Basa-Basi #51 : Catatan 2024
Sebelum 2024 berakhir, rasanya agak aneh menutup tahun tanpa menulis apapun. Banyak hal terjadi selama 2024, yang datang dan pergi, kebahagiaan dan kesedihan—juga momen-momen yang rasanya sulit untuk dideskripsikan. Saya berusaha menulis beberapa kali untuk blog ini, tapi beberapa kali pula tulisan itu gagak rampung. Alasannya banyak, tapi yang pasti adalah saya punya masalah untuk menulis satu hal dengan fokus—jadi marilah menulis ini, rekap soal apa saja yang terjadi selama 2024. Mungkin melompat-lompat, mungkin tidak.
Saya menulis ini 28 Desember 2024, menikmati segelas kopi—dan mendengarkan playlist musik country seperti biasa.
*
Terbebas dari Autoimun
Beberapa hari menjelang lebaran tahun lalu saya terkena penyakit yang lumayan konyol : Guillain-Barré Syndrome. Sebuah penyakit yang mengakibatkan saraf motorik seketika lumpuh. Dimulai dari kaki tidak bisa digerakkan, kemudian semua tangan menyusul—saya dan keluarga pergi ke beberapa rumah sakit, mengambil sampel darah, melakukan CT Scan, tapi tidak ada masalah terlihat. Jaringan saraf semuanya normal, otot tidak bermasalah, tulang sehat, gula darah normal, bahkan sampai tes potassium dan segala macam tetek bengek medis—semuanya normal. Baru setelah mendatangi dokter spesial saraf, beliau terkekeh dan bilang bahwa ini penyakit autoimun.
Secara sederhana, kekebalan tubuh menyalakan alarm palsu dan mengira bahwa saraf yang saya miliki adalah benda asing. Kemudian selayaknya tentara yang tidak pernah latihan, mereka menyerang sistem saraf tepi—hasilnya selubung saraf rusak dan terjadi error pada sistem tubuh. Bak kabel yang putus di tengah jalan, jaringan yang menghubungkan antara sistem motorik tangan dan kaki ke otak tidak bisa berfungsi dengan normal. Alhasil, selama berbulan-bulan saya tidak bisa menggerakkan tangan dan kaki.
Sebenarnya dalam kasus GBS ini, sering terjadi pula paru-paru diserang dan akhirnya si penderita mati kesulitan bernapas. Untungnya, Tuhan masih mengampuni saya dan tidak membiarkan saya mati cepat. Mungkin ada perkara yang harus saya selesaikan lebih dulu di dunia sebelum meninggalkan semuanya.
Seperti kata Randy Travis dalam lagunya, Three Wooden Crosses, beliau bilang :
“It’s not what you take when you leave this world behind you. It's what you leave behind you when you go”
Barangkali saya belum menciptakan dampak positif yang cukup di dunia ini, sampai Tuhan memutuskan untuk menunda kematian saya yang begitu dekat. Karena kalau dipikir-pikir, penyakit ini lumayan mematikan—ada sekitar 13% orang yang meninggal ketika mereka terkena GBS. Artinya, kematian saat itu mengendap-endap lebih dekat dari aliran darah, jauh lebih dalam dari sumsum tulang—ada satu per sepuluh kemungkinan saya tiba-tiba menghembuskan napas terakhir. Tapi namanya kematian adalah hak Tuhan, kapanpun Ia menginginkan ciptaanNya kembali, maka saat itu juga sang mahluk kehilangan eksistensinya di dunia.
Tapi alih-alih merasa spesial, saya merasa ini justru tugas baru. Tuhan saja belum mencabut nyawa saya dan memberikan kesempatan lain untuk hidup. Nah, kira-kira apa yang harus saya lakukan dan tuntaskan sebelum kematian benar-benar datang menyambut?
Di sisi lain, pengalaman ini membawakan sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih besar dari pelajaran hidup selama ini. Bahwa kematian lebih dekat dari apapun, dan bahwa betapa hidup manusia bisa tiba-tiba berakhir di setiap waktu. Saya merasa hidup sudah memberikan ujian yang begitu besar, dan begitu bermakna—dengan itu juga, rasanya bodoh kalau saya menyia-nyiakan hidup. Plus, ketika kematian sudah mengendap-endap semacam itu, saya kira tidak ada hal lain yang bisa menakuti saya di dunia ini. Saya bisa hidup lebih berani, hidup lebih baik, dan yang pasti—hidup dengan lebih dimaknai.
Banyak penyintas GBS yang harus melalui kelumpuhan selama bertahun-tahun, bahkan lumpuh permanen di beberapa bagian tubuh, tapi syukurnya, saya kembali normal 100%. Saya harus berterima kasih kepada semua orang yang membantu saya melalui masa-masa absurd dalam hidup itu : keluarga, teman-teman dekat, para sahabat, semua tetangga dan rekan-rekan yang menjenguk dan mendampingi hampir setiap saat.
Terima kasih banyak untuk Dokter Denny yang selain ampuh dalam menangani permasalahan saraf, selera mobil dan fotografi beliau juga bagus. Juga karena beliau ini santai—saya tidak merasa ini penyakit besar karena perkataan beliau. Pada akhirnya, dukungan moral ini juga membawa saya menuju sembuh lebih cepat.
Terima kasih pada teman-teman yang waktu itu mau disuruh-suruh membuka botol minum karena tangan saya belum punya tenaga sama sekali, juga saya harus berterima kasih pada Temple of the Dog yang ‘Hunger Strike’-nya saya putar hampir setiap pagi sesaat sebelum minum vitamin saraf. Apapun itu, saya bangga menjadi penyintas GBS. Terakhir, untuk kekebalan tubuh saya, lain kali hati-hati jangan sembarangan menyerang organ tubuh.
*
Vita
Saya mengenalnya sebagai Evi, tapi sebagian orang memanggilnya Vita. Tapi dari tiga kata dalam namanya, saya menyukai kata kedua—terdengar lumayan spesial dan lucu. Saya ‘bertemu’ dengannya sekitar bulan Mei tahun ini. Perkenalan itu lumayan konyol untuk diceritakan di abad ke-21, tapi sebenarnya spesial. Kami rutin berbagi cerita soal banyak hal, dan kami sama-sama pembaca buku—dan benci elit politik dengan tetek bengek sandiwaranya—jadi selama berbulan-bulan terakhir ini, banyak hal yang sudah kami bicarakan.
Meski begitu, kami berbeda pulau. Ini permasalahan lain lagi. Ini adalah permasalahan yang tidak pernah terlintas dalam kepala saya, rasanya sepanjang hidup, saya tidak pernah terpikir akan menyukai seseorang dari seberang pulau. Perkara ini sepertinya akan jadi topik abadi dalam kehangatan hubungan kami : kapan makan soto Banjar bersama?
Bagi saya, ini bukan masalah. Untuk Vita juga sepertinya demikian, waktu yang akan menjawab semuanya—dan karena bepergian antar pulau itu bukan perkara remeh temeh yang hanya ratusan kilometer, perkara ini akan terjawab cepat atau lambat. Seribu kilometer bukanlah jarak yang normal untuk hubungan, dan ini membuat kisah cinta kami terdengar semakin konyol.
Saya pernah berpikir untuk pindah ke Amerika Serikat, tinggal di Montana, atau bepergian ke Eropa Utara dan menyaksikan bagaimana bangsa Viking itu hidup. Tapi sejauh ini, tidak pernah terlintas ke dalam tempurung kepala saya untuk pindah ke Banjarmasin, Palangkaraya, IKN, atau dimanapun di Tanah Borneo. Jika Tuhan mengizinkan dengan Maha Besarnya mengatur waktu, rezeki, dan alur hidup manusia, bukan tidak mungkin suatu saat nanti saya akan tinggal jauh dari tanah kelahiran. Di titik ini, masa depan terlihat seperti sesuatu yang buram, layaknya kaca yang belum jelas menampakkan bentuk bayangan. Tapi kami melihat bentuk itu di sana, kami melihat cahaya yang—meskipun kecil—berkedip pelan dengan ritme hampir mirip napas manusia ketika tertidur. Sepelan denyut nadi manusia saat terlelap di alam mimpi, tapi juga menampakkan semburat cahaya langit sore—begitu luas tanpa ujung.
Ini adalah kado akhir tahun yang begitu istimewa. Mungkin setelah memberi bogem mentah di wajah saya dengan GBS (yang baru sembuh awal tahun ini), takdir memberikan saya Vita di akhir tahun. Perempuan manis yang sejauh ini, punya wawasan yang begitu jauh, begitu luas, dan sikap dewasa yang saya rasa, layaknya para perempuan tangguh di novel-novel John Steinbeck.
Vita bukan Mercédès dalam The Count of Monte Cristo yang tak berdaya saat Fernand Mondego merebutnya dari Dantès, Ia adalah perempuan yang berasal dari cerita-cerita realisnya John Steinbeck—perempuan yang tumbuh dalam lembah kehidupan dengan segala kompleksitasnya, meniti jalur menuju kehidupannya sendiri dengan semua yang ia miliki. Terlalu dramatis jika saya bilang hidupnya penuh nasib sial dan keberuntungan yang berkelindan satu sama lain, tapi menempuh hidup yang kompleks bukanlah perkara mudah. Hal itu pula yang saya rasa, memancarkan jiwa kedewasaan yang begitu kuat. Membuat saya berpikir, mungkin inilah perempuan dari Lembah Salinas yang saya idam-idamkan sejak membaca Steinbeck hampir sepuluh tahun lalu itu.
Tapi seperti kata orang, hubungan yang baik selalu memiliki kerikil dan jalan yang bercabang. Saya hanya bisa berharap bahwa kerikilnya secepat mungkin diaspal, dan jalannya kalau bisa dibuat one-way saja. Dengan berbagai macam masalah berat, kompleks, absurd, bahkan konyol yang sama-sama pernah kami alami, saya lumayan yakin jalan yang akan kami lalui tidak akan seberat itu. Semoga. Tuhan akan bersama niat-niat baik, dan kami akan sebaik mungkin menata jalan yang akan kami tempuh.
*
Film
Saya menonton lumayan banyak film tahun ini. Di aplikasi Letterboxd, tercatat bahwa saya menonton 386 film tahun ini. Bukan angka yang sedikit dan bukan pula angka yang wajar. Saya kira, angka ini hanya akan didapatkan oleh seseorang yang pengangguran, tidak punya kegiatan bermanfaat untuk dilakukan, atau seseorang yang sesederhana terlalu malas melakukan aktivitas lain.
Di antara ratusan film itu, sebagian besarnya adalah film-film softcore—kalaupun bukan softcore, paling B-movies alias film-film anggaran rendah yang ratingnya tidak pernah lebih dari 3/10 di ImDb. Tapi dengan film-film jenis ini saya justru menemukan kepuasan tersendiri. Saya menantang diri saya sendiri untuk menulis dengan baik dan rapi ulasan untuk film yang ‘tidak baik-baik amat’. Rasanya menyenangkan untuk bisa ‘menganalisis’ dan menafsirkan sebuah film yang dianggap tak lebih baik dari gumpalan kotoran musang oleh orang lain.
Misalnya, saya menemukan korelasi antara kemiskinan struktural dan birokrasi pemerintahan dalam film-film rilisan Vivamax di Filipina. Tema-tema seperti pertentangan kelas, emansipasi wanita, hingga rantai kemiskinan selalu mereka angkat—dan orang-orang seringkali salah menafsirkan film-film ini. Misalnya dalam Girl Friday (2022), mereka menunjukkan bagaimana korupnya sistem pemerintahan di negeri tetangga, betapa kotor dan kejinya seseorang dalam mencari angka ketika pemungutan suara. Contoh lain dalam Call Me Alma (2023), seseorang yang kita pikir hidupnya ‘hanya menjual badan’ ternyata memiliki kompleksitas yang sama dengan kehidupan kita, bahkan lebih dahysat—mereka bergulat dengan pandangan orang, dengan keluarga, bahkan dengan moralitas mereka sendiri.
Dari banyaknya film yang saya tonton di 2024, ada pula film-film absurd yang menghibur hati. Misalnya film-film Frank Henenlotter dengan topik-topik selangkangannya yang berada di dimensi lain : perempuan dengan tujuh klitoris, pria yang berusaha menghidupkan kembali kekasihnya dengan mengambil bagian-bagian tubuh dari para PSK, lelaki yang tititnya bisa berkelana sendiri ke lantai atas, dan kisah-kisah absurd lainnya.
Ada pula film-film exploitation dari Jess Franco yang kental dengan elemen WIP (Women In Prison), Nazisploitation, Supranatural, hingga Sexploitation. Misalnya, yang paling saya ingat adalah beberapa film Franco soal Marquis de Sade. Jadi, Jess Franco menafsirkan beberapa karya Sade ke dalam filmnya, kental dengan BDSM, alienasi seseorang dengan kehidupan seksualnya, hingga ‘kebangkitan’ seorang manusia atas ketertarikan seks. Film-filmnya tak jarang menyinggung perkara mistis, terbukti dengan puluhan film Franco bertema vampire dari tahun 60an hingga 90an.
Kemudian ada tiga nama sutradara dalam dunia B-movies yang selalu membuat saya terkekeh geli : Fred Olen Ray, Jim Wynorski, dan Dean McKendrick. Saya menonton film-film mereka, kemudian dalam perjalanan itu, saya jatuh cinta dengan Christine Nguyen dan Syren. Saya tidak perlu membahas betapa konyol dan absurdnya film-film mereka, bahkan saya selalu berpikir bahwa film-filmnya hanya akan bisa dinikmati jika seseorang berada dalam pengaruh kecubung atau kondisi otaknya tidak stabil.
Terlampau banyak film yang saya tonton tahun ini, bahkan rasanya mustahil untuk meringkas 386 film itu ke dalam beberapa paragraf saja. Tapi yang jelas, saya menikmati semuanya. Ada yang membuat saya bahagia, tertawa terbahak-bahak, tegang seluruh badan tanpa kecuali, tegang di satu organ tubuh saja, sampai film yang membuat saya mencak-mencak betapa bodohnya ceritanya dibuat. Semuanya menarik dan memberikan kesannya tersendiri.
*
Sejujurnya saya masih mau menulis panjang, tapi dibanding tulisan ini beresiko mangkrak dan tak kunjung diselesaikan, lebih baik dilanjutkan di lain waktu. Saya memutuskan untuk mandi saja dan makan tempe goreng. Semoga tahun yang baru membawa cerita baru, apapun itu, saya yakin hidup membawakan kisah-kisah menarik yang mustahil untuk dilewatkan begitu saja.
Ciamis,
28 Desember 2024.
Komentar
Posting Komentar