Dekonstruksi Iman



Dekonstruksi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2008 memiliki arti : penataan ulang;bentuk struktur bangunan yang tidak lazim. Sedangkan dalam filsafat, Jacques Derrida mengemukakan bahwa dekonstruksi adalah metode pembacaan teks dengan mengubah arti dari yang sebenarnya, menata ulang makna dari sebuah teks.

Rekonstruksi :  pengembalian seperti semula

Sedangkan Iman, dalam KBBI bermakna kepercayaan atau ketetapan batin.

Lantas apa hubungan dekonstruksi dengan iman? Apakah dekonstruksi iman berarti membongkar kepercayaan lama kemudian menggantinya dengan yang baru? Apakah dekonstruksi iman termasuk penistaan karena kepercayaan tidak bisa diperbarui bagaimanapun juga?

*

Saya bajingan, begitulah yang selalu saya pikirkan ketika membaca buku-buku agama. Bagaimana saya menjaga jarak dari agama kemudian berceloteh ria soal agama, tapi tetap, orang-orang masih suka berteman dengan saya, barangkali karena saya senang sekali membual dan mengada-ada.

Ketika saya menulis Rekonstruksi Iman, saya tidak berpikir yang lain selain memuji keterampilan saya dalam mencampurkan kopi dan gula dengan takaran pas. Rekonstruksi Iman terjadi atas dasar ketidaksengajaan, yang maknanya justru datang setelah dua jam selesai menulis.

Baca : Rekonstruksi Iman

Rekonstruksi Iman berangkat dari pemikiran saya akan feminis, gerakan dimana katanya wanita harus disama ratakan dengan pria atau bahkan lebih. Belakangan saya tahu jika Ariana Grande juga diisukan menyuarakan feminisme garis kerasnya dengan lagu God Is A Woman.

Begini paragraf pertama dari tulisan saya beberapa waktu lalu:

Gadis itu telanjang di dalam kerangkeng besi.

Telanjang melambangkan kebebasan. Tanpa baju, tanpa aturan, tanpa norma yang mengikat selama ini. Kaum nudist yang hobi telanjang itu juga bakal mengiyakan jika saya bicara telanjang adalah kebebasan. Sedangkan kerangkeng besi menunjukkan bagaimana kebebasan itu semu dan sia-sia saja karena mereka berada dalam penjara, dalam kerangkeng besi. Saya lebih suka menggunakan kata kerangkeng, apalagi sejak kecil membaca cerita silat, Bastian Tito sering sekali menggunakan kata kerangkeng dibanding sel besi.

Jadi, sia-sia saja seorang gadis berbicara dan berteriak lantang bicara mereka bebas, padahal mereka sebenarnya dalam kurungan. Istilahnya kebebasan semu.

Tubuhnya indah, konon yang disebut sebagai ‘gitar spanyol’ oleh orang-orang di sekitarku. Rambutnya yang berwarna hitam pekat tampak begitu lembut tergerai menutupi dada kirinya. Wajahnya seperti kebanyakan perempuan yang aku temui, manis dan seperti penjual jamu keliling, ayu. Tipe gadis desa yang kuidamkan.

Saya mendeskripsikan gadis ini. Lewat sudut pandang orang pertama, saya menjadikan tokoh aku sebagai seorang yang begitu berbunga-bunga melihat seorang gadis dalam kerangkeng. Untuk paragraf ini barangkali tidak terlalu penting, karena hanya mendeskripsikan bagaimana si gadis ini perawakannya.

Tipe gadis desa yang kuidamkan, ada apa gerangan dengan gadis desa?

Gadis desa, seperti yang kebanyakan orang sama-sama yakini, merupakan gadis yang polos dan lugu. Gadis desa bukan saja simbol keluguan dan kepolosan, tapi ketaatan dan minimnya pengetahuan akan dunia luar,

Saya pernah menonton film-film lawas, yang kala itu masih zamannya Suzanna merajai top artis Indonesia. Ada kesan mendalam akan peran seorang gadis desa yang mencuci baju di kali, kemudian pulang sambil cekikikan karena digoda pemuda-pemuda kampung. Bahkan tampaknya gadis desa sampai sekarang masih dijadikan karakter polos utama dalam sebuah film, gadis penjual jamu dengan logat medok dan memakai selendang batik.

