Ngebul #11 : Nostalgia Gorila

 


Saya lupa kapan pertama kali saya melihat gorila. Mungkin ketika karyawisata di SMP, mungkin juga ketika SD saat jalan-jalan bersama keluarga. Tapi jika pertanyaannya kapan saya pertama kali melihat gorila di botol liquid, jawabannya masih bisa saya ingat : tujuh atau enam tahun yang lalu.

Blunanarilla dan Gorilla Jam adalah dua dari beberapa liquid favorit saya sejak pertama kali mencoba vaping. Di era itu, belum banyak liquid dengan rasa serupa di pasaran. Kalaupun ada, biasanya liquid-liquid luar negeri. Karena konon rasa ini pertama kali booming ya karena tren di Amerika sana.

Dua liquid ini pula yang mengenalkan saya pertama kali dengan dunia ‘rasa blueberry’. Karena kalau tak salah ingat, sejak mencoba Blunanarilla dan Gorilla Jam, saya langsung mencoba liquid-liquid lain dengan rasa serupa. Misalnya liquid Dua—yang pada akhirnya juga memenangkan hati dan lidah saya.

Hari ini, saya kembali mencoba Blunanarilla. Dulu saya senang m
enggunakannya untuk DTL—ketika masih zaman liquid ukuran botol 100ml—tapi kali ini saya coba versi MTLnya alias yang pods friendly. Akhirnya, kembali nostalgia dengan gorila.Ha

*

Mood menulis saya akhir-akhir ini kurang baik, dan tulisan juga sebetulnya tidak bagus-bagus amat. Jangankan bagus, panjang pun tidak. Tapi kalau kata almarhum Langit Kresna Hariadi, menulis itu selama kita sudah punya gagasan atau idenya, maka yang perlu kita lakukan selanjutnya hanyalah hanyut dan larut dalam proses penulisan. Tulisan ini akhirnya saya ketik. Kembali ke konsep awal bahwa segmen Ngebul di blog ini adalah refleksi dan arsip pribadi, saya memutuskan untuk menuliskan saja apa yang saya rasakan dan saya lakukan.

Kembali ke urusan gorila, saya sudah pernah menjelaskan dalam Ngebul edisi sebelum-sebelumnya bahwa liquid bergambar primata agaknya memang punya magisnya tersendiri. Bukan hanya Gorilla Jam atau Blunanarilla, tapi Monkyman-nya Monk Liquid juga cocok untuk saya. Jadi, kesempatan untuk kembali merasakan Blunanarilla ini tidak saya sia-siakan.

Dengan penuh rasa semangat, saya membuka liquid ini dan langsung menyiapkan alat tempur. Seperti biasa, untuk MTL saya selalu mengandalkan Gate RTA yang dipasang di iStick Pico Plus. Untuk urusan kawat dan kapas, sekarang saya menggunakan Phoenix Wire 28ga, 5 wrap di 0.98 ohm dan bermain di sekitar 3.7-3.9 volt, ditambah dengan kapas Bear Cotton.

Hisapan pertama, saya dilemparkan ke nostalgia bertahun-tahun lalu. Rasa gurih dari perpaduan creamy pisang yang diberi ‘wangi khas’ blueberry membuat saya benar-benar merasa ‘muda kembali’. Bagaimana tidak, terakhir saya mencoba liquid ini ya dulu ketika saya masih hobi nongkrong ke sana ke mari, dari ujung barat Jogja ke ujung timur, dari satu kafe ke kafe lain, dari satu kosan ke kosan lain.

Jika tak salah ingat, terakhir saya beli liquid ini di Jogja dulu ya di Jogja Vape Longue di Taman Siswa atau kalau tidak, di Vaperoom Giwangan, dekat terminal bis. Dua tempat itu favorit saya dengan keunggulannya masing-masing. Di JVL, dulu tokonya bersebelahan dengan penjual boba yang enak. Jadi kalau datang dan kepanasan, saya bisa mampir dulu beli boba. Di depannya, sering sekali pedagang cilok mangkal—enak juga ciloknya. Apalagi kalau malam-malam.

