Basa-Basi #48 : May
Sudah lama sejak terakhir saya menulis diary.
Entahlah, mungkin karena cuaca, tiba-tiba ingin menulis diary. Saat menulis ini, listrik sedang padam. Ponsel saya mati sehingga tidak ada koneksi internet. Untungnya, ipad masih penuh karena sebelumnya saya tinggal ketika mengisi daya. Langit mengeluarkan suara-suara nyaring yang membuat kucing terkaget-kaget, angin berhembus sedikit kencang tapi hujan tak kunjung turun. Gelap memang, mendung sekali. Padahal baru jam empat kurang lima belas menit.
Sudah satu bulan sejak saya putus dengan mantan kekasih. Menyebalkan, menyesakkan dada, dan kadang ada rasa penasaran. Masih ada perasaan tidak terima kadang-kadang, tapi kunci dalam segala permasalahan adalah ikhlas. Rela ataupun tidak, jalan ini memang pilihan yang terbaik. Saya tidak tahu jika suatu saat kami akan bertemu kembali, rahasia Tuhan selalu absurd dan tidak bisa diterka. Tapi yang jelas, untuk saat ini kami berpisah. Masih berteman, tapi katakanlah kami tidak saling peduli satu sama lain seperti sebelumnya.
Akan jadi menyebalkan rasanya tulisan ini jika saya terus membicarakan betapa gundah perasaan saya belakangan, jadi kita akan berputar sedikit.
Hari ini saya tidak banyak melakukan sesuatu. Jam sebelas malam saya terbangun setelah sore sebelumnya ketiduran. Hujan, lagi-lagi itu alasan untuk sebuah tidur yang nyenyak. Saya bangun, menerima pesan dari seorang kawan sekaligus klien soal komik terbaru, kemudian melakukan aktivitas seperti biasanya.
Setelah merebus mie goreng, saya lanjut membuat kopi. Sebetulnya kopi sisa sore masih ada, dan saya menghabiskannya ketika bangun. Subuh saya menyeduh kopi baru, sebuah kopi yang aneh tapi saya mulai menyukainya. Namanya Waringkas, kopi lokal asal Bandung yang saya temukan di Tokopedia beberapa waktu lalu. Saya sebelumnya minum Nescafe, tapi kemudian beralih ke Indocafe fine blend, dan akhirnya menemukan Waringkas. Masih sama, kopi instan tanpa ampas yang secara mengejutkan nikmat sekali. Bahkan saat menulis ini, saya menyeruput segelas kopi Waringkas arabica. Takarannya harus pas, satu sendok kopi dan hampir dua sendok gula. Kalau pakai krimer, krimernya tiga sendok. Lebih gurih, tapi pahit kopinya masih terasa.
*
Saya menggunakan sebuah aplikasi bernama Letterboxd yang secara ajaib meningkatkan motivasi saya untuk menonton film. Dalam catatan saya, tahun ini sudah menonton 36 film, padahal baru tanggal 25. Selain karena pekerjaan sedang longgar, saya juga sedang tertarik dengan beberapa jenis film yang unik dan aneh.
Kemarin misalnya, saya menonton May (2002) sebuah film gore-psychological horror soal seorang perempuan yang kesepian. Saya memberi nilai sepuluh per sepuluh, lima bintang. Awalnya saya membaca sebuah utas milik Timo Tjahjanto di X soal film-film horror yang menurutnya bagus tapi jarang diketahui atau bahkan underrated. Ternyata bagus sekali, tontonan yang kontemplatif bisa dibilang.
May adalah gadis yang bekerja di sebuah rumah sakit khusus hewan—atau klinik, semacam itu. Ia bekerja di sana dan membedah berbagai jenis hewan peliharaan. Latar belakang May ini unik, dia punya kelainan di mata yang membuatnya sedikit sulit melihat—bukan buta, tapi suatu kondisi yang disebut lazy eyes. Sejak kecil May sulit untuk berteman karena anak-anak lain menganggapnya aneh, ia selalu memakai penutup mata seperti bajak laut. Anak-anak lain mengolok-olok May dan tentu kesedihan bukan hanya dirasakan oleh May, tapi juga sang ibu.
Ibu May khawatir dengan kondisi anaknya, maka diberikanlah sebuah boneka. Boneka yang katanya dibuat oleh sang ibu itu bernama Soozy. Sejak kecil May berteman dengan Soozy, mungkin satu-satunya. Ia tumbuh menjadi gadis pendiam yang serba canggung dalam sosialisasi. Bekerja di klinik juga tidak membantunya, ia punya satu teman kerja tapi lesbian dan tidak membantu perkembangan sosialisasinya. Hingga suatu saat May bertemu dengan Adam dan tumbuh perasaan suka.
Akan terlalu panjang untuk diceritakan, tapi karena ini bukan tulisan review maka saya akan mengatakan bahwa endingnya semua orang mati. Sebuah kalimat keluar dari mulut May beberapa saat setelah ia mencongkel matanya sendiri dan memasangkannya di wajah ‘boneka’ yang baru ia buat, May berkata bahwa ia hanya ingin dilihat.
“Apa kamu bisa melihatku sekarang, Amy?” Tanya May pada ‘boneka’ buatannya.
Sesuatu yang menyedihkan, ironis dan memilukan. Bagi saya yang kebal dengan darah dan potongan-potongan tubuh, film ini hanya terasa menyedihkan. Bagaimana seseorang bisa sampai ke tahap ekstrim hanya karena ia selalu dikucilkan dan tidak pernah dianggap ada.
Saya punya teman ketika sekolah, baik di SMP maupun SMA. Ada laki-laki dan perempuan. Di SMP kami punya satu kawan perempuan yang katakanlah dibully, dijahili karena ia ‘jelek’ dalam pandangan anak-anak di masa itu. Menyedihkan jika diingat, tapi ketika SMA, saya melihat si gadis ini mulai punya kehidupan yang lebih cerah. Punya teman baru, percaya diri dengan penampilannya, mulai merawat diri. Begitu pula kawan kami yang laki-laki, sekarang ia bekerja dan tentu punya lebih banyak kesempatan untuk bersikap secara normal.
Permasalahan orang-orang seperti mereka sebenarnya karena mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Saya, meskipun tidak terlalu senang bersosialisasi dalam artian pergi keluar dan nongkrong, tapi ada kawan-kawan yang sering datang ke rumah. Kami mengobrol selayaknya biasa, dan saya tidak buruk dalam public speaking—malah saya senang jika harus berbicara atau pidato di depan umum.
Saya merokok, dulu saya minum alkohol. Itu sudah jadi modal besar jika seseorang hidup di Indonesia. Seperti kata orang, laki-laki gampang sekali bersosialisasi. Tawarkanlah rokok ke seorang asing dan kalian akan berkawan dan menceritakan kisah hidup satu sama lain. Tapi ada sebagian laki-laki yang tidak merokok, tidak minum alkohol, tidak pernah punya pacar, mereka kesulitan untuk memahami komunikasi yang baik seharusnya bagaimana.
May memberikan renungan yang begitu dalam bahkan sampai saat ini.
*
Hujan turun dengan deras. Saya mulai ngantuk dan listrik belum juga kembali normal.
*
Hari ini saya menonton film The Lost Empire (1984) dari sutradara Jim Wynorski. Seorang yang sering dipuja sebagai legenda dari film-film kelas B, film-film budget rendah yang konyol dan mengobjektifikasi perempuan. Saya tidak masalah, karena toh dua bulan terakhir saya mukbang menonton 30 film semi Filipina.
The Lost Empire adalah tontonan konyol. Setidaknya saya sudah menonton Invaders From Mars beberapa waktu lalu dan merasa di dekade 80-an, banyak film pembanding yang lebih serius dan bagus. Bahkan di tahun 1965, ada film The Beach Girls and The Monster yang meskipun sama konyolnya, tapi lebih matang secara konsep cerita.
The Lost Empire isinya adalah buah dada sebesar semangka dari belasan perempuan yang setiap beberapa menit sekali, gambar payudara itu akan memenuhi dua per tiga layar. Ceritanya absurd, Angel Wolfe, seorang polwan yang punya kemampuan bela diri tinggi membalas dendam atas kematian Rob, adiknya yang tewas dibunuh anggota sekte. Sekte ini dipimpin Sin Do yang ingin menguasai dunia. Wolfe kemudian pergi ke sebuah pulau dan memusnahkan sekte itu. Erotika, mereka bilang.
Siang tadi karena gerah saya memutuskan untuk tiduran sambil menonton Limitless, sebuah serial televisi yang tayang tahun 2015-2016. Saya suka sekali, rasanya ini series yang terbaik nomor dua setelah Prison Break. Alasannya karena Jennifer Carpenter cantik mempesona dan jalan ceritanya benar-benar seru. Efek visual yang dihadirkan tiap episodenya niat, dan setiap episode membawa keseruannya tersendiri. Setiap episodenya hampir punya kasus sendiri-sendiri, tapi kadang ada bagian dimana Finch harus berurusan dengan Senator Mora.
*
Hujan masih mengguyur.
Saya tidak tahu harus menulis apa lagi karena kantuk mulai menyerang lebih serius. Lain waktu mungkin saya menulis diary yang baru. Jam menunjukkan pukul 4:18 PM, dan mungkin akan saya publikasi di blog ketika listrik sudah kembali menyala.
Ciamis,
Hujan,
25 Januari 2024.
Komentar
Posting Komentar