Basa-Basi #27 : Meninggalkan Akal Sehat

Sumber gambar : Deviantart


Pemikiran rasional tidak lagi dibutuhkan di era post-truth ini. Makanya, orang ramai-ramai meninggalkan kewarasan dan meninggikan kebodohan. Tidak ada yang perlu dipikirkan, kata mereka sambil tertawa-tawa. Padahal itu sebuah anggapan salah, mana bisa seseorang hidup tanpa berpikir.

Kehidupan yang tak dipikirkan dan direnungkan, maka kehidupan itu sia-sia adanya, begitu kalimat yang diucapkan oleh para filsuf Yunani kuno. Tapi di zaman sekarang, berpikir dianggap sebagai kegilaan, atau barangkali berpikir terlalu dalam dianggap sebagai hal sia-sia yang serupa dengan bertapa di goa penuh siluman.

“Jangan berpikir terlalu dalam!”

Begitu ucap banyak orang. Sehingga, bibit-bibit muda pun semakin kacau dalam berpikir, mereka enggan untuk memulai berpikir secara kritis dalam menanggapi persoalan hidup dan permasalahan-permasalahan yang membutuhkan jawaban dari dalam diri.

Beruntung saya kenal dengan filsafat, yang dikenal sebagai induk segala ilmu. Ilmu yang paling kontroversial karena dianggap bertentangan dengan agama serta sejajar dengan kegilaan. Bagi saya, mempelajari dasar-dasar seni berpikir adalah sebuah ilmu yang menyenangkan dan mengasyikan.

Bahkan, saya merasa jika filsafat sebenarnya tidaklah tabu untuk dipelajari masyarakat luas, bahkan berbalik menjadi harus dipelajari oleh semua kalangan. Bagaimana sikap kritis membawa kita menuju pemikiran terstruktur dan tentunya akan lebih mudah untuk memperhitungkan segala macam akibat yang akan terjadi.

Anggapan-anggapan yang menyatakan jika berpikir secara mendalam akan menghasilkan dampak buruk adalah anggapan dangkal dan keliru. Lantas jika berpikir secara mendalam menghasilkan dampak buruk, apakah dengan menelan mentah-mentah berbagai macam hal yang nampak akan menghasilkan dampak baik?

Kita perlu berpikir rasional, dimana kuda pasti berlari bukannya terbang ke angkasa luas. Kita perlu berpikir rasional, bahwa kemiskinan bukan kejadian gaib yang perlu disikapi dengan tabah melainkan dengan berusaha menggapai kekayaan dan melompat dari kemiskinan. Jika manusia berpikir secara dangkal, kebodohan akan merajalela.

Pola pikir masyarakat inilah yang perlu didekontruksi. Kita perlu menunda kepastian final bahwa berpikir terlalu dalam itu berbahaya, kemudian menyelipkan kembali : berpikir terlalu dangkal itu lebih berbahaya dan mengundang jutaan permasalahan.

Orang-orang ramai menikahkan anak-anak dibawah umur, pemikiran mereka cuma satu : agar agar anak-anak bisa lebih mandiri atau ‘toh mereka sudah baligh’. Padahal ini bencana, bukan urusan cinta atau selangkangan. Pendidikan rendah, dan tentu dengan usia yang masih belia mungkin sikap emosional serta psikologis mereka masih rendah, rentan pula untuk perceraian dan kemudian menjanda/duda muda.

Kematangan seseorang tidak diukur berdasarkan satu aspek saja. Saya misalnya, masih belum matang dan tentu belum siap menikah karena decision making alias pengambilan keputusan saya yang masih amburadul. Ada pula remaja yang sudah dewasa secara fisik, kecerdasan sosialnya tinggi, namun pengetahuan serta pemikirannya masih belum bisa berubah layaknya dewasa. Mereka belum siap.

Untuk itulah berpikir diperlukan. Kita perlu menentang apa yang disebut kepastian final, apalagi yang didasarkan hanya dengan ‘katanya’ atau hal-hal irrasional lain. Kita perlu menciptakan ruang kemudian mengisinya dengan jawaban-jawaban lain yang lebih masuk akal.

Kita perlu bertanya, kemudian menjawab. Kita bukan manusia yang harus pasrah akan keadaan, manusia yang harus menerima semua kesedihan dan kemalangan sambil berharap pada bintang jatuh, atau manusia yang melakukan semua kegiatan tanpa tahu apa yang ia kerjakan.

Seperti yang saya tuliskan di paragraf awal tulisan ini, jika ini zaman post-truth, dimana orang lebih suka dengan opini subjektif dibandingkan fakta yang jelas terpampang di depan mata. Walau orang tahu jika kebenarannya barangkali bisa mereka ketahui, tapi tetap, hoax lebih menggoda.

Tak bisa dipungkiri, pola pikir serta cara pandang kita berbeda tergantung bersama kelompok mana kita, dimana kita berada, atau siapa orang yang kita jadikan sebagai panutan. Saya yang hobi membaca tulisan-tulisan bercorak kebebasan pemikiran tentu berbeda dengan mereka yang suka membaca buku-buku kajian agama atau kisah inspirasi.

Tapi bentuk mengkotak-kotakkan manusia itulah yang perlu kita dobrak. Kita tidak perlu takut untuk membelot dari kawanan, selama kita mau dan mampu, kenapa harus takut. Lha, wong semua orang-orang besar juga pembelot kok.

Galileo Galilei yang dihukum mati gereja karena bilang bumi ini bulat, bukan datar. Obama yang membelot dan meruntuhkan pikiran bahwa orang kulit hitam tidak perlu ngimpi jadi presiden. Socrates dianggap merusak pikiran dan moral karena berpikir terlalu mendalam dan jauh menuju akar kebijaksanaan.

Lho, tapi itu kan orang-orang besar, ngimpi apa kamu semalam mau meniru mereka?”

Ini juga bentuk dari kedangkalan berpikir tadi. Orang takut berpikir, mereka takut tidak menghasilkan apa-apa selain kegilaan dan kebuntuan. Orang-orang seperti inilah yang pola pikirnya perlu diubah, bahwa berpikir bukan hanya mengejar ketenaran, ngelmu, atau meninggalkan kewarasan. Berpikir adalah kebutuhan.

Jadi, kapan mau berpikir?

Ciamis
7-9-18

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna