Basa-Basi #46 : Identitas


 Di beranda Twitter, atau sekarang disebut X, sering muncul video-video hasil rekaman siaran langsung dari perempuan-perempuan yang biasa disebut camgirl. Saya mengamati sebagian diantaranya, dan menyadari sesuatu yang menarik. Ada hal menarik dari bisnis bawah tanah ini.

Membicarakan pekerjaan seperti ini tentu lekat dengan identitas palsu dan nama-nama julukan yang dipakai sengaja untuk menyamarkan profil. Tapi ada satu perempuan yang menarik, memiliki ribuan penggemar dan ia memiliki kehidupan lain selain menjadi penghibur di sebuah aplikasi yang secara model bisnis ilegal di Indonesia.


Katakanlah ia bernama Syifa di akunnya sebagai penghibur, dan ternyata ia memiliki akun media sosial lain yang berbanding terbalik 180 derajat. Nama akunnya Mira (disamarkan juga) dan ternyata ia memiliki puluhan ribu pengikut di media sosialnya. Ini agak membingungkan untuk mengurutkan isi pikiran saya. Tapi saya akan mencoba menjelaskannya.


Perempuan ini memiliki dua identitas di media sosial. Sebagai penghibur di aplikasi dewasa, ia memiliki identitas sebagai Syifa. Sementara, di media sosial ia bernama Mira—yang kemungkinan besar merupakan nama aslinya. Sesuatu yang membingungkan bagi saya ketika melihat ia memiliki pengikut ribuan di kedua akunnya, kedua sisi hidupnya, dan tampaknya, orang-orang tidak mengetahui dua sisi itu. Orang yang mengenal Syifa, tidak mengenal Mira, dan begitu sebaliknya. Aneh. Karena entah kenapa dari puluhan ribu orang itu tidak ada satupun yang mengenali kepribadiannya di sisi yang lain.


Ini membingungkan karena biasanya orang akan mempromosikan diri mereka hanya satu identitas saja. Katakanlah Siskaeee yang sukses dengan aksinya sebagai penghibur dan pembuat konten dewasa, dan ia dikenal di berbagai media sebagai Siskaeee, tidak ada identitas lain yang berusaha ia tonjolkan. Entah masyarakat yang sudah terlanjur mengenalnya sebagai ratu prank dan exhibitionist.


Mira adalah pengusaha sebuah tempat kecantikan dan perawatan tubuh, ia memiliki 10 ribu pengikut di media sosialnya. Sementara Syifa adalah ratu fellatio, orang mengenalnya demikian, dan tidak sedikit yang mengidolakannya. Di satu sisi, saya senang karena akhirnya ada orang yang bisa memiliki dua kehidupan dan identitas berbeda, sedangkan di sisi lain tetap merasa heran.


Absurd.


Tapi sepertinya memang harus begitu. Ada sekat yang diciptakan dan orang-orang menghormatinya. Ketika video Syifa muncul, orang-orang di internet lantas bertanya soal durasinya, atau kapan jadwal Syifa menyiarkan tayangan rutin. Tidak ada satupun diantara mereka yang berusaha untuk mencari siapakah dirinya sebenarnya, atau apa media sosial pribadinya. Mereka menghargai Syifa sebagai Syifa, dan tidak pernah bertanya soal kehidupan pribadinya. Bahkan dengan siapa Syifa bermain, orang-orang tidak peduli. Persetan apakah itu suaminya, kekasihnya, teman, atau bahkan orang yang dibayar untuk melakukan aksi di depan kamera.



Hal yang sama terjadi di media sosial pribadi Mira. Saat menulis ini, Mira mengunggah soal kehidupannya sebagai pengusaha. Di kolom komentar, tidak ada yang sok asik bertanya apakah dia Syifa. Orang-orang menyemangatinya, dan sebagian memuji betapa Mira memiliki kesempurnaan, bisa memiliki usaha dan wajah yang begitu cantik.


Lantas saya kembali membuka X, isinya orang-orang bertengkar. Sebagian besar memiliki nama aneh, username aneh, dan foto profil yang entah apa. Mereka secara anonim berdebat mati-matian perkara pemilu, kemanusiaan, peperangan, karir, bahkan mengejek kehidupan satu sama lain. Orang-orang ini rasanya jauh lebih pengecut dibanding Mira. 


Mira dan Syifa mungkin dua identitas yang berbeda, tapi mereka orang yang sama. Poin pentingnya, Syifa melakukan siaran langsung tanpa menggunakan masker seperti kebanyakan penghibur di aplikasi itu. Ia menampilkan wajahnya secara terang-terangan. Tidak ada anonimitas dalam pribadinya, siapapun yang mengenal Mira akan tahu bahwa dia adalah Syifa, juga sebaliknya.


Sesuatu yang lucu, dan ironis. Perdebatan di media sosial yang tidak berujung itu selalu dipenuhi akun-akun anonim yang entah siapa, orang mana, atau bagaimana bentukan wajahnya. Sementara itu Syifa dengan santai menyalakan kamera dan melakukan pertunjukan, begitu berani dengan statusnya sebagai pengusaha di identitas aslinya.


Ini bukan perkara moral, tapi nyali. Masyarakat kita mungkin memang dipenuhi rasa takut luar biasa untuk berdebat dengan menggunakan identitas asli. Mereka bahkan tidak mau menggunakan fotonya sendiri atau namanya untuk saling menyerang, bersembunyi dibalik nama-nama palsu. Dengan beringas, mereka merasa identitas palsunya menambah keberanian karena tidak ada yang mampu menghina dirinya secara personal.


Tapi mungkin itu juga yang menjadi alasan kenapa orang-orang begitu ciut saat berdebat. Banyak orang yang tidak memahami batas-batas debat, mereka memojokkan seseorang dan menyerang sampai ke ranah personal. Akhirnya orang malas, memilih menggunakan identitas palsu. Orang-orang takut duluan untuk dikorek sampai ke akar-akarnya, atau istilah lainnya doxxing.


*


Selama beberapa waktu saya tidak melihat Syifa. Tapi Mira semakin sukses dengan usahanya. Saya rasa, kehidupan memang harus dipandang dengan mata yang terbuka begitu luas dan lebar. 



Ciamis.


Ditulis pertama kali 28 Desember 2023, dilanjutkan 15 Januari 2024.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Jagat Alit - Godi Suwarna

Seseorang yang Mati Tadi Pagi - Agus Noor