Rekonstruksi Iman
Gadis itu telanjang di dalam kerangkeng besi.
Tubuhnya indah, konon yang disebut sebagai ‘gitar spanyol’ oleh orang-orang di sekitarku. Rambutnya yang berwarna hitam pekat tampak begitu lembut tergerai menutupi dada kirinya. Wajahnya seperti kebanyakan perempuan yang aku temui, manis dan seperti penjual jamu keliling, ayu. Tipe gadis desa yang kuidamkan.
Aku menatap gadis itu dari sini, sembari duduk dan menikmati sebotol smirnoff. Malam semakin larut namun udara tetap panas, barangkali karena aku sudah lebih dari sepuluh menit menatap dari ujung kaki sampai ubun-ubun gadis ini.
“Saya dimana?” dia bertanya dengan penuh keluguan.
Aku menghisap rokok yang hampir habis setengah. Gadis itu mencoba menarik kerangkeng besi dengan tangannya. Ia berdiri, namun kerangkeng itu lebih tinggi dari dirinya, mungkin dua meter. Kemudian ia duduk kembali, tangannya menutupi bagian-bagian tubuhnya yang paling pribadi, sadar dirinya tak berdaya.
“Kasihku, aku suamimu.” aku berkata.
Bola matanya yang kecoklatan mendelik. Sedangkan sayup-sayup di luar ruangan aku mendengar suara langkah kaki. Barangkali pelayan.
Benar saja, seorang pria masuk ke dalam ruangan, sang pelayan tempat ini. Aku hanya tahu jika tempat ini menjual wanita-wanita segar, jauh berbeda dengan yang biasa-biasa.
“Jadi yang ini, Tuan?” tanya pelayan sambil tersenyum lebar.
Pelayan separuh baya dengan kumis tebal dan jidat lebar itu menyodorkan secarik kertas. Kwitansi rupanya. Setelah menggoreskan tanda tangan, aku menyalami pelayan itu.
“Dibungkus, Tuan?” ia bertanya.
“Iya.”
Aku merogoh saku. Aku lupa belum sembahyang.
4/8/18
Komentar
Posting Komentar