Review Album Epica : The Holographic Principle (2016) - Semesta dalam Nada



Bagi skema musik metal hari ini, nama Epica sering digaungkan sebagai band Symphonic-metal dengan karakteristik unik baik secara lirik maupun instrumen. Tentu, disini pula saya akan mengemukakan alasan kenapa saya juga mendukung argumen banyak orang bahwa Epica adalah brand-new symphonic-metal band.

Dalam album terbarunya yang dirilis pada 2016, Epica bisa dibilang semakin bergerak menuju apa yang saya sebut sebagai : metal-filsafat. Dengan lirik-lirik bertemakan pertanyaan atas realitas, bertanya-tanya kenapa kita disini, bagaimana masa depan umat manusia hingga cengkraman teknologi.

Album ketujuh band symphonic metal Belanda ini membuat saya terkagum-kagum baik secara lirik maupun instrumen musik yang dibawakan. Walau secara jujur sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan album favorite semua orang : The Phantom Agony yang mereka rilis tahun 2003.

Epica tidak lagi membahas kekerasan atas nama agama, perkara sosial dan mereview kejadian-kejadian memuakkan yang terjadi dalam skala global. Jika dulu dihebohkan dengan semprotannya terhadap oknum pendeta yang memperkosa anak dibawah umur pada Cry for the Moon dan menyindir para teroris yang gema meledakkan bom dengan dalih agama di Seif al din, maka kini Epica tidak lagi membahas itu semua.

Epica mengerucutkan pandangan mereka, tapi sekaligus memperluasnya. Mereka tidak lagi berkutat dengan perkara sosial, namun membahas diri sendiri, bagaimana kesadaran perlu dibentuk sejak dalam pikiran. Tapi kemudian membahas diri sendiri ini menjadi jauh lebih luas karena kita ternyata memiliki sumber daya intelejensi tak terbatas dan harus mencari tahu jati diri di semesta luas ini.

Berikut track list dari The Holographic Principle :

1. Eidola

Dibuka dengan Eidola, yang menurut Simone Simons dan Mark Jansen “The title comes from the ancient Greek for phantom or image, and it’s where the word ‘idol’ comes from. The idea is that after death, it's all that remains of the body. After I had written the music for Eidola, I felt there was something missing so our keyboard player Coen (Janssen) rebuilt it with many new parts and it became massive. He added an orchestra which gives a cinematic feel and we have all these metal riffs going on. It’s like a wild roller coaster ride.”

Tentu, yang bisa saya tangkap dari pernyataan Simons dan Mark Jansen bahwa pembuka album ini, yakni Eidola merupakan sebuah kontemplasi instrumental. Bahwa tidak ada yang lebih berharga dari seorang manusia selain idenya, idea, ruh, apapun itu. Tentu saja, bahasan metafisika ini akan dilanjutkan dalam lagu-lagu berikutnya yang lebih jauh menggali, kenapa kita perlu sadar akan pikiran kita, ruh dan jiwa kita.

Dilanjutkan dengan Edge of The Blade, dimana liriknya benar-benar menegaskan kembali mengapa kita perlu sadar akan eksistensi dan pikiran kita.

It's time to break through
Your walls are soaring high
You can even try to
Break through the perfect state of mind

Potongan lirik ini bahkan bisa menjelaskan keseluruhan lirik lagu Edge of The Blade. Kita perlu untuk keluar dari zona nyaman, keluar dari zona dimana kita terlalu mempedulikan hal-hal remeh yang tidak begitu penting bagi hidup kita sendiri. Maka, benar-benar pemberani bagi mereka yang bisa menerobos tabir yang menyelimuti dirinya.

Lagu-lagu selanjutnya yang disuguhkan memang sangat terasa atmosfir yang ‘Epica banget’ dimana suara gitar yang dipadukan dengan orkestra dan choir yang lebih banyak dan lebih nendang. Di beberapa lagu, seperti Universal Death Squad yang menjadi favorit saya pribadi, benar-benar memberikan atmosfer unik, yang tentu selaras dengan liriknya.

Universal Death Squad menceritakan bagaimana AI (Artificial Intellegence) mengalami skenario terburuknya : ia dapat berpikir sendiri kemudian menggenosida manusia. Tinggal pertarungan hidup-mati antara penyintas manusia melawan robot-robot yang manusia itu sendiri ciptakan. Saya tidak bisa mendefinisikan musik sebagaimana reviewer album lain, tetapi bagi saya, memadukan antara paduan suara ala-ala gothic metal dengan nada instrumental yang kental dengan nuansa elektronik menjadikannya sesuatu yang baru.

Di dalam album ini, selain tema besarnya membahas bagaimana menembus batasan-batasan dalam diri kita dan reach our true self, tentu Epica juga memasukkan unsur lain yang biasa ada di album-album mereka sebelumnya. Seperti Divide and Conquer yang mengisahkan bagaimana bangsa barat dan US hanya mengincar kilang minyak Timur Tengah dengan dalih operasi kemanusiaan yang justru menghancurkan Timteng.

Kemudian ada Dancing in a Hurricane yang Simons dedikasikan untuk anak-anak di seluruh dunia yang masa kecilnya harus berada dalam kondisi tidak aman, tentu ini juga menjadi lagu yang bisa merepresentasikan kehidupannya. Putranya, Simons jaga dengan baik dan tidak pernah diekspos ke publik walaupun ia seorang public figure.

Diakhiri dengan The Holographic Principle – A Profound Understanding of Reality yang mana menjadi ‘kesimpulan’ dan rangkuman dari keseluruhan album. Menjadikan salah satu album favorit saya yang bisa didengarkan tanpa perlu melewatkan satu lagu pun.

Komposisi paduan suara serta instrumen yang dibawakan benar-benar memanjakan telinga. Terutama di lagu pamungkasnya, berdurasi hampir 12 menit dengan paduan antara choir latin, solo gitar memanjakan telinga dan penempatan nada yang bisa membangkitkan semangat, kesedihan sekaligus memaksa kita untuk berkontemplasi.

Album ini jauh mengajak kita menelisik jati diri, menguak misteri di dalam pikiran kita hingga semesta dan masa depan. Tentu berbeda dengan Epica masa-masa 10 tahun lalu atau lebih, dimana para personil masih bujangan, belum berkeluarga dan istilahnya ‘young, wild and free’ dimana yang mereka bahas adalah isu-isu sensitif seperti agama atau permasalahan cinta. Epica hari ini jauh lebih tertata, lebih rapi sekaligus lebih dewasa.

Singkatnya, Epica adalah band metal yang hampir semua albumnya saya sukai, tentu saja karena liriknya yang berkualitas serta paduan suara yang turut mendukung atmosfir yang dibangun. Walau kemudian Mark Jansen mendirikan band baru, MaYan yang tampaknya akan menyaingi Epica, tapi dari segi keunikan, Epica sudah memiliki ciri khasnya sendiri.

Album ini perlu sekali mendapatkan rating 9/10

Postingan ini bisa ditelusuri lewat mesin pencari dengan kata kunci : Review album metal bahasa Indonesia, Review Epica bahasa Indonesia, Web metal bahasa Indonesia, Makna lagu Epica, Arti lagu Epica

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna