Basa-Basi #50 : Cukup


Tidak terasa seri tulisan Basa-Basi ini sudah ada 50. Meski diunggah kadang beberapa bulan sekali—atau malah setahun sekali—tapi rasanya sudah cukup banyak. Kurang lebih sudah tujuh tahun lamanya sejak episode pertama Basa-Basi saya muat di blog ini, dan semakin hari sepertinya makin banyak yang berubah.

Kadang saya membaca ulang tulisan-tulisan dari masa lalu itu : penuh semangat, kadang terdengar dibuat-buat, kadang terdengar sok keren, tapi semuanya melekat pada masanya. Ada waktu dimana saya memang sedang 'membara' untuk membahas sesuatu yang saya pikir menarik—meski seiring berjalannya waktu, saya rasa hal-hal itu mulai terjawab atau bahkan terlupakan. Salah satunya adalah bahasan soal filsafat, yang di masa remaja saya pikir sesuatu yang keren tapi lama-lama sepertinya tidak juga. Mungkin bagian dari dunning-kruger effect, saya kira saya tahu banyak—tapi justru dangkal sekali.

Alasan lainnya, saya kira banyak hal yang jadi bergeser secara prioritas. Dulu saya punya banyak waktu luang untuk menulis. Namanya anak sekolah, kalau tidak pacaran ya menulis, kalau tidak menulis ya pergi minum. Sekarang semua menjadi lebih 'serius' tapi di sisi yang lain juga jadi lebih santai. Saya rasa, saya lebih sibuk 7 tahun lalu dibanding sekarang. Bahkan meskipun sekarang harus bekerja dan membeli kebutuhan sendiri—tetap lebih banyak waktu luangnya.

Tulisan ini sebenarnya dipicu oleh beberapa surat dari teman-teman di Slowly, dan saya harus berterima kasih terutama untuk Natt dari Malaysia, Evi di Kalimantan, Tri dari Sulawesi, dan beberapa teman lainnya yang rutin berkirim surat secara daring. Sedikit soal Slowly, saya menggunakannya sudah agak lama—sekitar dua atau empat tahun lalu, tapi karena satu dan lain hal jadi terlupakan. Kemudian awal tahun ini kembali membuka aplikasi surat-menyurat ini dan menemukan banyak 'kebahagiaan' di sana.

Hal positif yang paling utama dari surat-menyurat ini adalah kemampuan menulis saya yang kembali diasah, setelah sekian lama saya kesulitan menulis tulisan panjang. Meski sebetulnya sekarang pun tidak begitu baik, tapi setidaknya sehari-hari saya mengirim, menerima atau membalas surat—yang panjangnya kadang bisa ribuan kata, dan itu hal paling menyenangkan setiap muncul notifikasi surat datang.

Hal lainnya, saya merasa punya topik untuk diutarakan. Kadang-kadang kita menerima terlalu banyak informasi dan berita, tapi lupa untuk mengeluarkan sesuatu. Banyak hal yang dicerna tapi yang bisa dibagikan justru nampak minim. Berbagi pengalaman baik dan buruk, atau sekadar memberi trivia soal hal-hal remeh rasanya jadi menyenangkan.

Tapi lewat surat-surat inilah saya jadi mempertanyakan dan merenungi kembali semua yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir. Ada satu hal yang rasanya cukup absurd, konyol, juga aneh. Mungkin namanya pendewasaan, tapi mungkin juga bukan.

*

Dulu saya sempat berpikir bahwa menjadi dewasa adalah hal paling keren yang bisa dilalui semua orang. Kita jadi bebas untuk melakukan segala hal, menikmati semua yang tidak bisa dilakukan di masa sekolah, atau sesederhana tampil sebagaimana kita inginkan. Tapi setelah tahun-tahun panjang yang saya lewati, rasanya hal-hal itu berbalik jadi pertanyaan : kalau sudah, lalu apa?

Ketika saya kecil, saya berpikir kalau punya pasangan dan bisa dicium sambil dipeluk itu menyenangkan. Beranjak remaja, melewati pubertas dan mendapat ciuman dan pelukan pertama, saya mempertanyakan hal itu kembali, lalu apa?

Ketika SD saya melihat band-band punk menenggak alkohol sambil merokok, dan SMP ketika saya pertama mencoba alkohol saya mempertanyakan hal yang sama, lalu apa?

Banyak hal yang sebenarnya hanya berguna sebagai 'achievement badge' saja, tapi sebenarnya tidak penting-penting amat untuk dilakukan. Hal paling sederhana adalah pengalaman saya empat tahun lalu. Waktu itu saya datang ke seorang seniman tato, saya membawa desain tato saya sendiri—yang sebenarnya sejak SMP saya punya niat punya tato. Setelah selesai, saya cukup puas dengan hasilnya, terlebih itu gambar buatan sendiri. Tapi jadi pertanyaan lagi, mau apa lagi? Apakah harus nambah lagi jadi full sleeve di tangan kiri seperti impian saya dulu? Atau justru sudah?

Hal-hal seperti ini yang kadang membuat garuk-garuk kepala. Karena kalau ditanya apa manfaatnya ya tidak betul-betul sesuatu yang berdampak besar juga, saya membuat tato karena 'mau aja'. Saya tidak punya penyesalan, malah sebaliknya kadang bangga juga dengan hasil gambarnya—tapi kembali lagi ke pertanyaannya, lalu apa?

Ada beberapa titik dalam hidup yang memberi kita kepuasan absolut dan tidak ada lanjutannya. Berbeda dengan seseorang yang punya keinginan materil misalnya—seseorang ingin punya 100 juta, kemudian meningkat jadi 1 Milyar, kemudian naik lagi jadi 1 triliun dan akan terus bertambah. Tapi hal-hal semacam ini, seperti misal "Aku mau pergi ke Pulau Sumatera"—kemudian benar-benar pergi ke Sumatera. Nah, itu lanjutannya adalah : lalu apa?

Banyak hal semacam ini yang saya lalui. Saya merasa ingin melakukan sesuatu sejak lama sekali, tapi setelah dilakukan jadi bingung sendiri. Bukan menyesal, bukan kecewa, bukan bahagia, tapi lebih ke pertanyaan soal 'apakah sampai sini saja?'. Banyak hal yang terlihat bombastis di masa kecil atau remaja, tapi setelah dewasa justru sesuatu yang biasa saja. Mungkin karena sudut pandang anak kecil itu berbeda, jadinya hal-hal yang berkaitan dengan 'kebebasan' akan terlihat bak berlian.

Seks memang menyenangkan—tapi setelah itu tidak mungkin juga bersenggama setiap hari sampai mati. Alkohol memang menyenangkan—tapi tidak mungkin juga ia menjadi substitusi air mineral. 

Hal-hal semacam ini hanya terlihat 'wah' ketika saya tidak punya akses ke sana. Jadi seakan-akan sesuatu yang luar biasa dan bisa mendatangkan kebahagiaan saat dilakukan, padahal tidak juga. Ada titik dimana saya merasa cukup dan bahkan merasa terlalu 'jauh'.

*

Kalau dijabarkan lebih detail, tulisan ini akan mirip pengakuan dosa dan ceramah. Tapi poinnya adalah soal rasa cukup. Pemikiran seseorang yang terkekang—dalam hal ini seorang anak kecil yang masih dalam pengawasan orang tua—akan melihat dunia sebagai sesuatu yang bebas dan luas. Tapi begitu masuk ke dunia yang sebenarnya, kata-kata Sartre bisa jadi acuan : human is condemned to be free. Manusia dikutuk untuk bebas.

Kebebasan manusia selalu bersinggungan dengan kebebasan orang lain. Ada tanggung jawab yang dipegang, sekaligus ada 'karma' yang menanti. Jadi sesuatu yang seakan-akan 'luar biasa' justru biasa saja saat saya benar-benar mengalaminya—bukan karena tidak enak, bukan tidak bahagia, tapi karena saya jadi tahu bahwa 'ini ada resikonya'.

Alkohol memang menyenangkan, tapi ada batasan tak tertulis untuk setiap orang. Toleransi setiap individu berbeda dan jenis alkohol apa yang diminum bisa berdampak pada kesehatan. Ada resiko saat mencampurnya, ada resiko kalau minum di tempat ramai, ada resiko kalau minum tapi ketika 'naik' ternyata membuatmu jadi orang brengsek.

Seks memang menyenangkan, tapi ada masa subur yang harus dilihat, ada resiko bahwa precum bisa membuat pasanganmu hamil, ada kondom yang harus selalu dibawa—bahkan harus ada tempat yang benar-benar 'bagus' untuk melakukannya.

Tato memang bagus, tapi harus tahu siapa seniman tatonya, jenis jarum yang dipakai, merk tinta yang digunakan, berapa lama jam terbangnya, perawatan saat pemulihan, sampai tetek bengek semacam kepercayaanmu pada sang seniman.

Ada tanggung jawab di semua 'hal menyenangkan' ini. Buanglah dulu moralitas baik dan buruk atau benar dan salah, dan sekalipun kita membebaskan diri dari 'hitam dan putih' ini, kita masih menghadapi tanggung jawab. Seberapa kecil atau besar akibatnya, semua ada hitung-hitungannya, dan sialnya tidak semua orang pintar matematika.

*

Tulisan ini sebenarnya hanya dimaksudkan untuk mengisi blog saja—tulisan pendek tak tentu arah yang juga ditulis saat mati lampu. Karena listrik padam, sambil menunggu kembali menyala saya menulis ini. 

Dalam waktu dekat, blog ini harusnya kembali saya isi dengan tulisan yang lebih baik. 


Ciamis,
11 Juli 2024.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Jagat Alit - Godi Suwarna

Seseorang yang Mati Tadi Pagi - Agus Noor