Basa-Basi #49 : Mentor


Entah algoritma media sosial yang kurang ajar, atau memang tren yang ada mulai bergeser, yang jelas akhir-akhir ini saya dihinggapi rasa bosan. Alasan utama datangnya kebosanan itu berawal dari saran konten di hampir semua media sosial yang saya gunakan (meskipun sebenarnya hanya membuka X dan Tiktok) yang seolah tidak menawarkan hal-hal menyenangkan. Secara spesifik lagi, seolah-olah semua orang berlomba untuk menjadi kaya, menjadi sukses dengan instan sekaligus menjadi lebih kaku.


Fear mongering alias jualan ketakutan menjadi barang dagangan utama. Dimana-mana orang berteriak soal masalah yang dibuat-buat, dan tetap saja UUD alias Ujung-ujungnya Duit. Di satu titik saya muak dan menyentuh tombol ‘not interested’ setiap kali konten semacam itu muncul, utamanya yang membual tinggi-tinggi. Meski sebenarnya sah-sah saja konten semacam itu dibuat, tapi entahlah, semuanya terasa aneh.


Pola-pola penyebaran konten berbasis jualan ketakutan ini selalu berakhir dengan tips dan trik yang membawa pemirsa ke gerbang selanjutnya : membuka kelas online dan mentoring. Dalam konteks apapun, bisa keuangan, marketing, teknologi, AI, segala macam hal yang sifatnya masih belum diketahui masyarakat luas bisa dijadikan senjata.


Saya pernah mengikuti dua kelas semacam itu, yang pertama adalah digital marketing, yang kedua justru private mentoring khusus. Hasilnya tidak bisa saya bilang baik. Kejadiannya sendiri jauh sebelum tren kelas-kelas ini dimulai, waktu itu antara tahun 2018 atau 2019, ketika saya pertama bekerja sebagai ilustrator. Pola pencarian membernya sama seperti saat ini, dimana seorang yang dikatakan ‘suhu’ alias ‘master’ akan pamer keahliannya, biasanya dilampirkan slip gaji tipis-tipis, dramatisasi perjalanan hidup, atau bahkan pencapaiannya selama beberapa bulan bekerja. 


Si suhu ini biasanya punya banyak teman, lebih khusus lagi berkawan dengan yang sama-sama kuat secara status sosial. Ketika anak-anak baru melihat si suhu, kami terpana dengan kelihaiannya berbicara. Seseorang yang dulu saya kenal biasanya berbicara seperti ini “Saat ini usia saya xx dan alhamdulillah sekarang bisa xx dan xx, sebentar lagi mau xx. Rahasianya ada di tekun dan konsisten.”


“Bajingan, usianya lebih muda tapi duitnya berlimpah ruah!” Kurang lebih begitu yang saya ucapkan dalam hati.


Karena terbuai, suatu saat si suhu membuka kelas online dan saya mendaftar. Biayanya tidak murah untuk saya saat itu, tapi dipikir-pikir sepertinya enak kalau punya duit banyak. Akhirnya daftar dan kekecewaan itu datang perlahan. Si suhu ini ternyata hobinya membual, dan duit yang ia dapatkan sebenarnya bukan dari pekerjaan yang ia pamerkan, tapi dari jualan kelas. Di minggu pertama para member bergabung, si suhu memberikan tips dan trik soal pekerjaan, ditambah ebook tipis 20an halaman yang sebenarnya per-halamannya cuma ada beberapa paragraf. Minggu kedua materinya sama saja, tapi sedikit lebih dalam. Minggu ketiga dan seterusnya, si suhu hanya membagi-bagikan ebook.


Tibalah minggu ke enam, si suhu bilang di kelas bahwa ia membuka program mentoring baru yang lebih mendalam. Kurang ajar. Padahal di awal si suhu bilang kelas ini limited karena ia ingin semua member bisa dipantau olehnya secara intensif. Sementara yang ia lakukan selama ini hanya membagi-bagikan ebook. Perjalanan saya dengan kelas tersebut berakhir tatkala ada pekerjaan yang lebih jelas, dan saya rasa akan lebih mudah jika saya mempelajari pekerjaan sambil jalan.


Beberapa waktu lalu saya kembali melihat si suhu. Hidupnya makmur, sukses dengan berbagai barang-barang impian semua orang—mobil, rumah, tanah, semua hal yang bisa kau bayangkan terwujud. Satu hal yang tetap sama dari dirinya adalah perkataannya, ia masih saja berjualan kelas. Entah batch ke berapa. 


“Ooh, orang semacam ini hidupnya memang dari berjualan kata-kata” hanya itu yang bisa saya katakan dalam hati.


*


Kisah singkat soal si suhu ini terjadi dimana-mana, dan orang-orang yang dipanggil influencer itu melakukan hal yang sama. Sebenarnya tidak masalah, dan tidak ada pelanggaran jenis apapun dalam konteks ini. Sejak awal mereka memang berjualan kata-kata, sama seperti penulis buku motivasi. Hanya saja jadi misleading dan agak menyebalkan ketika saya menyadari bahwa pekerjaan yang mereka sombongkan sebenarnya tidak se-profitable jualan kelas.


Ada barisan sakit hati yang balik membenci si suhu, tapi saya rasa, biarlah karena memang pekerjaan beliau seperti itu. Ibaratnya kita membayar seseorang untuk memberikan positive vibes, saya rasa orang-orang seperti si suhu yang terus mendorong dan memotivasi kita memang diperlukan. Apalagi jika antum memang jomblo atau tidak punya teman.


Kisah menyebalkan ini semacam terungkit kembali saat saya melihat media sosial dibanjiri kelas-kelas online. Meskipun konteks pekerjaannya berbeda dan menjadi lebih variatif, tapi pada intinya tetap sama : mereka berdagang kata-kata dan motivasi. Tidak ada yang salah, sekali lagi. Kesalahannya justru terletak pada sisi calon pembeli yang mungkin memiliki harapan lebih, padahal ada istilah ‘teknik bisa dibayar, tapi rezeki tidak akan pernah tertukar’.


Saya terdengar sensitif sekali dengan topik ini karena memang lama-lama menyebalkan untuk mendengarkan jualan ketakutan ala mereka. Apalagi biasanya konteksnya keuangan, mulai dari skala personal sampai membahas dunia yang berubah dalam skala masif. 


“Emang ente mau kalau anak istri nanti nggak bisa dibiayai dengan baik? Ente mau terus-terusan naik motor, gimana kalau hujan? Ente harusnya pikir anak ente nanti kalau bisa disekolahkan ke sekolah mahal, bakal lebih sukses.”


“You tahu, dunia sekarang memasuki fase dimana teknologi memberangus kerja-kerja konvensional, semuanya pakai AI. Pekerjaan you bisa tergerus zaman, bisa hilang besok pagi, you bisa dipecat kapan saja dan kapitalis akan menggantinya dengan robot.”


Ungkapan-ungkapan semacam itu tentu membawa kekhawatiran tersendiri. Apalagi yang gaji pas-pasan, pekerjaan tidak tentu, dan keuangan yang menyedihkan. Fase kedua setelah membual soal ketakutan, pedagang ini akan memberikan solusi bahwa ia punya rahasianya. Ia kemudian akan membagikan tips dan triknya, tapi di ujung dia akan bilang bahwa rahasia paling manjur akan dia bagikan berbayar agar hanya orang-orang yang memang niat saja yang mengetahuinya.


Saya tidak tahu harus berkomentar apa soal banyaknya hal-hal semacam ini sekarang, tapi yang saya yakini, orang-orang semacam ini memang begitulah caranya mencari nafkah. Tidak perlu disalahkan, tapi tetap menyebalkan. Cara saya menyikapinya selain menyentuh tombol ‘not interested’ dan memblokir akunnya, biasanya mencari topik lain yang lebih ringan : foto-foto kucing lucu misalnya.


Tapi kadang kekhawatiran itu menyelinap ke dalam pikiran, dan satu-satunya solusi adalah membuka Spotify dan langsung memutar lagu Jo Dee Messina, I’m Alright : 


Been singing for my rent and singing for my supper

I'm above the below and below the upper

I'm stuck in the middle where money gets tight

But I guess I'm doing alright

I'm al-, I'm al-, I'm alright

It's a beautiful day, not a cloud in sight

So I guess I'm doing alright

Oh, oh, I'm alright

I got a good old friend here with me tonight

And I guess I'm doing alright



Ciamis,

18 April 2024


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Jagat Alit - Godi Suwarna

Seseorang yang Mati Tadi Pagi - Agus Noor