2019, Buku dan Halaman yang Tertinggal - Bag.1




Hal lain yang mewarnai 2019 saya adalah buku. Agaknya saya sudah membaca lebih dari 50 judul 2019 lalu. Tentu saja dengan perubahan genre dan perubahan mood.

Saya membuka kembali catatan transaksi di salah satu marketplace tempat saya langganan membeli buku. Di awal Januari, tepatnya 15 Januari 2019 saya membeli Guns, Germs and Steel karya Jared Diamond. Buku ini masih saya beli dengan uang hasil menabung. Buku ini semakin menguatkan semangat evolusionis saya yang saat itu masih menggelora. Beberapa materi yang masih saya ingat dari buku ini yakni tentang persebaran manusia pada masa awal, teori yang menjelaskan kenapa beberapa negara mengalami peningkatan pesat sedangkan beberapa lagi masih tergolong primitif. Menarik dan sangat ringan. Menjadi pembuka yang manis untuk 2019.

Di awal-awal 2019 saya masih sangat bersemangat untuk membaca filsafat dan psikologi. Beberapa yang paling saya ingat adalah buku Kierkegaard : Pergulatan Menjadi Diri Sendiri karya pak Thomas dan diterbitkan oleh KPG, buku Spinoza : Filsafat Praktis karya Gilles Deleuze dan diterbitkan serta diterjemahkan oleh BasaBasi. Selain itu, dilanjutkan dengan Psikologi Jung yang diterbitkan BasaBasi, kemudian membaca dua eBook Carl Rogers atas rekomendasi seorang guru BK, berjudul On Becoming A Person dan A Way of Being.

Pada awal tahun, yang paling saya ingat adalah membeli Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan, dengan sampul merah menggoda. Novelnya sendiri memerlukan waktu yang cukup singkat untuk diselesaikan, mengingat tebalnya yang sekitar 500 atau 600 halaman. Novel yang mengenalkan saya dengan karyanya yang lain. Selain Cantik itu Luka, karya Eka lain yang saya baca sampai tuntas adalah kumpulan cerpen Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi.

2019 juga menjadi tahun dimana saya melahap buku-buku John Steinbeck yang lain, setelah akhir 2018 menyelesaikan Tortilla Flat alias Dataran Tortilla yang direkomendasikan oleh Om Agus, seorang kenalan, pembaca buku yang kadang sering saya tanya apa saja buku yang ia rekomendasikan. Lewat ia pula saya jasi tertarik untuk membeli dan membaca Seribu Burung Bangau karya Yasunari Kawabata bulan Juni lalu.

Buku-buku John Steinbeck lain yang saya baca di 2019 adalah Bulan Turun (BasaBasi) terjemahan dari Moon is Down, To A God Unknown / Kepada Ilah yang Tak Diketahui (GPU), East of Eden (GPU), Cannery Row (Bentang Pustaka), Mice and Men / Tikus dan Manusia (GPU).

Dari buku-buku tersebut, favorit saya adalah East of Eden, terbit dua buku, bagian satu dan dua, dan jumlah halaman totalnya sekitar 1000an halaman. Buku yang menarik dari segi penuturan dan perkembangan tokohnya. Buku ini kangsung menjadi favorit saya sejak pertama kali membaca.

Salah satu corak John Steinbeck yang saya sukai benar adalah kemampuannya untuk menggambarkan suasana psikologis dari tokoh utama dan keluarganya. Tidak pernah rasanya Steinbeck menggambarkan seorang yang asing dalam novel-novelnya, ia berpusat pada keluarga dan tetangga-tetangga, sahabat karib dan kisah cinta yang biasanya diakhiri dengan sakit hati dan bunuh diri.

Di pertengahan tahun, yakni bulan Juli 2o19 saya menyempatkan diri untuk membeli komik Marvel. TPB alias Trade paperback dari serial Extermination itu saya beli dengan harapan bisa mencontek gaya pewarnaan dan inking dari para master. Sedikit-sedikit, saya akhinya belajar komposisi warna ala Marte Gracia. Membeli komik ini juga semacam penebusan dosa, karena koleksi belasan GB komik bajakan saya seolah minta pertanggungjawaban.

Beranjak ke bulan selanjutnya, keranjang belanja saya terisi oleh dua novel John Steinbeck yang telah disebutkan di atas. Selain itu, saya membeli Muslihat Musang Emas karya Yusi Avianto Pareanom, yang buku pertamanya, Rumah Kopi Singa Tertawa saya beli di akhir 2018. Tadinya saya ingin sekalian membeli Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi, sayangnya mbak-mbak customer servicenya bilang sudah habis, jadinya saya tukarkan dengan buku pertama dari Trilogi Cicero karya Robert Harris, yakni Imperium.

Agustus itu saya juga membeli buku filsafat, lebih mirip ensiklopedia sepanjang zaman, membentang dari Yunani Kuno sampai post-mo. Buku terbitan Kanisius, Petualangan Intelektual yang ditulis oleh Simon Petrus L. Tjahjadi. Bukunya mengasyikan, sedikit mengingatkan saya dengan buku The Philosophy Book terbitan DK Publishing, tentu saja ini versi seriusnya.

Saya kemudian membeli Therese Raquin karya Emile Zola, setelah sebelumnya asyik membaca Germinal. Karya Emile Zola menjadi pilihan lain saat saya ingin membaca novel Perancis selain Alexandre Dumas dan Victor Hugo. Membaca novel-novel Emile Zola seperti diajak masuk ke dalam perjalanan hidup tokoh-tokohnya, begitu intim dengan pembaca, dengan intrik yang masuk akal dan meresap ke dalam jiwa.

Tahun lalu juga saya membaca buku dari berbagai belahan dunia. Buku yang paling saya ingat adalah Sightseeing karya Rattawut Lapcharoensap, pengarang Thailand. Sightseeing adalah kumpulan cerpen yang tidak bisa saya lupakan, beberapa sebabnya karena cerpennya memiliki corak yang sama dengan Yanusa Nugroho di suatu sisi.

Misalnya cerpen yang berjudul Priscilla The Cambodian yang membuat saya terharu. Sangat intim dengan saya, sedangkan saya sendiri tidak pernah mengalami kejadiannya. Seperti ada bagian dari diri saya yang ingin mengakui bahwa saya pernah mengalami hal yang sama, sayangnya saya masih belum tahu kapan, dimana, atau di dimensi mana saya pernah mengalaminya.

Cerpennya yang lain berfokus pada masalah persahabatan dan keluarga, tidak jauh-jauh. Bahasanya juga cenderung membosankan, walau saya menikmatinya. Misalnya cerita seorang adik yang mengikuti sang kakak ngelem dan bergaul di sebuah lingkungan kumuh dan tidak sehat. Saya jadi ingat betapa seorang kakak adalah salah satu bagian penting dari hidup kita.

Buku dari tempat tak terduga lain adalah The Fishermen karya Chigozie Obioma, saya membacanya melalui platform perpustakaan digital. Buku ini masih sama, berpusat pada keluarga dan lingkungan, mengingatkan beberapa carpon berbahasa Sunda yang sering saya baca ketika masih kecil. Buku ini ditulis dan berlatar belakang Nigeria, fokus pada empat bersaudara dengan konflik internal dan eksternal keluarga serta lingkungannya. Saya cukup menikmati beberapa bagian, seperti bagian dimana ada sungai yang disakralkan dan mengundang kualat bagi siapa saja yang berani menginjakkan kaki untuk sekadar memancing atau bermain di sungai itu.

Di akhir 2019 saya juga membeli buku Aravind Adiga, penulis India. Buku yang saya beli diskon itu tentu saja bukunya yang menang penghargaan Man Booker Prize 2008, The White Tiger. Buku ini menceritakan seorang pemuda kampung yang tumbuh menjadi pelayan mafia, bekerja bersama elit-elit politik, hingga ia menyinggung hubungan China-India dewasa ini.

Menarik karena ternyata baik India maupun Indonesia memiliki kesamaan di beberapa titik. Hal yang kurang menarik bagi saya dalam buku ini adalah gaya penulisan Aravind Adiga berbentuk surat-menyurat. Ini juga mengingatkan saya dengan buku Ratih Kumala yang berjudul Wesel Pos. Saya tampaknya tidak terlahir untuk suka dengan buku dengan gaya penulisan surat-menyurat.

Bersama buku Aravind Adiga itu, saya juga membeli sebuah buku non-fiksi berjudul The Economic Naturalist: Why Economics Explains Almost Everything karya Robert H. Frank. Sebuah buku yang menarik, utamanya karena berisi fakta-fakta menarik mengenai dunia kerja dan ekonomi.

