Ngebul #11 : Nostalgia Gorila
Blunanarilla dan
Gorilla Jam adalah dua dari beberapa liquid favorit saya sejak pertama kali
mencoba vaping. Di era itu, belum banyak liquid dengan rasa serupa di
pasaran. Kalaupun ada, biasanya liquid-liquid luar negeri. Karena konon rasa
ini pertama kali booming ya karena tren di Amerika sana.
Dua liquid ini
pula yang mengenalkan saya pertama kali dengan dunia ‘rasa blueberry’. Karena
kalau tak salah ingat, sejak mencoba Blunanarilla dan Gorilla Jam, saya
langsung mencoba liquid-liquid lain dengan rasa serupa. Misalnya liquid Dua—yang
pada akhirnya juga memenangkan hati dan lidah saya.
Hari ini, saya
kembali mencoba Blunanarilla. Dulu saya senang m
enggunakannya untuk DTL—ketika
masih zaman liquid ukuran botol 100ml—tapi kali ini saya coba versi MTLnya
alias yang pods friendly. Akhirnya, kembali nostalgia dengan gorila.
*
Mood menulis saya akhir-akhir ini kurang baik, dan tulisan
juga sebetulnya tidak bagus-bagus amat. Jangankan bagus, panjang pun tidak. Tapi
kalau kata almarhum Langit Kresna Hariadi, menulis itu selama kita sudah punya
gagasan atau idenya, maka yang perlu kita lakukan selanjutnya hanyalah hanyut
dan larut dalam proses penulisan. Tulisan ini akhirnya saya ketik. Kembali ke
konsep awal bahwa segmen Ngebul di blog ini adalah refleksi dan arsip pribadi,
saya memutuskan untuk menuliskan saja apa yang saya rasakan dan saya lakukan.
Kembali ke urusan
gorila, saya sudah pernah menjelaskan dalam Ngebul edisi sebelum-sebelumnya
bahwa liquid bergambar primata agaknya memang punya magisnya tersendiri. Bukan
hanya Gorilla Jam atau Blunanarilla, tapi Monkyman-nya Monk Liquid juga cocok
untuk saya. Jadi, kesempatan untuk kembali merasakan Blunanarilla ini tidak
saya sia-siakan.
Dengan penuh rasa
semangat, saya membuka liquid ini dan langsung menyiapkan alat tempur. Seperti
biasa, untuk MTL saya selalu mengandalkan Gate RTA yang dipasang di iStick Pico
Plus. Untuk urusan kawat dan kapas, sekarang saya menggunakan Phoenix Wire 28ga,
5 wrap di 0.98 ohm dan bermain di sekitar 3.7-3.9 volt, ditambah dengan
kapas Bear Cotton.
Hisapan pertama,
saya dilemparkan ke nostalgia bertahun-tahun lalu. Rasa gurih dari perpaduan creamy
pisang yang diberi ‘wangi khas’ blueberry membuat saya benar-benar
merasa ‘muda kembali’. Bagaimana tidak, terakhir saya mencoba liquid ini ya
dulu ketika saya masih hobi nongkrong ke sana ke mari, dari ujung barat Jogja
ke ujung timur, dari satu kafe ke kafe lain, dari satu kosan ke kosan lain.
Jika tak salah
ingat, terakhir saya beli liquid ini di Jogja dulu ya di Jogja Vape Longue di
Taman Siswa atau kalau tidak, di Vaperoom Giwangan, dekat terminal bis. Dua
tempat itu favorit saya dengan keunggulannya masing-masing. Di JVL, dulu
tokonya bersebelahan dengan penjual boba yang enak. Jadi kalau datang dan
kepanasan, saya bisa mampir dulu beli boba. Di depannya, sering sekali pedagang
cilok mangkal—enak juga ciloknya. Apalagi kalau malam-malam.
Di Vaperoom
Giwangan lain cerita. Karena lokasinya memang lebih mlipir dari kota, ia
cenderung lebih sepi dan tenang. Tidak ada cerita macet seperti di Taman Siswa.
Kalaupun lalu lintas padat, itu biasanya terjadi di sore hari, ketika
orang-orang yang bekerja di kota hendak pulang ke Bantul atau Gunungkidul. Paling
senang saya datang ke sana sore-sore, jalannya lewat ke Pasar Legi Kotagede dan
pulang dari Vaperoom mampir dulu ke pedagang nasi goreng di pertigaan pasar.
Kalau mood sedang baik, di depan RS Muhammadiyah mampir lagi beli roti
bakar.
Ah, satu liquid
yang mengingatkan saya dengan masa-masa yang sudah terlewati. Agaknya kalau
saya merasakan Enigma Apple Pie, mungkin saya juga akan merasakan nostalgia
yang sama dengan gang-gang kecil di jalan Sosrowijayan. Ada semacam perasaan
nostalgia ketika saya mencoba kembali liquid-liquid lama, dan fragmen-fragmen
memori itu silih berganti kembali muncul.
Kalau liquid Runa
dan Bananalicious, dua liquid itu mengingatkan saya akan Jakarta. Karena dua
liquid itu yang menemani saya ketika berkunjung ke rumah Kakak di Jakarta
Selatan. Malam-malam membeli ketoprak, misalnya, meskipun entah kenapa suasana
Jabodetabek itu selalu membuat saya waswas. Tak peduli berapa kali saya pergi
ke sana.
Kembali ke urusan
liquid, karena tulisan ini lebih banyak ngalor-ngidulnya. Liquid ini punya
karakeristik tebal di arah banana, kemudian seakan diberi topping
blueberry. Hanya ada dua rasa, dan layering-nya juga sederhana, ia
bisa berpadu dengan harmonis tanpa membedakan rasa ketika inhale dan exhale.
Gaya semacam inilah yang sebetulnya lebih cocok bagi saya dalam liquid MTL.
Tidak banyak layer yang malah membingungkan, dan lebih to the point soal
rasa yang ingin disajikan.
Memang, di luar
sana banyak vapers yang menuntut kesempurnaan. Harus ada pemisahan layer
lah, harus ada primary flavour dan secondary flavour yang
kontras dan bergabung dalam kondisi tertentu lah, atau semacamnya. Mirip
seperti pecinta kopi. Ada yang suka minum espresso yang pahit dan nendang, ada
yang suka dolce latte yang creamy dan manis, ada juga yang suka tambahan flavour seperti kopi rasa rum atau dicampur baileys misalnya. Beda-beda.
Tapi ada juga yang seperti saya—lebih senang kopi sachetan yang sekali robek
bungkusnya, tinggal tuang air panas, aduk, dan minum.
Blunanarilla ini menurut saya lebih mendekati yang terakhir. Ia tidak
aneh-aneh, bukan tipikal liquid yang perlu dibedah rasanya dengan hati-hati dan
settingan tertentu, tapi ia bisa tetap enak dalam kondisi
apapun. Dulu, saya menggunakan liquid ini dengan Merlin Nano, sebuah RTA kecil
dan murah, tapi rasanya tetap enak dan tetap keluar dengan baik. Pernah juga saya
gunakan dengan Reload MTL RTA, dan rasanya juga enak. Sampai yang paling absurd
adalah STNG RDA MTL, sebuah RDA MTL yang bagi saya agak aneh—itu juga tetap
enak.
Saya betul-betul tidak punya komplain dengan liquid-liquid semacam ini.
Liquid-liquidnya IJC, Manhattan, Enigma, Mark Made, atau liquid-liquid lainnya.
Rata-rata, brand-brand yang sudah lama di dunia
persilatan ini sudah paham siapa konsumennya. Mereka bisa saja membuat
liquid-liquid ‘rumit’—malah mungkin setengah dari brand yang saya sebut itu pernah
membuat ‘edisi khusus’ yang rumit dan kompleks secara rasa—tapi mereka
menyadari bahwa vapers MTL itu rewel.
Saya bilang rewel karena saya begitu, dan kawan-kawan saya yang juga vapers
MTL juga demikian. Vapers MTL itu bisa sangat rewel tapi juga sangat
penyabar. Misalnya, bisa marah-marah kalau liquid yang dibeli ternyata rasanya
beda jauh ketika digunakan di kawat merk satu dan lainnya, atau rasanya jadi mute
dalam settingan tertentu. Tapi mereka juga
penyabar dalam urusan gulung-menggulung kawat atau menabung uang demi membeli atomizer
dan device yang harganya berkali lipat UMR Jakarta.
Pasar MTL ini menurut saya jauh lebih rumit karena isinya jauh lebih
heterogen dibanding vapers DTL. Dalam artian, Si A bisa memiliki peralatan
vaping seharga motor dan si B bisa jadi menggunakan device
dan atomizer yang keluar sepuluh tahun silam. Dalam kasus
DTL sebenarnya sama saja, tapi orang-orangnya tidak ‘segila’ vapers
MTL. Para vapers MTL ini sudah terlalu sibuk dalam mengejar
kesempurnaan dan kenyamanan dalam vaping, jadi urusan liquid ya jangan yang membuat
kepala lebih pusing lagi.
Hal ini pula yang agaknya membuat liquid-liquid MTL cenderung punya daya
tahan yang jauh lebih lama. Manhattan misalnya atau liquid-liquidnya Mark Made.
Berapa lama mereka ada di pasaran? Lebih dari tujuh atau delapan tahun
sepertinya. Mungkin sepuluh tahun, saya tidak tahu pasti. Tapi lihatlah, semua
orang mengantri untuk membeli produk-produk itu. Orang-orang masih setia dengan
rasa yang ‘itu-itu saja’, dengan resep yang ‘itu-itu saja’, dan kemungkinan
akan tetap seperti itu untuk tahun-tahun selanjutnya.
Kalau dilihat-lihat, vapers MTL ini adalah tipikal orang-orang yang akan
bilang “Persetan dengan matcha-cream-milk-durian-cheesecake-bourbon-rum-strawberry-oatmeal itu, kami cuma mau liquid
yang kami pakai sejak dua abad lampau!”
Dalam merespons pasar yang cenderung penuh loyalitas akan rasa dan brand,
IJC dalam hal ini bisa teguh berdiri dengan Rilla-nya. Sejak
bertahun-tahun lalu saya coba dengan sekarang tidak ada perubahan rasa, tidak
ada marketing aneh-aneh, tidak ada fusion
ala-ala Gen Z, dan yang paling penting : tidak mengecewakan pelanggan.
Dua jempol untuk Indonesia Juice Cartel.
Pada akhirnya, agaknya ini resep yang dibutuhkan dalam membuat liquid
MTL. Bukan soal kompleksitas rasa, bukan soal marketing jor-joran, bukan pula membuat
kontroversi. Tapi kuncinya ada di konsistensi dan rasa kepemilikan bersama.
Saya melihat bahwa Manhattan, IJC, Mark Made, dan brewery lain yang lekat di hati
penikmat MTL memiliki pendekatan yang sama akan produknya : ini adalah liquid
kita, dari kita, untuk kita bersama. Ketika pasar merepons sebuah produk dengan
baik, produsen mampu merawat pasar itu, bersama-sama melangkah dan menganggap
penikmat produknya bukan statistik profit semata, tapi orang-orang yang setia
berada di barisan yang sama selama bertahun-tahun.
Begitulah seharusnya kita hidup. Dari gorila satu ini kita belajar,
bahwa kadang yang dibutuhkan bukan menonjolkan diri, bukan berusaha tampil
beda, bukan berusaha menjadi orang lain, tapi yang dibutuhkan adalah
konsistensi dan loyalitas. Kesetiaan itu mahal harganya, dan menghargai
kebutuhan bersama itulah yang kian terkikis dari industri vaping
kita. Mutualisme berubah menjadi absolut kapitalisme, dan pelanggan
setia berubah jadi hanya sekadar angka—yang sebulan sekali dibahas di ruang
rapat sebagai persentase keuntungan, kerugian, dan ROI.
"Where there is loyalty, weapons are of no use."
— Paulo Coelho
Ciamis,
Mendung, 30 September 2025.
Komentar
Posting Komentar