Gadis desa dalam kerangkeng besi. Wanita yang merasa dirinya bebas tapi sebetulnya terkurung karena kepolosannya sendiri, wanita yang masih belum bisa menyentuh informasi-informasi dari luar, bukan hanya gadis desa, tapi gadis kota pun bisa. Mereka yang masih terkurung oleh adat, tradisi dan norma, mereka yang masih berpikir jika kebebasan adalah menelanjangi diri, menjadikan dirinya sebagai objek seks laki-laki semata, tanpa berpikir jika kebebasan sebenarnya ketika ia keluar dari aturan-aturan tersebut. Gadis desa yang kuidamkan, karena sesungguhnya laki-laki sangat suka dengan gadis polos yang taat aturan, yang masih berpegang teguh atas aturan dan membiarkan pendirian serta pemikirannya tergeletak di lantai.

Ada rekomendasi buku bagus, ‘Hati-Hati dengan Kelaminmu’ karya Djenar Maesa Ayu. Sedikit banyaknya tulisan saya memiliki satu-dua tetes dari hasil membaca karya-karyanya.

Aku menatap gadis itu dari sini, sembari duduk dan menikmati sebotol smirnoff. Malam semakin larut namun udara tetap panas, barangkali karena aku sudah lebih dari sepuluh menit menatap dari ujung kaki sampai ubun-ubun gadis ini.

Gadis lugu dan polos, tidak selalu didekati oleh pria baik-baik, bahkan malah akan didekati oleh pria pemabuk yang doyan minum. Saya tidak menulis tokoh aku meminum ciu atau tuak karena tentu, si tokoh aku ini jelas tipe bajingan luxury yang minumnya bukan lagi obat batuk dicampur-campur, melainkan merk-merk terkenal.

Si tokoh aku senang sekali menatap gadis itu dari atas sampai bawah, tentu sambil ngiler dan penasaran bagaimana kejadian selanjutnya saat ia memboyong gadis itu. Gadis yang taat aturan, hobi menutup tubuhnya bagai sebungkus lontong tentu lebih membuat pria penasaran dibanding perempuan yang jelas sudah memamerkan isi tubuh mereka seperti bakwan. Jelas ada udang, kol, atau bawang. Sedangkan lontong, saya sering zonk mengira lontong isinya tempe ternyata lebih banyak wortelnya.

Konon ada kata mutiara ‘Pria baik-baik akan bertemu perempuan baik-baik, dan pria buruk akan bertemu perempuan buruk pula’. Bung, kehidupan ini dinamis, tidak seperti rumus matematika yang tetap gitu-gitu aja walau ditulis di buku tulis atau buku pelajaran.

“Saya dimana?” dia bertanya dengan penuh keluguan.

Gadis-gadis lugu, taat aturan, dihadapkan dengan hingar bingar dunia tentu akan kebingungan. Apa yang mereka idam-idamkan ternyata berlainan dengan realita yang ada.

Aku menghisap rokok yang hampir habis setengah. Gadis itu mencoba menarik kerangkeng besi dengan tangannya. Ia berdiri, namun kerangkeng itu lebih tinggi dari dirinya, mungkin dua meter. Kemudian ia duduk kembali, tangannya menutupi bagian-bagian tubuhnya yang paling pribadi, sadar dirinya tak berdaya.

Lantas apa yang bisa dilakukan seseorang yang sudah menjadikan aturan-aturan kuno dalam hidupnya ketika menemukan keluasan serta kebebasan diluar sana? Mereka berontak.

Manusia berpikir aturan bisa menjaga dirinya dari pengaruh dunia luar, tapi justru akan berbalik, ketika dunia luar bisa merangsek masuk, mereka yang berada dalam aturan tak bisa kemana-mana, terjebak. Mirip seperti adegan dalam film Red Cliff, kisah tiga kerajaan, dimana strategi perang membuat benteng hidup melingkar itu bisa roboh ketika pasukan musuh bisa menguasai sekelilingnya.