Tahun lalu saya juga membaca buku-buku karya penulis Jepang. Misalnya buku Natsume Soseki berjudul Botchan yang mengisahkan guru desa di Jepang dan lika-liku kehidupan di desa dan sekolahnya. Mirip seperti anime-anime slice of life yang pernah saya tonton bertahun-tahun lalu.

Selain Soseki, saya juga membaca Daerah Salju karya Yasunari Kawabata. Buku ini, seperti karya Kawabata yang lain selalu menitikberatkan pada penggambaran psikologis karakternya. Mendalam, kadang membuat kening mengernyit.

Lain lagi dengan Haruki Murakami. Saya membeli Wind/Pinball yakni buku berisi dua novel Murakami, Hear The Wind Sing dan Pinball, 1978. Buku ini tidak terasa ‘Jepang’nya dan agaknya memang benar jika Murakami berkiblat kepada kesusastraan barat--alih-alih mengeksploitasi dan mengeksplorasi budaya Jepang dalam karyanya. Buku ini membuat geleng-geleng dan tertawa kecil di beberapa bagian.

Karena merasa masih remaja, saya juga membeli buku remaja berjudul Second Chance Summer / Kesempatan Kedua karya Morgan Matson. Buku ini benar-benar melegakan karena usai bergelut dengan buku-buku ‘berat’, penulis-penulis legenda, dan plot yang berbelit-belit, akhirnya bisa bernapas lega dengan plot ringan, bahasa yang mudah dimengerti dan corak yang sangat ‘abege’ dari Morgan Matson.

Desember, buku-buku fisik yang saya beli dan baca diantaranya adalah Petualangan Tom Sawyer karya Mark Twain. Gila! Sedikit menyesal saya baru membacanya di usia 17 tahun, dan lantas berniat untuk membeli lanjutannya tahun ini. Saya sedikit nostalgia dengan masa-masa SD, dimana saya menghabiskan waktu dengan buku-buku petualangan, sebutlah Petualangan Antariksa. Membaca buku ini membuat saya terlempar jauh ke belakang.

Buku lain di akhir Desember lalu adalah sebuah buku non-fiksi berjudul Buku-Buku Harian Vatikan karya John Thavis. Buku ini menarik karena saya sedang berusaha mempelajari Katolik, mengungkap bagaimana kehidupan di dalam Vatikan, termasuk karakteristik para Paus ketika melakukan kunjungan sampai perabotan-perabotan seperti pembuatan bel yang membuat sang pengrajin, Luigi bunuh diri menceburkan diri ke sungai. Buku ini ditulis oleh seorang jurnalis khusus Vatikan, dan inilah yang membuatnya spesial.

2019 juga menjadi tahun dimana saya membeli novel-novel grafis, misalnya Catatan Kaki dari Gaza oleh Joe Sacco atau Nimona oleh Noelle Stevenson. Menarik, sayangnya saya tidak begitu menikmatinya. Padahal pekerjaan saya adalah ilustrator, bergelut dengan dunia ilustrasi, bahkan membuat beberapa novel grafis tahun lalu untuk penulis US.

Ahmad Tohari juga menjadi penulis yang bukunya nangkring di rak saya setelah saya beli dengan diskon setengah harga Desember lalu. Buku Di Kaki Bukit Cibalak memberikan nostalgia dengan buku-buku yang saya baca ketika anak-anak. Ringan, mengalir dan menyegarkan untuk dibaca.

Buku-buku elektronik yang dibaca juga tak kalah banyak. Misalnya The Rib Joint : A Memoir in Essays karya Julia Koets. Buku ini menarik karena penulisnya mengeksplorasi tema-tema lesbian dan LGBTQ, tentu saja karena Julia seorang lesbian. Pengalamannya menghadapi ketakutan karena anggapan buruk LGBTQ di masa kecil, bagaimana pada masa remaja ia merasakan dan menyadari bahwa ia lesbian.

Selain The Rib Joint, buku elektronik lain yang tak kalah menarik adalah Convenience Store Woman karya Sayaka Murata. Buku ini merupakan rekomendasi dari podcast KepoBuku, dan menarik sejak awal pembukaan novel. Menarik melihat bagaimana masyarakat Jepang berkutat dengan kehidupannya dan bagaimana pola psikologis mereka jika dibandingkan dengan Indonesia. Menceritakan seorang wanita yang dicap aneh dan bekerja sebagai penjaga minimarket.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna