Basa-Basi #58 : Memilih
Satu hal yang saya
tidak suka adalah memilih. Apapun itu bentuknya, dihadapkan pada pilihan selalu
membuat saya kebingungan dan malas duluan. Memilih kepala daerah atau pemimpin
negara misalnya, saya menghitung-hitung mana yang terbaik dari yang terburuk.
Lebih sering saya menemukan kebuntuan, karena tidak adanya opsi yang
benar-benar menguntungkan.
Tapi agaknya
begitulah hidup. Kita dipaksa untuk memilih sesuatu yang tidak benar-benar kita
sukai—dan tidak ada pula hal yang bisa kita lakukan untuk menghindarinya. Sebagian
hal ditakdirkan sebagai pilihan, tapi sebagian lagi nasib yang membawa kita
pada pilihan. Orang-orang tua bilang takdir itu tidak bisa diubah tapi nasib bisa
dibengkokkan—yang jelas, keduanya kadang menggiring kita pada sebuah gang buntu
bernama pilihan.
Masyarakat Indonesia
di era ini harus dihadapkan untuk memilih pilihan yang teramat sulit. Misalnya
memilih untuk meyakini bahwa pemerintahan ini berjalan dengan baik, atau cukup
punya nyali untuk bilang pemerintahannya tidak jelas dan berpotensi dicap makar.
Hal lainnya adalah memilih ‘kubu’ mana yang harus didukung di media sosial. “Kamu
Barat atau Timur?” biasanya begitu.
*
Sejak Putin
menjadi lebih terkenal dari selebriti di televisi, orang-orang mulai memuja
Rusia layaknya sebuah negara suci baru : seolah sebuah tanah yang dijanjikan
tapi untuk orang-orang anti-barat. Di sisi lain, kemunculan Trump juga dianggap
setara dengan Putin, sebagian orang yang lain menganggap pemerintahan tangan
besinya yang anti-imigran itu adalah semacam tanda-tanda kenabian.
Fanatisme
masyarakat Indonesia terhadap Barat dan Timur ini harusnya bisa ditelaah lebih
jauh. Karena rata-rata, mereka mengidolakan figur, bukan kebijakan negara atau
kebijakan politiknya. Dalam sebuah video yang menampilkan Putin berdiri
hujan-hujanan memberi hormat pada tentaranya yang gugur dalam perang, kolom
komentar ramai diisi oleh orang Indonesia—mereka berkata bahwa inilah sikap
heroik sejati. Di sisi lain, ketika Trump ingin mengadopsi mata uang kripto
sebagai bentuk pembayaran yang sah, masyarakat Indonesia juga berkomentar bahwa
Amerika sudah selangkah lebih maju.
Mungkin sebagian
orang kita gampang tertipu dengan media sosial, entah karena saya tidak memiliki
pemahaman mendalam soal kedua orang itu. Satu hal yang jelas, baik Rusia atau
Amerika bukanlah ‘kucing yang senang berteman’ dan bisa kita kagumi sepenuh
hati. Keduanya adalah negara yang hobi berperang—melanggar hak asasi, menciptakan
kekacauan di sana-sini, dan sama sekali tidak ada yang bisa diteladani.
Saya tidak bisa
memahami letak ‘keren’-nya Putin atau Trump—atau kepala negara manapun itu. Mereka
berperang, menjadi pimpinan tertinggi operasi-operasi yang tidak diperlukan,
dan tangannya bau anyir darah. Aneksasi Crimea, penjajahan dan genosida di
Palestina, kemudian tidak lupa kedua negara bau darah ini juga sama-sama pernah
menginjakkan kaki di Afghanistan dan membuka perang puluhan tahun yang tak
kunjung selesai.
Tapi rupanya hanya
sedikit yang berpikir demikian. Alih-alih mengidolakan bintang FTV atau biduan
dangdut, sebagian orang lebih suka kalau mengidolakan dua tukang perang ini. Satu
tamu kehormatan yang saya lupa sebut adalah Xi Jinping—meski popularitasnya
kalah oleh Putin dan Trump, sebagian orang rupanya mengidolakan Paman Xi karena
kebijakannya yang anti-barat.
Pada akhirnya,
alasan kenapa orang-orang menyukai Trump, Putin, atau Xi Jinping bukan karena ‘mereka
adalah mereka’, tapi karena mereka anti-barat atau anti-timur. Barat dianggap
liberal dan tidak punya sopan santun, sementara Timur dianggap rentenir jahat
tukang jebak utang. Kesadaran rasional masyarakat kita dipertanyakan sampai
titik ini.
*
Kemudian datang
masalah baru : kita terlilit utang Tiongkok dan terkena pentungan tarif
Amerika. Dalam situasi ini, memangnya apa yang bisa kita perbuat? Apakah
fanatisme terhadap Trump atau Putin-Xi Jinping bisa membuat mereka ‘bersahabat’
dengan kita?
Jawabannya,
hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara luar memburuk selama tiga periode
terakhir. Setelah era Marty Natalegawa, hubungan antara Indonesia dan negara
lain cenderung bersifat transaksional yang tidak menguntungkan dan ‘asal jadi’.
Memang, Bu Retno adalah figur yang diidolakan publik. Tapi pertanyaannya,
beliau diidolakan karena beliau luar biasa atau beliau diidolakan karena selain
beliau, menteri lainnya rata-rata terkena skandal?
Ini kan cuma
perkara pilihan saja. Karena kita tidak punya pilihan yang setara, beberapa sosok
otomatis jadi ‘pilihan paling rasional’. Ketika heboh pemilu 2024 dan berbagai
macam skandalnya, orang berpikir bahwa Anies adalah pilihan paling rasional.
Menurut saya tidak, Ganjar justru yang paling rasional. Kalau mau nyungsep,
nyungsep sekalian.
Ketiadaan pilihan
menghadirkan sosok ‘terbaik dari yang terburuk’ sebagai juru selamat. Pada
akhirnya, kita tidak bisa benar-benar memilih. Lha, pilihan yang paling
rasionalnya cuma satu. Apa yang mau dipilih?
Secara terus
menerus, hal ini agaknya menurunkan tingkat kecerdasan masyarakat. Jika ada
satu figur publik yang bekerja dengan baik, ia akan dianggap luar biasa. Padahal
memang sudah seharusnya ia bekerja dengan profesional. Semakin lama, hal ini
akan membuat masyarakat secara tidak sadar ‘membenarkan kebodohan’. Karena
lazimnya orang-orang bertindak bodoh, satu orang normal (tidak pintar, normal
saja sebagaimana seharusnya ia bertindak) akan dianggap layaknya Lia Eden yang
ingin mendaratkan UFO di Monas.
Pilihan-pilihan
yang buruk ini semakin lama akan semakin sempit. Ia bukan lagi ‘pilihan buruk’
tapi kita akan menemui titik dimana tidak ada pilihan sama sekali. Tapi sistem
mengharuskan kita untuk memilih. Nah, di titik ini, kita akan dipaksa untuk
memilih. Itu sudah pernah terjadi, dan bukan tidak mungkin, jika melihat
ramainya orang-orang memuja Trump dan Putin, kita akan menghadapi era yang sama
kembali.
Kita akan dipaksa
untuk memilih. Karena kita goblok dalam memilih. Kita tidak bisa lagi memilih
secara rasional, sampai akan ada masa dimana ada kelompok atau orang-orang
tertentu yang akan ‘membantu’ memilihkan pilihan. Cepat atau lambat.
Ciamis, 11 Agustus
2025.
Komentar
Posting Komentar