Di Vaperoom Giwangan lain cerita. Karena lokasinya memang lebih mlipir dari kota, ia cenderung lebih sepi dan tenang. Tidak ada cerita macet seperti di Taman Siswa. Kalaupun lalu lintas padat, itu biasanya terjadi di sore hari, ketika orang-orang yang bekerja di kota hendak pulang ke Bantul atau Gunungkidul. Paling senang saya datang ke sana sore-sore, jalannya lewat ke Pasar Legi Kotagede dan pulang dari Vaperoom mampir dulu ke pedagang nasi goreng di pertigaan pasar. Kalau mood sedang baik, di depan RS Muhammadiyah mampir lagi beli roti bakar.

Ah, satu liquid yang mengingatkan saya dengan masa-masa yang sudah terlewati. Agaknya kalau saya merasakan Enigma Apple Pie, mungkin saya juga akan merasakan nostalgia yang sama dengan gang-gang kecil di jalan Sosrowijayan. Ada semacam perasaan nostalgia ketika saya mencoba kembali liquid-liquid lama, dan fragmen-fragmen memori itu silih berganti kembali muncul.

Kalau liquid Runa dan Bananalicious, dua liquid itu mengingatkan saya akan Jakarta. Karena dua liquid itu yang menemani saya ketika berkunjung ke rumah Kakak di Jakarta Selatan. Malam-malam membeli ketoprak, misalnya, meskipun entah kenapa suasana Jabodetabek itu selalu membuat saya waswas. Tak peduli berapa kali saya pergi ke sana.

Kembali ke urusan liquid, karena tulisan ini lebih banyak ngalor-ngidulnya. Liquid ini punya karakeristik tebal di arah banana, kemudian seakan diberi topping blueberry. Hanya ada dua rasa, dan layering-nya juga sederhana, ia bisa berpadu dengan harmonis tanpa membedakan rasa ketika inhale dan exhale. Gaya semacam inilah yang sebetulnya lebih cocok bagi saya dalam liquid MTL. Tidak banyak layer yang malah membingungkan, dan lebih to the point soal rasa yang ingin disajikan.

Memang, di luar sana banyak vapers yang menuntut kesempurnaan. Harus ada pemisahan layer lah, harus ada primary flavour dan secondary flavour yang kontras dan bergabung dalam kondisi tertentu lah, atau semacamnya. Mirip seperti pecinta kopi. Ada yang suka minum espresso yang pahit dan nendang, ada yang suka dolce latte yang creamy dan manis, ada juga yang suka tambahan flavour seperti kopi rasa rum atau dicampur baileys misalnya. Beda-beda. Tapi ada juga yang seperti saya—lebih senang kopi sachetan yang sekali robek bungkusnya, tinggal tuang air panas, aduk, dan minum.

Blunanarilla ini menurut saya lebih mendekati yang terakhir. Ia tidak aneh-aneh, bukan tipikal liquid yang perlu dibedah rasanya dengan hati-hati dan settingan tertentu, tapi ia bisa tetap enak dalam kondisi apapun. Dulu, saya menggunakan liquid ini dengan Merlin Nano, sebuah RTA kecil dan murah, tapi rasanya tetap enak dan tetap keluar dengan baik. Pernah juga saya gunakan dengan Reload MTL RTA, dan rasanya juga enak. Sampai yang paling absurd adalah STNG RDA MTL, sebuah RDA MTL yang bagi saya agak aneh—itu juga tetap enak.

Saya betul-betul tidak punya komplain dengan liquid-liquid semacam ini. Liquid-liquidnya IJC, Manhattan, Enigma, Mark Made, atau liquid-liquid lainnya. Rata-rata, brand-brand yang sudah lama di dunia persilatan ini sudah paham siapa konsumennya. Mereka bisa saja membuat liquid-liquid ‘rumit’—malah mungkin setengah dari brand yang saya sebut itu pernah membuat ‘edisi khusus’ yang rumit dan kompleks secara rasa—tapi mereka menyadari bahwa vapers MTL itu rewel.

