Ngebul #4 : Sereal, Tapi Mana?
Ada harga ada
kualitas. Begitu kata orang-orang tiap kali saya mau membeli sesuatu. Mengganti
LCD ponsel misalnya, biasanya ditawarkan beberapa opsi untuk dipilih : mau yang
grade A, B, original, dan seterusnya. Saya kira ungkapan demikian hanya bisa
diucapkan tatkala kita membeli barang elektronik. Ternyata tidak juga.
Belakangan, saya
merasa bahwa harga liquid MTL mulai meningkat lumayan tajam. Mungkin ada
kaitannya dengan bahan baku pasca-covid yang makin tinggi harganya—entah karena
pajak yang konon ingin digenjot makin tinggi oleh pemerintah. Tapi yang jelas,
harga liquid MTL makin lama makin tidak masuk akal.
Harga liquid 30ml high
nic untuk MTL yang biasanya ada di kisaran 70 ribuan—atau maksimal 90
ribuan—sekarang entah kenapa naik drastis jadi 100, bahkan ada 120 ribu dan
seterusnya. Begitu pula dengan ketersediaan nikotin yang ada di pasar—saya
biasa membeli liquid 18mg untuk produk freebase yang saya gunakan untuk MTL—biasanya
dari brand Manhattan (brand favorit saya sejak pertama vaping tujuh
tahun yang lalu mungkin) sekarang makin sulit menemukan liquid yang 18mg. Rata-rata
toko hanya menjual 9 atau 12mg. Entah kenapa, mungkin merespon perubahan pasar.
Karena berbagai
faktor itulah, saya memutuskan kembali menepi pada DTL. Kebetulan punya
beberapa RDA dan RTA dual coil, hanya saja tidak punya mod dual battery-nya.
Berbekal rasa jenuh (dan malas membeli liquid-liquid mahal), saya membeli
Voopoo Musket untuk dipasangkan dengan Dead Rabbit RTA v3 yang saya beli
beberapa tahun lalu. Ketika harus memilih liquid, saya bingung lagi. Banyak
nama baru, tapi banyak juga nama-nama lama yang masih bertahan.
—
Berbekal uang 100
ribu, saya mencoba berjudi dengan rasa. Pilihan saya tertuju pada satu brand
yang sebetulnya satu atau dua tahun lalu sempat saya coba varian cokelatnya :
La Cream. Brand ini sebetulnya saudara dari Levica Juice, karena sama-sama
diproduksi oleh Artha Brewery atau CV Artha Karya Gemilang di Tegal, Jawa
Tengah.
Seingat saya, La
Cream yang varian cokelat itu rasanya juara. Juara sekali, waktu itu harga La
Cream Choco Lava agaknya cuma 65 ribuan. Saya masih ingat La Cream Choco Lava
punya sensasi cokelat yang sulit dilupakan : ia lumer di mulut, dan benar-benar
mewujudkan apa yang ditulis sebagai ‘choco lava’. Dengan ingatan saya
tentang Choco Lava, saya memutuskan akhirnya membeli La Cream Cereal, yang saya
kira akan punya ‘sensasi rasa’ yang serupa : bisa mengantarkan ketebalan rasa
dan lapisan gurih yang nikmat.
Akhirnya saya membeli La Cream Cereal dengan harga 87 ribu di salah satu toko langganan saya di Tokopedia. Dengan harga di bawah seratus ribu, saya paham betul bahwa mungkin saya berjudi dengan kualitas. Tapi karena pengalaman saya dengan La Cream sejauh ini melampaui ekspektasi, saya tidak berpikir bahwa liquid ini akan mengecewakan untuk lidah saya.
Liquid ini murah,
kemasan lumayan baik, desain kemasannya bisa saya bilang sangat profesional.
Bahkan dibandingkan saudara satu atapnya, Levica Juice yang kadang secara
desain agak ‘kurang modern’, La Cream Cereal mampu menampilkan ‘kesan premium’
untuk harga merakyat.
Karena saya orang
visual, dan sehari-hari bekerja dengan urusan ilustrasi dan desain, saya bisa
bilang bahwa nilai positif paling tinggi untuk La Cream adalah kemasannya. Baik
sekali. Tidak norak, tidak alay, dan bisa menjangkau berbagai kalangan. Poin
plus untuk tim desainnya.
Tapi ketika berbicara soal rasa, agaknya ini yang mulai patut dipertanyakan. Pertama, saya mulai dengan menggunakan atomizer bawaan dari Voopoo Musket—yang coilnya saya pasangkan PnP-VM5 (0.2Ω) dan running di 40-65 watt. Mengandalkan deteksi pintar dari chip GENE.TT saya mulai dengan wattage yang direkomendasikan, tapi ternyata tidak ada rasa apa-apa, hanya manis saja seperti air gula. Saya tingkatkan ke preferensi favorit di 3.5-3.7 volt, juga tidak ada perubahan. Untuk sejenak, saya berpikir mungkin ini masalahnya ada pada atomizer bawaan—karena biasanya juga begitu, atomizer bawaan memang kadang dibuat ‘hanya melengkapi mod kit saja’.
Karena rasanya tidak keluar, saya mengorek-orek laci
dan menemukan Dead Rabbit v3 RTA yang tersimpan lumayan lama. Saya pikir karena
ini adalah RTA yang lumayan oke dan garang (meski bukan high-end)
mungkin tes lebih akurat bisa dilakukan dengan RTA andalan saya ini. Saya
pasanglah round wire 22 awg dengan settingan di dual coil 0.15
ohm dan running di 3.4-3.7 volt. Saya coba sekali dua kali, hasilnya sama saja.
Sekalipun ada rasa sereal, itu hanya muncul di after taste saja, bukan
ketika inhale.
Di kemasan memang
tidak dituliskan ini sereal apa, tapi melihat desainnya yang menampilkan gambar
gandum, di liquid ini tidak terasa sama sekali. Untuk lidah saya, deskripsi
karakter rasa dari liquid ini lebih dekat ke susu dari sereal Simba Choco Chips
tapi kebanyakan gula. Selain rasa susu dan oat yang tipis saat exhale
dan after taste di mulut, liquid ini tidak punya karakteristik sereal
yang lain. Bagi saya, alangkah lebih cocok jika liquid ini dideskripsikan
sebagai ‘susu sereal’ sehingga memberi penekanan lebih pada karakteristik ‘susu’-nya
dibanding serealnya.
Saat inhale,
liquid ini punya karakteristik manis gula dan exhale ada sedikit rasa
susu—meski bukan rasa ‘susu beneran’ yang membekas di mulut. Gambaran saya akan
susu sereal mungkin lebih condong mendekati Oat Drips atau Snack Bar—selain
itu, saya rasa sulit untuk liquid lain bisa menandingi ketebalan rasanya. Meski
saya juga memaklumi dengan harga yang lumayan rendah, rasa seperti ini bisa
dibilang ‘sesuai dengan harganya’. Karena toh, harga bahan baku tentu ditekan
dan mungkin ada beberapa bahan ‘mahal’ yang harus disubstitusi dengan
bahan-bahan yang lebih terjangkau.
Sebenarnya jika
liquid ini dicium aromanya, ia mirip sekali dengan Oat Drip atau Snack Bar
(saya tidak tahu apakah dua liquid itu masih ada sampai sekarang) ketika tahun
2020an, persis sekali. Ada aroma gandum, aroma susu, gurih dan creamy.
Sayangnya, ketika dihisap aroma itu tidak bisa kita rasakan. Meskipun di sini
ada karakteristik dari La Cream : ada semacam sensasi rasa yang meleleh di after
taste-nya, sebagaimana mereka membuat varian Choco Lava. Sayangnya, karena
rasa oat dan susunya tipis, lelehan rasa yang tersisa itu kurang lebih hanya
terasa seperti gula cair.
Untuk layering,
saya rasa liquid ini cukup sederhana. Ia tidak macam-macam, toh di
kemasannya hanya ditulis bahwa rasanya hanya sereal, tidak lebih. Jadi tidak
ada secondary layer, rasa yang hanya bisa dicapai di settingan tertentu,
atau apapun—tidak ada. Saya rasa dengan atomizer sederhana pun, liquid
ini masih tetap bisa dinikmati.
Bagi saya, La
Cream Cereal ini kurang cocok. Saya ingat bahwa tahun lalu saya juga mencoba La
Cream Mild yang satu pack isi empat—salt nic 10mg. Tiba-tiba ingat itu. Dari
empat liquid itu pun saya cuma suka yang versi Choco Lava. Entahlah. La Cream
ini berhasil mencuri hati saya dengan Choco Lavanya, tapi untuk La Cream
Cereal, sayangnya masih belum bisa memuaskan lidah saya. Begitu pun dengan
nikotinnya. Saya beli varian 6mg tapi 6mg-nya ini tidak terasa sama sekali,
malah terasa seperti 3mg. Entah tenggorokan saya yang sudah jadi beton karena
lama MTL-an, entah memang liquid ini tidak bisa mengantarkan ‘sensasi 6mg’ yang
cadas.
Sejauh ini,
pemenang untuk urusan gandum-ganduman di hati saya tetaplah Oat Drips, kemudian
disusul Snack Bar. Entah karena La Cream masih terhitung baru atau kebetulan
komposisi mereka yang tidak tepat, entah karena memang segmentasi pasarnya
bukan saya, yang jelas untuk saya pribadi, liquid ini tidak bisa mengantarkan
rasa yang saya harapkan.
Mungkin jika La
Cream bisa lebih bermain di area ‘es krim’ atau ‘kue-kuean’ ia akan benar-benar
jadi brand yang diperhitungkan. Karena sensasi ‘lumer’ dan ‘meleleh’-nya ini
lumayan paten dalam semua liquidnya, dan akan sangat luar biasa jika
diaplikasikan dalam seri liquid atau lini liquid yang cocok.
Meski kurang cocok
dengan selera, tapi pengalaman menggunakan liquid ini lumayan menyenangkan.
Saya merasa bangga karena setiap tahunnya, produsen liquid di Indonesia masih
bisa menelurkan produk-produk baru. Lebih dari itu, bukan cuma produk baru,
tapi produk-produk yang bisa dinikmati semua kalangan. La Cream agaknya bermain
di segmentasi pasar yang cakupannya cukup luas. Ia murah, dan bisa memberikan
sedikit gambaran bagaimana definisi ‘creamy’ dalam liquid. Tapi meski demikian,
semoga La Cream atau semua brand liquid yang ada saat ini bisa kembali berbenah,
pertama untuk memuluskan jalan di industri liquid tanah air, juga berkontribusi
pada masyarakat dan negara. Karena hey, beli liquid artinya kita sudah
memberikan duit ke negara lewat cukai.
Saya sebetulnya
ingin marah-marah juga soal PP 28 Tahun 2024, tapi ya—namanya juga hidup di
Indonesia ya, kawan-kawan.
Ciamis,
19 Agustus 2025.
Komentar
Posting Komentar