Basa-Basi #54 : Linux

 


Selama beberapa waktu terakhir, saya menginstall ulang OS Windows di laptop lama—satu hal yang sebenarnya saya hindari sejak masih remaja karena ketakutan kalau ‘terjadi apa-apa’ dan saya cuma bisa bengong. Ternyata ketakutan itu tidak berdasar, nyatanya sekarang saya dengan nyaman menggunakan Linux di laptop lama yang megap-megap karena update Windows 11 yang semakin lama semakin berat.

Perjalanan menggunakan Linux ini didasari oleh beberapa hal yang terjadi. Pertama adalah Windows 11 yang semakin berat oleh adanya bloatware alias aplikasi-aplikasi sampah bawaan. Kedua, Windows 11 semakin tidak mendukung perangkat dengan spesifikasi rendah. Ketiga, saya merasa ini waktu yang tepat untuk ‘mencoba sesuatu yang baru’ tanpa harus meninggalkan kenyamanan Windows 11—karena saya masih pakai Windows di laptop utama saya untuk bekerja.

Laptop yang saya gunakan adalah Acer Aspire A314-22, laptop yang sejak awal memang ditujukan untuk pasar menengah ke bawah dan anggaran pas-pasan. Makanya tidak heran, di masa lalu pun pas-pasan, di masa depan apa lagi. CPUnya menggunakan AMD Athlon™™ Silver 3050U dengan kecepatan 2.3 GHz (dan turbo di 3.2 Ghz). Tentu saja urusan grafis integrated menggunakan AMD Radeon. RAMnya hanya 4GB saja, dan ini jadi masalah besar. Sementara untuk penyimpanan, memang laptop ini sudah menggunakan SSD—256GB, jadi lumayan cepat.

Saya memulai perjalanan ini dengan melihat-lihat forum diskusi di Reddit soal distro Linux apa yang cocok untuk kelas pemula dan laptop spesifikasi rendah. Hasilnya, sebagian besar menyarankan untuk menggunakan Linux Mint, sebuah distro turunan dari Ubuntu. Rata-rata pengguna merasa kalau Mint tidak jauh beda dengan Windows : mudah digunakan, secara tampilan mirip-mirip, dan kustomisasi bisa dilakukan dengan mudah. Plus, Mint hanya butuh minimal spek yang rendah : 2GB RAM saja sudah bisa menjalankan OS ini.

Dengan penuh semangat, saya mengunduh ISO terbaru dari Mint, Linux Mint 22.1 Cinnamon. Saya sengaja memilih Cinnamon karena ingin lebih mudah dalam mengoperasikannya. Karena kata orang, Cinnamon ini lebih modern dan menyerupai Windows—sehingga proses transisi dari Windows maupun MacOS bisa terasa mudah. Singkat cerita, saya mengunduh ISO-nya, mengisi satu Flash Disk 32GB dengan ISO ini. Kemudian melakukan flash ISOnya ke Flash Disk menggunakan Balena Etcher—dan berhasil.

Langkah selanjutnya lebih mudah lagi. Saya memastikan laptop lawas saya semua data dan filenya dicadangkan karena saya akan menghapus OS dan data-data di dalamnya. Kemudian mereset ke tampilan BIOS, disable secure boot, kemudian memasukkan Flash Disk yang sudah diflash dengan Mint tadi ke laptopnya. Kemudian muncul tampilan instalasi yang gampang sekali dipahami, dan setelah mengunduh dan memasang semua driver yang diperlukan, saya reboot laptopnya. Setelah itu, saya menyalakan kembali laptop dan Linux Mint sudah terpasang. Karena saya memilih menghapus semua data OS sebelumnya, tidak perlu repot-repot membuat partisi seperti yang biasa dilakukan untuk dual boot. Untuk panduan lengkap, saya membaca dari laman instalasi resmi Linux Mint di sini.

Menggunakan Mint sangat nyaman dan gampang sekali : semua aplikasi bawaan adalah aplikasi yang sering kita gunakan, tidak ada bloatware, mudah, dan yang pasti karena Linux ini berbasis komunitas, saya bisa menemukan banyak tutorial jika ada yang tidak dimengerti. Saya mengunduh Spotify lewat flatpak, kemudian menginstall beberapa modifikasinya seperti biasanya—dan lucu sekali karena Linux ternyata tidak rumit.

Saya menggunakan Mint selama beberapa hari untuk membiasakan diri dengan perintah-perintahnya yang memang harus dijalankan lewat terminal. Memahami direktori, terminal, memasang aplikasi, dan mengkustomisasi tampilan. Untuk melakukan pembaruan driver atau aplikasi misalnya, Mint punya Update Manager yang memudahkan pengguna. Bisa batch update, bisa juga satu persatu jika dirasa beberapa update belum perlu dilakukan. Sederhananya, Mint (Terutama Cinnamon) lebih mudah dari yang dibayangkan—dalam beberapa hal malah lebih mudah daripada Windows.

Setelah beberapa waktu menggunakan Linux Mint, saya tetap punya jiwa ingin ‘mencoba sesuatu yang baru’—tidak sesulit Arch, tapi juga tidak sesederhana Mint. Akhirnya pilihan jatuh pada OS berbasis Arch yang masih relatif baru diluncurkan : Endeavour OS (EOS). Komunitasnya di reddit tidak sebanyak Mint, tidak se-sederhana Mint juga masalah-masalahnya, tapi lumayan menarik. Seolah mempelajari Arch tapi dengan cara yang jauh lebih mudah.

Endeavour OS diluncurkan pada 2019 lalu, dan saya mengunduh versi terbarunya yang kebetulan baru rilis beberapa waktu lalu : Endeavour OS Mercury, rilisan 10 Februari 2025. Saya melakukan instalasi seperti biasa : mengunduh ISO di web resmi Endeavour OS, kemudian mengisinya ke dalam Flash Disk, dan menginstall ke laptop lama. Saat pertama dijalankan, installernya sangat mudah—saya bisa memilih DE apa yang akan digunakan, pengaturan papan ketik, bahasa, sampai tetek bengeknya. Tidak jauh beda dengan Linux Mint secara instalasi, karena semuanya tinggal mengikuti apa yang ada di layar dan memilih sesuai keinginan hati.

Saya memilih menggunakan Endeavour OS dengan KDE Plasma, tapi setelah instalasi selesai, saya menemukan beberapa kejanggalan—dan dengan kata lain, beberapa masalah. Dengan Cinnamon, saya bisa mengkustomisasi tampilan desktop secara mudah : klik kanan di panel, kemudian mengatur letak aplikasi, memilih ikon, tema, dan lainnya. Sementara di KDE Plasma, pilihan kustomisasi memang jauh lebih banyak—tapi ada beberapa bug yang secara absurd muncul.

Misalnya, saat ingin menggeser tampilan menu dan aplikasi ke bagian tengah, tampilan desktop saya jadi berantakan dan bertumpuk. Tanggal, waktu, dan indikator lain malah bergerak ke sisi kiri dan hampir semua tombol bertumpuk di pojok kiri bawah. Untungnya dengan tombol reset bisa dikembalikan dengan mudah. Hal lain yang terjadi adalah bug keyboard, tiba-tiba huruf berubah jadi angka dan tidak bisa mengisi kata sandi di terminal. Untuk hal ini, solusinya adalah reboot. Bug lain yang saya temui adalah tidak bisa mengisi DNS untuk wi-fi dan koneksi yang sering tiba-tiba hilang. Sejujurnya, di titik ini saya mulai mempertanyakan apakah yang bermasalah memang Endeavour OS, Arch, atau DEnya.

Secara tampilan, Endeavour OS dengan KDE Plasma ini memang tampak luar biasa. Tampilannya modern, sederhana, tapi menggemaskan. Dari segi visual sampai interaksi pengguna, saya akui bahkan melampaui Windows. Sayangnya, Endeavour OS dengan KDE Plasma agaknya terlalu berat untuk laptop ini yang spesifikasinya bahkan sudah tidak bisa menjalankan Football Manager 2023. Bahkan dalam posisi hanya membuka Firefox untuk nonton Youtube, konsumsi RAM bisa sampai 2.8 GB.

Dalam situasi lain, minimal 2.5 GB dihabiskan saat posisi yang saya kira bisa dikatakan idle. Tidak sepenuhnya, tapi saya tidak membuka yang berat-berat. Tab Firefox yang dibuka pun paling cuma 1-3 tab saja.

Konsumsi RAM dengan KDE Plasma ini terus menerus berada di angka 2.5-3GB dan lama-lama menjengkelkan juga. Karena setiap kali membuka aplikasi baru, sistem akan membatalkannya dengan alasan ‘menjaga memori’.

Endeavour OS dengan KDE Plasma memang menarik, terlebih ia menghadirkan banyak fitur menyegarkan dan tampilan menyenangkan. Sayangnya, agaknya membutuhkan minimal ram 8GB untuk menikmati Endeavour OS dengan Desktop Environment ini. Dengan alasan demikian, di hari yang sama saya menginstall ulang OSnya dan kali ini memilih menggunakan Endeavour OS dengan DE xfce.

Tahapan instalasi sama saja, karena memang disediakan pilihan DE yang akan digunakan—sehingga memasang Endeavour OS dengan DE baru tidaklah sulit. Tinggal klik ‘xfce’ kemudian reboot, dan saat laptop kembali menyala, tampilan sudah berubah menjadi xfce.

Sambil mencari-cari wallpaper, ikon, dan tema, saya membiasakan diri dengan xfce. Tak lupa, mencoba membuka Firefox dan memutar Youtube serta Spotify di sana. Kali pertama mencoba, saya langsung menjalankan pemutaran musik dan video secara sekaligus. Saya menonton video Football Manager sambil mendengarkan NIKI dalam waktu yang bersamaan—tapi bagusnya, aktivitas ini hanya makan 2.6 GB RAM saja, dengan konsumsi CPU 31%.

Dengan ini, saya berasumsi kalau minimnya animasi dan efek visual yang dihadirkan secara bawaan oleh xfce rupanya sangat membantu mengurangi beban kerja perangkat. Dengan mantap, saya melakukan konfigurasi lainnya. Pertama adalah bagian paling mudah tapi sekaligus penting : memasang DNS untuk koneksi Wi-Fi. Saya biasanya pakai DNS dari AdGuard yang dipasang secara manual—efeknya, iklan yang nampak ketika berselancar di internet jadi lebih sedikit, plus jadi bisa mengunjungi Reddit.

Perkara Reddit, saya masih tidak paham kenapa Kominfo (atau sekarang Komdigi) tidak membuka blokir forum terbesar sejagat raya itu. Padahal kalau dipikir-pikir, perkara teknologi solusinya biasanya ditemukan di Reddit. Seumur-umur saya punya masalah dengan teknologi, entah itu pen display, laptop, komputer, atau ponsel—solusinya 80% saya temukan di Reddit. Pembatasan yang aneh dan absurd untuk era ini.

Setelah melakukan konfigurasi DNS, saya lanjut dengan mengganti ikon, panel, dan tema. Intinya, membuat tampilan layar senyaman mungkin. Karena laptop ini saya gunakan sehari-hari (kebanyakan) untuk menonton Youtube dan mendengarkan musik di Spotify, saya mementingkan fungsi dan tampilan. Untuk mendengarkan musik sambil membuka-buka chat di Telegram, saya hanya menghabiskan 2.3 GB RAM saja—konsumsi yang mirip dengan idle di Endeavour OS KDE Plasma.

Secara keseluruhan, saya cukup nyaman menggunakan Endeavour OS dengan xfce. Transisi dari Linux Mint ke Endeavour OS tidak begitu sulit, terlebih kalau dipikir-pikir, DE xfce dengan Cinnamon ini bedanya tidak jauh. Malah menurut pendapat saya pribadi, bagi seseorang yang seumur hidupnya terbiasa dengan Windows atau MacOS, agaknya akan lebih mudah menjalani masa transisi menggunakan KDE atau Gnome. Baru setelah itu bisa mencoba DE lain seperti Cinnamon atau xfce yang secara visual tampak ‘lebih jadul’ bahkan dari Windows 10.

Dengan sedikit disulap, saya mengganti ikon, tema, mengunduh wallpaper, mengganti posisi beberapa hal, dan jadilah xfce ala-ala minimalis tapi tetap menyenangkan untuk dilihat.

Kalau urusan browser, sebenarnya halaman web itu semakin lama semakin berat. Tahun ke tahun, web berevolusi dari yang tadinya cuma html dengan css berganti lebih ‘smooth’ tapi juga lebih membutuhkan daya yang tidak sedikit. Membuka Youtube atau blog di tahun 2018 dengan 2025 perbedaannya akan jauh sekali. Makanya, tak peduli browser apapun, OS apapun, ketika terhubung dengan internet, bisa dipastikan membutuhkan daya yang mirip-mirip. Kegunaan OS ‘ringan’ seperti Endeavour OS atau Linux Mint pada akhirnya hanya memperkecil ‘daya latar belakang’ yang dibutuhkan. Sehingga kalaupun kita berat membuka browser, tidak tambah berat karena OSnya penuh dengan bloatware.

Sebenarnya laptop ini masih menerima pembaruan untuk Windows 11, tapi apalah daya. Microsoft terus menerus memasukkan aplikasi yang tidak sesuai kebutuhan dan tidak sesuai dengan kapasitas perangkat. Dalam pembaruan terakhir, aplikasi-aplikasi seperti OneNote, Copilot, Xbox, dan sejenisnya secara agresif merangsek masuk. Memang aplikasi produktivitas, tapi toh tidak semua pengguna membutuhkannya. Sayangnya, tidak semua aplikasi ‘sampah’ itu juga bisa dihapus dengan mudah. Perlu script atau bahkan aplikasi tambahan untuk melakukan debloat.

Dengan kondisi laptop yang usianya sudah tak muda lagi, apalagi CPU dan RAM yang pas-pasan, menggunakan Linux adalah pilihan yang tepat untuk saya. Meskipun kembali lagi bahwa ini bukan opsi untuk semua orang.

Untuk melakukan pembaruan driver atau aplikasi misalnya, karena Endeavour OS ini berbasis Arch, agak berbeda dengan Linux Mint yang tinggal klik-klik saja. Kita perlu membuka terminal, kemudian mengecek pembaruan, dan mengetik perintah lagi hanya untuk melakukan update kernel atau driver. Harusnya ada aplikasi tambahan yang bisa digunakan, tapi cara ‘tradisional’ ini terasa lebih nyaman pada akhirnya.

Mungkin terasa merepotkan bagi sebagian orang, tapi untuk sebagian lainnya, justru cara ini adalah cara yang paling menyenangkan. Menggunakan OS ‘non-mainstream’ (karena secara pengguna, Linux hanya dipakai sekitar 3% saja untuk penggunaan desktop pribadi) dan menghindari menggunakan OS buatan korporasi yang menjual-belikan data para pengguna. Meskipun pada akhirnya, data kita tidak pernah aman. Kita berselancar di internet, kita menggunakan akun Google, kita membuat akun Meta, semua data kita adalah milik mereka-mereka, para pedagang data yang mempejual-belikan data pengguna sebagai angka dan statistik.

*

Kemudian sampailah kita pada kesimpulan akhir. Saya menggunakan Endeavour OS sampai hari ini. Tidak ada kendala selama saya menggunakan Endeavour OS dengan DE xfce (meskipun sebelumnya tampaknya ada masalah dengan KDE Plasma) dan untuk keseharian semuanya berjalan dengan lancar. Linux punya banyak distro yang bisa dipilih sesuai keinginan pengguna. Sebagiannya konon lebih mudah, sebagian katanya lebih sulit. Tapi kembali lagi, semuanya memiliki kerangka yang sama. Pengalaman satu pengguna dengan pengguna yang lain kemungkinan besar bisa berbeda—dan pada akhirnya, tidak ada yang ‘benar’ maupun ‘salah’.

Tidak ada OS yang superior, tidak ada yang inferior. Semua OS diciptakan untuk menunjang kebutuhan pengguna. Sebagian orang mungkin menyukai SteamOS untuk bermain game, sebagian lagi merasa lebih produktif menulis di Windows, atau sebagian mungkin cukup nyaman melakukan pemrograman dengan Linux. Tidak ada OS yang salah, semua OS dibuat untuk kenyamanan pengguna—dan pada akhirnya, kenyamanan setiap orang berbeda-beda. Meski begitu, saya tetap nyaman menggunakan Linux dan Windows sampai hari ini. Masing-masing punya kelebihan, dan sudah tentu memiliki kekurangan.


Ciamis,

7:03 PM, 6 Maret 2025.

Ramadhan hari ke-6, hujan turun dengan lebat malam ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Jagat Alit - Godi Suwarna

Seseorang yang Mati Tadi Pagi - Agus Noor