Basa-Basi #53 : Bahasa


Usia saya kurang lebih tujuh tahun waktu itu—entah berapa banyak kurang atau lebihnya—tapi bacaan yang saya nikmati adalah cerita karya Alexandre Dumas, sang legenda sastra Perancis. Saya tidak bisa mengingat dengan pasti cerita yang dimaksud, apakah itu The Three Musketeer atau The Count of Monte Cristo. Tapi yang jelas, novel klasik itu diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda. Perjalanan saya akan bahasa dan buku dimulai dari titik ini, dari seorang kakek, setumpuk majalah, dan hari libur yang diisi dengan kegiatan membaca bersama.


Kakek saya namanya Ewo, dan beliau yang paling berjasa mengenalkan saya dengan dunia buku. Oleh karena itu, kepergiannya 11 tahun silam lumayan meninggalkan kekosongan. Sebelum dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, kakek bekerja sebagai tukang cukur—profesi yang tidak ada keren-kerennya, terlebih karena namanya ‘tukang cukur’ yang bekerja di ‘tempat pangkas rambut’, bukan barber shop. Meski begitu, profesi tukang cukur pada masanya sepertinya lumayan menggiurkan. Hanya perlu sewa tempat, punya kemampuan yang baik dalam memangkas rambut, dan hidup akan baik-baik saja. Beliau membangun rumah yang sekarang saya tempati dari hasil kerjanya sebagai tukang cukur, termasuk beberapa bidang tanah—terdengar mustahil untuk dicapai di era ini.


Hobinya adalah bercocok tanam, membuat perabotan rumah, dan membaca. Ketika kecil, sebagian orang selalu menyebut saya tampak seperti kakek—rupanya mereka melihat kegiatan saya yang selalu di dalam atau sekitaran rumah, juga tubuh saya yang gempal pada masa itu, mirip kakek. Dua hobinya yang pertama ini tidak benar-benar diwariskan dengan utuh. Saya senang dengan bunga dan tumbuhan, tapi tidak punya ketertarikan sedalam itu untuk terjun dan membangun taman di halaman depan. Urusan perabotan rumah, saya cenderung hobi merusak barang dibanding membuat perabotan. Tersisa yang ketiga, sebuah hobi yang benar-benar diwariskan dengan baik.


Konon karena profesi sebagai tukang cukur rambut itu santai, beliau ini senang menunggu pelanggan sambil membaca majalah atau buku. Salah satu majalah favoritnya adalah Manglé, sebuah majalah mingguan (seingat saya terbit mingguan sampai 80an atau 90an, kemudian jadi per dua minggu atau bulanan di tahun-tahun berikutnya) yang berbahasa Sunda. Di majalah Manglé ini kadang-kadang ada carpon (carita pondok) alias cerpen, kadang juga cerita bersambung. Sebagian besarnya merupakan karya penulis Sunda, tapi kadang ada juga edisi terjemahan.


Melalui majalah Manglé dan kakek, saya menemukan Alexandre Dumas. Bahkan sebelum masuk SD, hobi saya adalah duduk di pangkuan kakek, membaca terbata-bata—kadang dibacakan—dan dengan berbinar-binar mengikuti cerita yang ditulis. Menyambung penceritaan di bagian awal tulisan ini, saya menemukan cinta dan rasa bahagia pada bahasa Sunda dan sastra tepat ketika kakek mengajak saya membongkar lemarinya. Kami membaca novel-novel klasik, cerita silat, majalah Manglé dan Bobo, atau sekadar komik Donal Bebek dan Paman Gober.


*


Bahasa Daerah


Sejak mengenal Evita, saya berusaha mengenal bahasanya. Entah itu mempelajari bahasa Dayak atau Banjar, yang jelas saya ingin mengenal bagaimana mereka bertutur. Konon, bahasa adalah jiwa suatu bangsa. Ketika sebuah bangsa kehilangan bahasanya, itulah titik di mana kehancuran menerpanya. Karena tanpa bahasa, tarian atau upacara tak ubahnya hanya perilaku seremonial tanpa makna. Kesusastraan akan hilang, buku-buku akan hilang, dan tradisi akan mengikuti masuk ke dalam jurang. Alhasil, banyak ‘pengetahuan leluhur’ yang akan hilang, karena tidak adanya bahasa yang bisa menjembatani itu semua.


Ketika suatu kaum kehilangan bahasanya, ia akan kehilangan identitasnya, dan ketika identitas sudah hilang, ia akan kehilangan akses menuju leluhurnya. Sementara itu, leluhur dan masa lalu suatu bangsa adalah bagian integral dari keberlangsungan suatu bangsa—bagaimana mungkin kita menghadapi masa depan tanpa tahu siapa leluhur kita, bagaimana mereka berperilaku, atau bagaimana mereka bersikap?


Karena itulah, saya rasa dalam menjalani sebuah hubungan, terutama dengan yang berbeda suku atau budaya, mempelajari bahasa adalah bagian paling penting. Tradisi suatu suku akan berbeda jauh dari suku yang lain. Apa yang dianggap baik di satu tempat bisa jadi dianggap buruk di tempat yang lain. Kembali pada pernyataan bahwa baik-buruk atau benar-salah itu tidak ada yang absolut.


Sebagai gantinya, saya mengenalkan Evita dengan bahasa Sunda—dan dimulai dari titik paling dasar. Bagian paling bawah dari bahasa Sunda menurut saya adalah membedakan tiga jenis e : e, é, dan eu. Untuk membedakan tiga jenis e ini, biasanya menggunakan kata ngabéntenkeun (membedakan). Karena banyaknya kata dalam bahasa Sunda yang mungkin akan sulit dipelajari tanpa memahami fonem ini, maka pelajaran paling dasar dari bahasa Sunda saya rasa adalah membedakan tiga jenis e.


Ketika tinggal di Jogja, dalam keseharian kadang saya berbahasa Jawa, terutama untuk berkomunikasi dengan warga setempat yang usianya lebih tua. Alasannya sederhana, ada nilai ‘kesopanan’ yang rasanya lebih baik untuk dipakai dibanding bahasa Indonesia. Meskipun kembali lagi bahwa undak usuk basa (tingkatan bahasa dalam bahasa Sunda) atau tingkatan bahasa dalam banyak bahasa daerah sering dikatakan sebagai ‘warisan feodal’ karena menaruh manusia dalam kotak-kotak kasta.


Perdebatan soal bahasa daerah, sopan santun dan feodalisme (terutama yang menyinggung bahasa yang terpapar gaya ‘Mataraman’) memang tidak pernah ada habisnya. Sebagian orang merasa bahasa Sunda di Priangan Timur dengan Banten misalnya, memiliki nilai berbeda. Konon, Priangan Timur punya ‘tingkat bahasa’ yang lebih kompleks dari paling sopan sampai paling kasar, sementara di Jawa Barat bagian Barat cenderung ‘kasar’ dan tidak mengikuti pedoman ‘sopan santun berbahasa’. Biarlah ini jadi urusan pengamat dan ahli bahasa, tapi yang jelas, bangga berbahasa daerah itu harus mulai digalakkan.


Aturan main dalam bahasa daerah itu lumayan lucu dan kompleks, bahkan lebih kompleks dari bahasa Inggris. Misalnya, orang Sunda punya ratusan kata yang menjelaskan kata ‘jatuh’, orang Banjar yang punya ratusan kata untuk menjelaskan ‘berjalan’, atau semacamnya. Kompleksitas bahasa daerah ini kadang jadi pedang bermata dua : menarik untuk dipelajari, tapi mungkin sebagian orang menilai terlalu kompleks untuk dipahami.


*


Bahasa Inggris, Globalisasi dan Budaya Internasional


Tulisan ini saya niatkan pendek sebagai respon untuk tulisan Evita : xxx xxxx. Ternyata alih-alih jadi tulisan pendek, malah nampak seperti tulisan tanggung yang tidak jelas arahnya ke mana.


Jauh sebelum saya memutuskan masuk ke Sastra Inggris, saya mengenal bahasa Inggris melalui lagu. Kakak saya adalah pendengar musik-musik Pop Punk sejak remaja, dan melalui beliau pula saya mempelajari bahasa Inggris. Misalnya, lagu yang saya suka dari TK adalah ‘Minority’ yang dinyanyikan oleh Green Day. Sebuah lagu kritik sosial akan birokrasi dan pemerintah, tapi karena masih kecil, saya tidak tahu apa maksudnya—saya hanya tahu kalau lagunya enak, dan saya suka.


Beranjak dewasa, saya membaca beberapa buku dalam bahasa Inggris—karena terpaksa, biasanya karena tidak ada terjemahannya. Begitu pula dengan film, karena beberapa film tidak ada terjemahan bahasa Indonesianya, terpaksa saya menonton dengan tulisan bahasa Inggris. Pada akhirnya, bahasa Inggris bertransformasi jadi ‘bahasa uang’ yang selalu saya gunakan setelah mulai bekerja sebagai ilustrator. Tidak ada hari tanpa bahasa Inggris. Semua surat dalam bahasa Inggris, semua naskah komik dalam bahasa Inggris, dan semua komunikasi menggunakan bahasa Inggris. Lama-lama saya terbiasa menggunakan bahasa Inggris, dan semakin lama, saya semakin sulit membedakan bahasa.


Ini adalah masalah umum yang dihadapi oleh mayoritas masyarakat dewasa ini. Ada sebagian orang yang tidak tahu kalau basement itu dalam bahasa Indonesia adalah ‘rubanah’ misalnya, atau yang paling sederhana, gawai untuk gadget, unduh untuk download, dan semacamnya. Tidak sepenuhnya bisa disalahkan, tapi juga tidak bisa dibenarkan sepenuhnya.


Saya tumbuh dengan bacaan berbahasa Sunda, Indonesia dan Inggris—tapi yang saya baca adalah buku, bukan media sosial, dan ini saya kira memainkan peranan penting. Saya tidak mau jadi elitis yang menggembar-gemborkan literasi, sastra, atau semacamnya—tapi memang ada batas yang jelas antara kualitas bacaan jika seseorang banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku dengan membaca konten di media sosial.


Ketika saya membaca buku, katakanlah kumpulan cerita pendek—bacaan ini biasanya ditulis dengan kaidah yang baik (terlepas dari apapun bahasa yang digunakan). Jika bentuknya buku maka ada editor yang ‘menyempurnakan’ bahasanya, jika bentuknya cerita pendek di majalah atau koran biasanya pihak redaksi akan dengan teliti memperhatikan tata bahasanya—jadi semuanya sudah dalam keadaan ‘baik’ karena ada proses kurasi dan penyempurnaan yang matang. Beda halnya jika saya membaca tulisan yang dipublikasikan di blog misalnya (termasuk blog ini), media daring untuk mempublikasikan cerita, atau bahkan media sosial. Tanpa kurasi, tanpa ada teguran, semua orang berhak dan bebas berbicara dengan bahasa apapun, tidak terikat dengan aturan bahasa, tanpa peduli dengan aturan menulis.


Sebetulnya kedua media ini tidak bisa dibenturkan. Buku bacaan ya bagus untuk dibaca, dan media sosial juga bagus untuk mendapatkan informasi terkini. Masalahnya, Indonesia konon negara yang kualitas membacanya rendah (dan sepertinya kualitas bacaannya juga), dan alih-alih menghabiskan waktu 50:50 untuk buku dan media sosial, kebanyakan masyarakat menghabiskan waktu lebih banyak di media sosial. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, mereka masih lebih rajin membaca—mereka aktif di media sosial, tapi juga rajin membaca buku.


Kembali menyinggung perkara bahasa, jangankan bahasa daerah, bahasa Indonesia yang baik saja belum tentu semua orang bisa. Masyarakat Indonesia agaknya terlalu banyak mengkonsumsi konten bermuatan bahasa Inggris, tapi lupa untuk mengambil bacaan berbahasa Indonesia. Hal ini melahirkan bahasa campuran yang absurd dan konyol untuk didengar. Jika boleh memberikan perbandingan, sepertinya Indonesia mirip dengan Filipina dan Malaysia—sama-sama kebingungan dengan bahasa. Kadang-kadang, ada beberapa kata yang dianggap ‘lebih efektif’ jika diucapkan dalam bahasa Inggris, meski pada kenyataannya sama saja. 


Dibandingkan dengan Jepang dengan kebudayaannya misalnya, Indonesia jelas tertinggal jauh. Tapi jika mau mengambil sisi positifnya, Indonesia bisa melihat bahwa masyarakat Jepang tetap bisa ‘moncer’ di dunia internasional meskipun kemampuan bahasa Inggris mereka kacau balau. Alasan utamanya karena mereka mampu melestarikan bahasanya dengan budaya pop—katakanlah anime atau manga—dan pada ujungnya, bukan mereka yang harus belajar bahasa Inggris, tapi orang-orang penutur bahasa Inggris yang semakin tertarik untuk mempelajari bahasa Jepang.


Kalau dipikir-pikir, melihat bagaimana Jepang, Korea, China, atau Rusia bergerak percaya diri dengan bahasanya sendiri malah membuat kita makin terlihat menyedihkan. Sudah bahasanya hampir hilang karena orang-orang lebih menganggap bahasa Inggris sebagai ‘bahasa uang’, eh Indonesia tetap saja tidak dianggap sebagai negara yang patut diperhitungkan di dunia internasional.


Tujuan masyarakat belajar bahasa Inggris salah satunya karena bahasa ini adalah ‘bahasa uang’, dan itu tidak bisa dipungkiri kebenarannya. Tidak perlu jauh-jauh, jika saya tidak bisa berbahasa Inggris, saya mungkin tidak akan bekerja sebagai ilustrator. Mungkin saya tidak akan bertahan tujuh tahun mengerjakan komik dan ilustrasi. Sayangnya, untuk sebagian orang merangkul bahasa Inggris seolah sama dengan meninggalkan bahasa Indonesia.


Terlalu muluk-muluk rasanya jika kita membandingkan diri dengan China atau Jepang yang sudah kokoh dengan budaya dan bahasanya, tapi bukan berarti kita harus menyerah di hadapan ‘bahasa internasional’. Akan mengerikan rasanya jika beberapa puluh tahun lagi, kita semua berbicara bahasa yang sama. Akan menakutkan jika membayangkan masa depan distopia ketika semua orang berbicara bahasa yang sama. Identitas manusia akan menjadi ‘global’, semua orang akan jadi universal, semua orang sama dan serupa—tapi bukankah justru perbedaan yang membuat kita istimewa?


*


Bahasa selalu berkembang, dan itu tidak bisa dilawan. Tapi argumen ini sama dengan argumen pecinta teknologi soal perkembangan AI, LLM, dan Web3—alias tidak absolut. Argumen ini tidak bisa ekstrim diamini oleh semua orang. Bahasa memang berkembang, tapi ada batasan dan aturan yang selayaknya dikaji dan dilestarikan. Bahasa Jepang berkembang pesat sejak ratusan tahun lalu, bahkan bahasa Indonesia sekalipun. Tapi apakah ‘pemusnahan’ bahasa juga bagian dari perkembangan suatu bahasa?


Apa yang saya khawatirkan bukanlah masifnya anak-anak muda bisa berbahasa Inggris—karena itu anti-intelektual dan pemikiran yang lumayan bodoh. Tapi justru ‘seberapa jauh’ kita dari bahasa Indonesia? Tidak ada masalah dalam bahasa Inggris. Semua orang dianjurkan belajar bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, bahasa pendidikan, bahasa uang, bahkan bahasa cinta. Tapi apakah dengan itu kita serta merta meninggalkan bahasa Indonesia di pojok ruangan?


Saya menonton berita setiap hari, dan setiap hari pula saya mendengar pejabat negara yang tidak bisa membedakan kata ‘kami’ dan ‘kita’. Hal ini sederhana, tapi semakin lama, sepertinya kita menuju jurang kehancuran. Jika pejabat negara yang merupakan representasi masyarakat saja tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik, saya rasa ada yang salah dengan negara ini.


Kita memang memproduksi banyak buku setiap tahunnya. Malah, penerbit-penerbit independen muncul kian marak belakangan ini. Jumlah penulis makin bertambah, judul buku yang terbit tak kalah banyaknya, tapi kualitasnya yang jadi pertanyaan. Pertama kualitas tulisan, dan kedua adalah kualitas bahasa—yang pertama biarlah jadi bahasan untuk lain waktu, tapi yang kedua yang jadi sorotan. Semakin lama, saya merasa buku-buku yang terbit seolah ditulis dengan gaya yang semakin ‘pop’ dan ‘ramah media sosial’ alias bahasa yang digunakan tak ubahnya seperti tulisan orang galau di media sosial.


Whatever, which is, apparently, moreover~


Untuk kata-kata sederhana saja kita kesulitan setengah mati dan menggunakan bahasa Inggris karena merasa lebih ‘tersampaikan’, semiskin itukah bahasa Indonesia? Atau karena suku katanya terlalu banyak? Atau karena kita semua sama-sama tidak peduli?


*


Saya ingin melanjutkan tulisan ini, pertama karena bahasannya tanggung—dan kedua karena tulisan ini hampir tidak menyentuh inti permasalahannya. Tapi saya ngantuk, dan saya harus cepat-cepat ke depan laptop untuk mengatur strategi pemain di Football Manager. Jadi, bahasan lanjutan untuk tulisan ini akan dilanjutkan di lain kesempatan. Semoga.



Ciamis. 

20 Januari 2024.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Jagat Alit - Godi Suwarna

Seseorang yang Mati Tadi Pagi - Agus Noor