Saya bilang rewel karena saya begitu, dan kawan-kawan saya yang juga vapers MTL juga demikian. Vapers MTL itu bisa sangat rewel tapi juga sangat penyabar. Misalnya, bisa marah-marah kalau liquid yang dibeli ternyata rasanya beda jauh ketika digunakan di kawat merk satu dan lainnya, atau rasanya jadi mute dalam settingan tertentu. Tapi mereka juga penyabar dalam urusan gulung-menggulung kawat atau menabung uang demi membeli atomizer dan device yang harganya berkali lipat UMR Jakarta.

Pasar MTL ini menurut saya jauh lebih rumit karena isinya jauh lebih heterogen dibanding vapers DTL. Dalam artian, Si A bisa memiliki peralatan vaping seharga motor dan si B bisa jadi menggunakan device dan atomizer yang keluar sepuluh tahun silam. Dalam kasus DTL sebenarnya sama saja, tapi orang-orangnya tidak ‘segila’ vapers MTL. Para vapers MTL ini sudah terlalu sibuk dalam mengejar kesempurnaan dan kenyamanan dalam vaping, jadi urusan liquid ya jangan yang membuat kepala lebih pusing lagi.

Hal ini pula yang agaknya membuat liquid-liquid MTL cenderung punya daya tahan yang jauh lebih lama. Manhattan misalnya atau liquid-liquidnya Mark Made. Berapa lama mereka ada di pasaran? Lebih dari tujuh atau delapan tahun sepertinya. Mungkin sepuluh tahun, saya tidak tahu pasti. Tapi lihatlah, semua orang mengantri untuk membeli produk-produk itu. Orang-orang masih setia dengan rasa yang ‘itu-itu saja’, dengan resep yang ‘itu-itu saja’, dan kemungkinan akan tetap seperti itu untuk tahun-tahun selanjutnya.

Kalau dilihat-lihat, vapers MTL ini adalah tipikal orang-orang yang akan bilang “Persetan dengan matcha-cream-milk-durian-cheesecake-bourbon-rum-strawberry-oatmeal itu, kami cuma mau liquid yang kami pakai sejak dua abad lampau!”

Dalam merespons pasar yang cenderung penuh loyalitas akan rasa dan brand, IJC dalam hal ini bisa teguh berdiri dengan Rilla-nya. Sejak bertahun-tahun lalu saya coba dengan sekarang tidak ada perubahan rasa, tidak ada marketing aneh-aneh, tidak ada fusion ala-ala Gen Z, dan yang paling penting : tidak mengecewakan pelanggan. Dua jempol untuk Indonesia Juice Cartel.

Pada akhirnya, agaknya ini resep yang dibutuhkan dalam membuat liquid MTL. Bukan soal kompleksitas rasa, bukan soal marketing jor-joran, bukan pula membuat kontroversi. Tapi kuncinya ada di konsistensi dan rasa kepemilikan bersama. Saya melihat bahwa Manhattan, IJC, Mark Made, dan brewery lain yang lekat di hati penikmat MTL memiliki pendekatan yang sama akan produknya : ini adalah liquid kita, dari kita, untuk kita bersama. Ketika pasar merepons sebuah produk dengan baik, produsen mampu merawat pasar itu, bersama-sama melangkah dan menganggap penikmat produknya bukan statistik profit semata, tapi orang-orang yang setia berada di barisan yang sama selama bertahun-tahun.

Begitulah seharusnya kita hidup. Dari gorila satu ini kita belajar, bahwa kadang yang dibutuhkan bukan menonjolkan diri, bukan berusaha tampil beda, bukan berusaha menjadi orang lain, tapi yang dibutuhkan adalah konsistensi dan loyalitas. Kesetiaan itu mahal harganya, dan menghargai kebutuhan bersama itulah yang kian terkikis dari industri vaping kita. Mutualisme berubah menjadi absolut kapitalisme, dan pelanggan setia berubah jadi hanya sekadar angka—yang sebulan sekali dibahas di ruang rapat sebagai persentase keuntungan, kerugian, dan ROI.

 

"Where there is loyalty, weapons are of no use."

— Paulo Coelho

 

 

Ciamis,

Mendung, 30 September 2025.

Komentar

Postingan Populer