“Kasihku, aku suamimu.” aku berkata.

Bola matanya yang kecoklatan mendelik. Sedangkan sayup-sayup di luar ruangan aku mendengar suara langkah kaki. Barangkali pelayan.

Apa lagi yang bisa dilakukan seorang gadis polos di tengah hingar bingar dunia? Keluar dari lubang buaya masuk lubang siluman. Ibaratnya kisah Wiro Sableng, keluar dari pergulatan di Gajahmungkur, malah tersesat ke Latanahsilam.

Hanya berbekal kepatuhan tidak bisa membuat seseorang hidup bahagia. Hidup ya hidup, tapi urusan bahagia dan kesejahteraan serta kestabilan pikiran ya itu lain lagi. Hidup berbekal patuh dan taat tanpa disertai logika kenapa ia harus patuh tentu saja sia-sia.

Benar saja, seorang pria masuk ke dalam ruangan, sang pelayan tempat ini. Aku hanya tahu jika tempat ini menjual wanita-wanita segar, jauh berbeda dengan yang biasa-biasa.

“Jadi yang ini, Tuan?” tanya pelayan sambil tersenyum lebar.

Pelayan separuh baya dengan kumis tebal dan jidat lebar itu menyodorkan secarik kertas. Kwitansi rupanya. Setelah menggoreskan tanda tangan, aku menyalami pelayan itu.

“Dibungkus, Tuan?” ia bertanya.

“Iya.”


Lho? Kok jadi perdagangan manusia?

Lha iya! Aturan-aturan serta kerangkeng-kerangkeng besi kuno itu ujung-ujungnya lari ke perdagangan manusia. Tidak secara langsung, tetapi secara tidak langsung, harkat dan martabat seorang wanita tidak lepas dari tangan-tangan orang lain.

Konon ini selaras dengan kisah Siti Nurbaya, dijodoh-jodohkan sekalipun si wanita tidak mau, yang penting harus nurut. Begitulah sistem kuno yang mengatur kehidupan seorang wanita, keluar dari sel dimana wanita tidak boleh ini-itu kemudian masuk ke dalam sel lain, dimana si suami mungkin bisa menikahi wanita lain sampai empat atau lima orang.

Aku merogoh saku. Aku lupa belum sembahyang.

Cuk, apa hubungannya sembahyang dengan celotehan diatas? Penulisnya harus diboikot!

Lho, lho, ini justru yang menjadi titik terakhir perjalanan kita soal wanita, feminisme dan tetek bengeknya. Si tokoh aku ini tentu bukan ateis, mana ada ateis yang sampai ingat ia belum sembahyang, kecuali ateis onlen. Sembahyang tentu saja berkaitan dengan agama.

Ada apa dengan agama?

Lha, mana saya tau. Kesimpulannya silahkan terka sendiri. Jangankan kesimpulan, makna-makna yang sudah saya jabarkan pun bisa anda ubah-ubah sesuai keinginan hati, mau jadi kisah religi, cerita dewasa atau cerita anak bebas. Mau percaya dengan apa yang saya jabarkan ya monggo, mau menjabarkan sendiri kalau tulisan ini artinya penistaan, kedamaian, kesejahteraan, atau romantisme bisa.

Sebebas-bebasnya saya membebankan semua makna kepada pembaca. Mau positif atau negatif terserah. Ini bukan tulisan suci, tidak ada yang akan dicelup ke dalam neraka dan disetrika oleh malaikat-malaikat neraka jika anda salah mengartikan, tidak ada pula yang akan diblender bersama lahar yang mendidih.

Setelah iman di rekonstruksi, saya acak-acak kembali dengan di-dekonstruksi. Tapi tulisan ini boleh diabaikan, lagipula cuma pelampiasan saya gara-gara kopi terlalu pahit.
Orang bilang tulisan itu harus sederhana biar bisa dimengerti siapapun. Justru saya lebih suka orang tidak mengerti dan disalah tafsirkan, karena jika setiap orang mengerti, tamat sudah. Tulisan saya bukan konsumsi orang waras. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna