinggi dan kuat bukanlah mereka yang bisa minum sepuluh botol tequila tanpa mabuk, bukan pula mereka yang mampu menjinakkan jin dan berduel dengan mahluk alam lain. Manusia yang paling hebat adalah mereka yang sadar sepenuhnya.

Sadar, artinya tidak bertindak sembrono, tidak berbuat seperti orang mabuk. Kurang lebih, seperti yang dikutip oleh umat Muslim di timeline facebook saya : “Orang yang paling hebat adalah mereka yang mampu menahan hawa nafsu mereka”. Begitulah, bahwa inti dari berbagai macam kepercayaan dan keyakinan adalah kesadaran.

Sadar itu macam-macam. Sadar bahwa dirinya manusia sehingga menghormati manusia lainnya karena ia berbeda dengan binatang, sadar bahwa ia warga negara sehingga mematuhi aturan negara, sadar bahwa ia punya Tuhan sehingga mematuhi aturan Tuhan. Tapi kesadaran sesungguhnya membawa kepada kedamaian.

Jadi, kedamaian tidak bisa dihasilkan dari saling serang berdasarkan kebenaran. Karena kebenaran tidak hanya dimiliki oleh mereka yang sadar, orang mabuk pun bisa bicara kebenaran. Jika ada yang bicara kalau seseorang membawa kedamaian, tapi kau harus meng-genosida suatu kaum atau suatu kelompok, itu bukan tingkah orang yang sadar, tapi mabuk.

Kebenaran itu satu tingkat dibawah kesadaran. Karena kebenaran bisa diukur lewat tabel, dipelajari pula cara menentukan kebenaran lewat berbagai macam logika matematika di SMA. Kebenaran bisa kau copy paste dari orang lain, si A bicara mie goreng lebih enak dari mie rebus, kau pun bisa langsung percaya walau tak tahu jenis-jenis mie. Makanya, kepercayaan dan kebenaran sejatinya tidak bisa disandingkan dengan kesadaran. Tapi kesadaran, yang bisa membuat dirimu sadar betul adalah dirimu sendiri.

Tapi saat kamu sadar, kamu sudah tidak lagi peduli yang mana yang benar atau yang mana yang salah, karena tanpa cap benar atau salah pun, seseorang yang sadar tidak akan merampas hak orang lain, tidak akan mengganggu orang lain sebagaimana orang mabuk sering teriak-teriak dan meracau di depan tetangga. Saat sadar, kamu hanya akan menyadari jika cap benar-salah, bagus-jelek, atau indah-buruk hanyalah label yang sama-sama diciptakan manusia.

Orang-orang yang hobi sekali bertapa, atau menyepi di dalam goa sebenarnya bukan meninggalkan keduniawian secara langsung, tapi mulai melepaskan cap-cap duniawi dalam tubuhnya. Disebut tidak mengurus keduniawian artinya bukan diartikan rohnya melayang-layang meninggalkan tubuh kemudian jalan-jalan di angkasa, tetapi melepaskan pikirannya dari hal-hal yang bersifat remeh-temeh, subjektif dan cap-cap yang tidak penting.

Orang-orang yang diberikan karunia kesombongan akan membanggakan kesadaran ini, berpikir jika dirinya sudah mendapat makrifat level 10, kemudian mengaku Tuhan, mengaku Nabi, atau mengaku sebagai Awatara Wishnu. Itu banyak terjadi, bukan hanya di negara kita. Mereka sebetulnya hanya mendapat kesadaran penuh, disitulah letak pemikirannya.

Mereka tersadarkan, seketika pula merasa paling benar. Merasa dibisiki oleh jin, malaikat atau roh gentayangan. Orang yang sadar kemudian merasa tersadarkan dan tercerahkan sebetulnya tidak salah, hanya saja dia harus melanjutkan kembali prosesnya karena belum matang. Setelah merasa tercerahkan, orang kemudian akan merasa rendah, merasa sebutir kacang dalam panci berisi bubur kacang ijo seluas semesta.

Tapi ketika pertama saya mengakhiri kegiatan meditasi, saya merasa jika saya tiba-tiba merasa berada di dalam novelnya Albert Camus : semua serba absurd.

*
Aim at the sky
Open your mind
Then you will be
Balanced and free
Be the master over your own energy
Shake off oiled feathers, leave your past behind.
Use your inner force to reach your true self
When there's no future you can't be occupied
By non-essential waste and ruins of the past
Recreate your hologram
Dare to dive and fall
The point of no return restrains us

Begitu potongan lirik dari lagu Beyond the Matrix yang dibawakan band symphonic metal asal Belanda, Epica.

Liriknya simple, bagaimana manusia harus melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang membelenggunya, kemudian menjadi master of your energy alias punya kendali penuh atas dirinya sendiri. Tidak ikut-ikutan kotor di tempat yang kotor, menjadi teratai yang senantiasa mekar di tempat berlumpur.

Teratai bisa menyerap air yang berada di antara tumpukan lumpur kotor, maka manusia pun bisa tetap menyerap makna kehidupan dari hal-hal yang kotor pula. Karena yang terpenting adalah sadar. Jika kesehatan itu mahal, kesadaran jauh lebih mahal karena prosesnya seumur hidup.

Manusia senantiasa berkembang, ke berbagai arah, ke berbagai sudut. Menjadi lebih beringas, menjadi lebih toleran, menjadi lebih arogan, atau menjadi lebih bijak. Tak ada manusia yang bisa menghindari perkembangan, makanya kata munafik seharusnya tidak usah dipakai untuk membicarakan seseorang. Karena kita semua perlu munafik untuk hidup.

Saat ini saya idealis, kurang atau lebih dari lima tahun lagi, barangkali sudah berubah menjadi radikal atau bijak. Saat ini saya merasa benar, lima tahun lagi saya sudah bisa ngakak membaca tulisan-tulisan saya.

Karena manusia berkembang bersama waktu. Kemanapun ia tumbuh, yang jelas manusia tak akan pernah jalan di tempat. Pola pikirnya, percaya dirinya, tinggi badannya, atau ukuran kakinya. Manusia hanya perlu berjalan bersama waktu.

Karena semua manusia dalam masa perkembangan itulah, wajar jika seseorang berbuat salah, wajar jika seseorang perlu untuk meminta maaf. Serta, wajar pula seseorang memaafkan orang lain. Mereka yang sadar, tentu akan sadar pula kalau semua orang sedang dalam proses kehidupan. Maka, maafkanlah, minta maaflah, dan tersenyumlah.


Ciamis
1/8/18

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna