Basa-Basi #57 : Musik Warisan

 



Goodbye, Ruby Tuesday

Who could hang a name on you?

When you change with every new day

Still, I'm gonna miss you


Begitu lirik Ruby Tuesday yang dibawakan oleh The Rolling Stones—mengalun merdu dari speaker. Kalau tak salah ingat, agaknya saya tahu lagu ini bahkan sebelum bisa membaca atau menulis. Sebagai orang Sunda, keakraban ini tampak wajar, mengingat hampir setiap orang di Jawa Barat pasti pernah mendengar musik Mick Jagger dan rekan-rekannya setidaknya sekali dalam hidup. Entah itu mendengarkan lagunya dari rumah tetangga, anak-anak muda yang main gitar sambil nongkrong, atau ‘diwariskan’. Karena agaknya selain Prabu Siliwangi dan Persib, hal lain yang biasa diwariskan masyarakat Sunda adalah The Rolling Stones.

Ada beberapa hal yang terpatri dalam ingatan saya soal masa kecil. Pertama adalah buku bacaan, kedua adalah musik yang didengar, dan terakhir adalah tontonan. Mungkin karena yang namanya anak kecil gampang sekali menyerap hal-hal baru dengan telinga atau mata, akhirnya beberapa menetap dan mengendap hingga usia dewasa. 

Jika diingat-ingat, ada dua lagu The Rolling Stones yang saya dengar ketika kecil—atau lebih tepatnya, ikut mendengarkan ketika kakak saya memutar lagu. Pertama adalah Angie, lagu syahdu yang ‘magis’. Kedua adalah Ruby Tuesday, yang entah kenapa selalu menerbitkan rasa bahagia. Mungkin karena pada dasarnya lagu itu dibuat untuk seorang wanita—konon, Keith Richards menulis lagunya untuk sang kekasih di tahun 60an.

Beranjak dewasa, saya menemukan beberapa lagu The Rolling Stones lain yang tak pernah lepas dari playlist : It's All Over Now, Dead Flowers, dan Route 66. Sayangnya, lagu terpopuler mereka yakni Paint It, Black agak sulit untuk saya dengarkan. Terlalu depresif rasanya. Entah perasaan saya saja. 

The Rolling Stones itu agaknya jadi ‘lagu wajib’ untuk sebagian orang—minimal tahu satu lagunya. Entah kenapa. Saya jarang sekali menemukan orang Sunda tulen yang tidak tersentuh The Rolling Stones. Kalaupun ada yang mengaku tidak tahu, pasti mereka tahu nada salah satu lagunya atau minimal tahu Mick Jagger.

Selain The Rolling Stones yang jadi ‘band wajib’, beberapa band lain juga masih bisa saya ingat—band-band yang akrab sekali di telinga ketika saya masih kecil. Penyumbang terbesar musik-musik ini ke dalam hidup saya adalah Bapak dan Kakak—meskipun ibu seingat saya yang pertama membuat saya menyukai Panbers dengan lagu ikoniknya : Gereja Tua. 

Ada beberapa lagu yang mengingatkan saya atas momen-momen tertentu. Misalnya saja, Memulai Kembali-nya Monita Tahalea mengingatkan saya dengan kisah-kasih masa sekolah. Atau Semua Tentang Kita yang dibawakan Peterpan bisa membangkitkan ingatan akan cinta pertama saya—sekalipun ya cinta monyet. Momen-momen merasakan pusing, anxiety dan galaunya jatuh cinta juga bisa saya asosiasikan dengan lagu-lagunya Sleeping With Sirens.

Tapi ada juga beberapa lagu yang tidak ada kaitannya dengan perempuan, cinta, atau galau. Misalnya Bryan Adams dengan Heaven dan (Everything I Do) I Do It for You bisa secara magis mengingatkan saya dengan masa kecil yang spesifik. Bersama dengan Bon Jovi, Doel Sumbang, dan Scorpions, lagu-lagu Bryan Adams sering diputar oleh Bapak ketika dulu masih mengurus kandang ayam. Saya masih bocah dan ikut cuma untuk menemani saja—sesekali, ikut menaruh pakan di tempatnya atau mencuci tempat pakan ayam dan tempat minumnya. Karena kegiatan ini biasanya dilakukan malam sampai hampir subuh, suasana sunyi di sekitar kandang akhirnya harus ditangkal dengan memutar musik. 

Pulang dari kandang ayam, dengan sedikit menggigil karena suhu dingin yang luar biasa, biasanya saya menghibur diri dengan bersenandung Wind of Change. Selain mengusir rasa sepi juga, karena lokasi kandang ayamnya memang jauh dari pemukiman warga. Daripada mendengar suara kuntilanak, misalnya, lebih baik bernyanyi Scorpions.

Tapi karena suasana dingin itu pula, Bapak akhirnya berhenti mengurus ayam. Dokter bilang kegiatan mencuci tempat pakan ayam dan mengurus ayam tengah malam semakin memperburuk persendiannya. Satu dua waktu memang bisa ditangkal dengan fisioterapi, tapi lama-kelamaan penyakitnya betah. Sampai saat ini pun, agaknya Bapak memang punya masalah dengan suhu dingin. Apalagi di musim-musim tertentu. Sialnya lagi, kami tinggal di Ciamis, tempat yang hawa dinginnya bisa menelanjangi manusia sampai ke tulang.

Ketika kecil, rumah kami dikunjungi banyak orang. Sebagian besar adalah teman-teman Kakak, sebagian lagi teman-teman saya atau teman-teman orangtua kami. Pada dasarnya, rumah ini tidak pernah sepi dari pengunjung sejak puluhan tahun lalu—mungkin 80an, saya kurang tahu—tapi Kakek dari pihak ibu juga punya kegemaran serupa : berteman dan mengajak teman-temannya bertamu ke rumah.

Kadang ketika masih SD atau SMP, ada teman Kakak yang menginap berhari-hari di ruang tamu. Kadang ketika bangun tidur, ada saja yang sedang tidur di depan rumah. Jadi saya tumbuh dewasa dengan kondisi mengenal banyak orang—banyak saudara yang bahkan tidak punya ikatan biologis. Tapi di mana pun mereka sekarang, semoga semuanya dalam kondisi baik-baik saja.

Karena banyak orang itulah, saya akhirnya juga mendapat asupan genre musik yang berbeda. Seorang teman Kakak, misalnya, saya ingat setiap pagi—jam sepuluh atau sebelas ketika dia bangun adalah ‘pagi’ untuk beliau—selalu cuci muka, menyeduh kopi, dan memutar musik Pantura dan/atau tarling. Entah ada kaitan apa ia dengan Cirebon atau Indramayu, tapi hampir setiap hari saya melihatnya bersenandung lagu-lagunya Aas Rolani.

Teman Kakak yang lain hobinya berbeda. Ia semacam pria yang selalu mendapat kesialan dalam urusan asmara. Kalau diibaratkan, ia adalah pengejawantahan lagunya Rhoma Irama yang judulnya Kegagalan Cinta dalam bentuk manusia. Setiap pinjam speaker untuk menyalakan lagu, ia akan menyalakan lagu-lagu slow rock 90an yang mendayu-dayu. Kadang ia mendengarkan White Lions, tapi lebih seringnya patah hati dengan lagu-lagu semacam U2 atau Guns N Roses.

Seperti hal lainnya dalam hidup, musik memberikan pengaruh terhadap kehidupan seseorang. Saya misalnya, membuat tato yang salah satunya terinspirasi dari liriknya Epica di Universal Death Squad. Kisah lainnya lagi, saya pada akhirnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berkaitan dengan sampul album karena mendengarkan beberapa jenis musik. Bahkan mungkin jika saya tak mengenal beberapa genre musik, saya tidak akan menggambar saat ini.

Meski saya mendengarkan berbagai genre musik yang berbeda sejak kecil, tapi kemampuan bermusik saya lebih buruk dari kata payah. Suatu ketika di masa SMP, saya dan tiga atau empat teman lainnya pergi ke studio musik. Sebagaimana tren saat itu, yang namanya remaja keren pasti bermusik. Lebih bagus lagi kalau bisa mengisi acara-acara di berbagai tempat.

Mulailah kami membagi peran. Kebetulan, saya tidak pandai main drum, kalau main gitar cuma bisa E minor karena tangan saya yang kurang normal, dan tidak bisa instrumen lain—akhirnya saya dijadikan vokalis. Kami voting lagu apa yang akan dimainkan saat itu, dan saya bilang lebih baik Sweet Child O’Mine karena melodinya keren dan saya bisa menyanyikannya. Baru beberapa detik berjalan, suara di ruangan studio itu tak lebih dari kaset rusak. Drummernya hanya bisa musik reggae, gitarisnya gitaris pop punk, dan basisnya masih belajar—plus, saya tidak paham nada. Akhirnya sesi sore itu diakhiri dengan mencoba-coba memainkan bass-nya Enter Sandman yang terkenal itu sambil bernyanyi-nyanyi lagu Dhyo Haw.

Kembali ke urusan musik, warisan, dan The Rolling Stones. Saya rasa, ada baiknya jika suatu saat ketika saya memiliki anak, saya memperdengarkan beberapa lagu favorit. The Rolling Stones sudah pasti akan diwariskan, begith juga dengan musik-musik country semacam Alan Jackson atau Randy Travis—tapi mungkin saya juga akan menambahkan modul khusus agar ia kelak juga mendengarkan A Day To Remember atau Slaughter To Prevail.

Karena musik begitu penting dalam tumbuh kembang seorang manusia, saya tidak bisa membayangkan bagaimana monotonnya kehidupan anak saya kelak jika ia tak berkesempatan mendengarkan lagu-lagu itu. Karena sejauh pengalaman hidup saya, mereka yang tidak gemar mendengarkan musik biasanya menjadi manusia yang membosankan. Entah dalam pembicaraan, entah dalam pengalaman. Minimal, ia bisa menyalurkan emosinya lewat bernyanyi riang atau galau sambil mendengarkan Lita Ford.

Sebagaimana saya ingin membacakan anak saya kelak buku-buku John Steinbeck soal kehidupan manusia yang getir tapi menyenangkan, menyanyikan lagu-lagu tertentu juga sepertinya akan menarik. Misalnya, jika suatu saat saya memiliki istri sekaligus ibu yang penyayang—mungkin ada baiknya saya menyanyikan The Hand That Rocks the Cradle untuknya. Lagu yang dinyanyikan Glen Campbell itu bercerita soal bagaimana seorang ibu membentuk pola pikir anak, sementara para pria sibuk berperang dan bekerja.


He got here red and wrinkled scared and cryin'

Then she took him up and held him to her breast

And he sure was glad to get what mama offered

Then he went to sleep and put his fears to rest


It didn't seem to matter what he needed

He could always count on mama to supply

And regardless of the sleep she might be losin'

He always found a twinkle in her eye


There ought to be a hall of fame for mamas

Creation's most unique and precious pearls

And heaven help us always to remember

That the hand that rocks the cradle rules the world


She taught him all the attributes of greatness

That she knew he couldn't learn away from home

And by the time she wore the cover off her bible

Her hair was gray and her little man was gone.

(lirik lagu The Hand That Rocks the Cradle yang dinyanyikan Glen Campbell.)


Seorang anak bisa tumbuh tergantung bagaimana ibunya. Dalam filsafat Sunda, alam selalu digunakan sebagai metafora kehidupan. Ini tidak lepas dari masyarakat Sunda Kuno yang memaknai alam sebagai ‘pengejawantahan Tuhan’---mirip seperti panteisme dalam ilmu modern. Ada sebuah pepatah yang berbunyi ‘Indung tunggul rahayu, Bapa tangkal darajat’. Jika dialih bahasa secara literal, artinya adalah ‘Ibu tunggul keselamatan/keberkahan, Bapak pohon derajat/kehormatan’. Ini sering sekali saya dengar dari kecil sampai sekarang sebesar ini, mungkin masuk dalam Top 5 pepatah Sunda yang minimal didengar sekali seumur hidup dalam kehidupan anak-anak di Jawa Barat.

Masyarakat Sunda cenderung tidak begitu patriarkis, terutama era pra-kerajaan atau pra-kehancuran Tatar Galuh. Jadi, Bapak dan Ibu punya derajat yang sama. Ibu memberikan keselamatan dan kebahagiaan untuk sang anak, sementara Bapak yang mengajarkan bagaimana sang anak harus menghormati orang lain dan bagaimana ia akan dihormati orang lain. Ibu menjadi sumber pertama kecerdasan emosional untuk anak, dan Bapak adalah orang pertama yang jadi sumber kecerdasan intelektual seorang anak. 

Pepatah ini sayangnya banyak direduksi, padahal jelas bahwa ini salah satu kecerdasan leluhur dalam memberikan wejangan soal kesetaraan gender. Bahwa Bapak dan Ibu punya posisi yang setara, tiada yang kurang dan tidak ada yang lebih. 

Karena tulisannya makin melebar, agaknya lebih baik diakhiri di sini. Mungkin dalam kesempatan lain, saya akan menulis yang lebih berbobot dan terstruktur. Mungkin.


Ciamis, 28 Juni 2025.


Komentar

Postingan Populer