Ngebul #6 : Hisapan Darurat
Agak jarang memang
segmen Ngebul di blog ini diisi oleh postingan tentang rokok. Pertama karena
untuk kebutuhan sehari-hari biasanya saya ngevape, dan kedua karena harga rokok
melambung tinggi—yang pada akhirnya vape selain menawarkan asupan nikotin
maksimal juga menawarkan solusi minimal dalam urusan dompet. Saya juga bukan
bagian dari para elitis rokok atau vape yang saling berkelahi soal mana yang
lebih baik—sudahlah, Mas, mau rokok atau vape sama-sama jelek kok untuk
kesehatan, pun sama-sama diperas cukainya oleh pemerintah. Rasanya sia-sia
untuk membuat konflik horizontal sesama penikmat nikotin, malah buang-buang
tenaga. Lebih baik tenaganya difokuskan untuk hal lain.
Urusan rokok, sebetulnya
saya mulai di dunia hisap-menghisap memang dimulai dari rokok. Dulu sekali,
ketika harga Djarum Super masih setara dengan harga Marlboro Crafted sekarang.
Lupa yang pasti di harga berapa, tapi yang jelas tidak sampai lima belas ribu
per bungkus. Awal-awal, saya mencoba berbagai jenis rokok, dan seiring
berjalannya waktu berusaha mencari apa yang sebenarnya paling saya sukai.
Eksplorasi ini
mengantarkan saya mencoba berbagai jenis merk. Mulai dari Gudang Garam Filter
yang sempat jadi andalan selama beberapa tahun, kemudian berpindah ke Surya Pro
yang kecil-kecil itu, kemudian ketika dapat uang lumayan saya beli Gudang Garam
Surya Exclusive kemasan hitam. Banyak sekali merk yang nyantol dan cocok untuk
saya, tapi selama perjalanan itu pula, semuanya bermuara pada rokok putihan.
Paling lama, saya
merokok putihan. Apapun itu merknya. Bahkan ada periode dimana saya sengaja
melinting sendiri rokok dengan tembakau Virginia Lombok—yang konon kata
orang-orang ‘keras di tenggorokan’. Bagi saya, sensasi throat hit maksimal
itu luar biasa nikmat dibandingkan rokok-rokok berperisa cengkeh atau rempah. Ibarat
minum alkohol, saya lebih suka ‘murnian’ dalam rokok.
Di antara berbagai
jenis tembakau yang sempat saya coba—dari Temanggung, Cirebon, Aceh, NTT,
Sulawesi—saya merasa bahwa sensasi throat hit yang luar biasa itu bisa
didapatkan dari dua tembakau. Pertama adalah tembakau Virginia dari petani Lombok,
dan kedua adalah tembakau Gayo dari Aceh. Untuk yang kedua ini agak
mencurigakan memang warnanya karena tidak seperti tembakau lain, ia berwarna
hijau. Proses pengolahannya mungkin berbeda. Tapi saya yakin betul itu tembakau
biasa, bukan barang ‘organik’ yang lain. Juara nomor satu tetap Virginia, sementara
Gayo sekalipun throat hitnya lumayan, ia agak ‘bau sayur’ dan hentakan
di tenggorokan lumayan rendah dibandingkan Virginia.
Balik ke urusan rokok, pengalaman bertahun-tahun melakukan eksplorasi ini
akhirnya membuat saya betah di rokok putihan. Dulu sempat ada rokok Dunhill
putihan isi 20 batang—harganya 28 ribu atau 30 ribu waktu itu—yang tidak lama
kemudian menghilang, itu juga saya suka. Kalau tidak mau repot, ya beli saja
Marlboro merah atau gold, itu sudah paling aman karena biasanya dimana-mana
ada. Harganya saja yang kadang di luar nalar.
Kalau kebetulan warung sembakonya agak unik dan non-konservatif, biasanya mereka juga menjual Lucky Strike dan Camel kuning. Nah, dua ini juga favorit. Terutama yang kedua. Rokok unta ini paling saya suka karena dengan harga lebih rendah dari Marlboro, sensasi throat hitnya sebelas-dua belas. Tapi itu dulu, karena sekarang saya sudah memutuskan menggunakan vape sebagai pengantar kebutuhan nikotin harian.
Tapi kadang-kadang, jika misal liquid lama diantar oleh petugas paket dan
saya bosan menunggu, daripada marah-marah lebih baik saya pergi ke warung dan
membeli satu atau dua bungkus rokok putihan. Favorit saya selama di kampung
adalah Marlboro Crafted warna biru, ini lumayan bisa menambal ‘sakau’ karena
kehabisan nikotin. Plus, di warung-warung biasanya disediakan juga—tidak
seperti rokok-rokok ‘mahal’ yang hanya ada di minimarket.
Sejak pulang dari Jogja, ada banyak sekali opsi rokok yang berkurang.
Lucky Strike atau Camel misalnya, warung mana di kampung saya yang menyediakan?
Pertama harganya mahal untuk daya beli masyarakat yang tidak terlampau bagus,
kedua—ini yang paling penting—orang-orang merasa rokok putihan itu ‘aneh’.
Bapak saya misalnya, sehari-hari menggunakan rokok kretek, ketika suatu
ketika saya beri rokok putih karena darurat, ia batuk-batuk dan bilang bahwa
tenggorokannya seperti ditonjok. Padahal bagi saya, rokok Bapak itu yang justru
mengerikan—rokok-rokok kretek yang membuat dada sesak dan tenggorokan saya
berlendir. Nah, ini adalah selera dan kebiasaan. Seperti kata orang, rokok itu
urusannya preferensi, bukan lagi murah-mahal atau enak-tidak enak. Tidak ada
ukuran absolut bahwa sebungkus rokok bisa dinikmati semua orang.
—
Kembali ke urusan darurat hisapan dan Marlboro Crafted. Hari ini, saya
masih menunggu paket liquid MTL saya datang. Ekspedisi yang mengantar terkenal
lambat, jadi saya harus bersabar setidaknya sampai akhir pekan. Daripada
bingung dan lesu karena tidak ada yang bisa dihisap, saya membeli dua bungkus
Marlboro Crafted.
Untuk menambal hari-hari dimana liquid saya kosong, saya selalu
mengandalkan Marlboro Crafted. Rasanya paten, throat hitnya tidak cemen.
Mirip-mirip throat hit Manhattan atau liquid Mark Made 12mg kalau dalam
dunia per-liquidan MTL. Tapi sisi negatifnya, kalau merokok saya cenderung
boros. Sebungkus belum tentu bertahan lama, terutama jika ada pekerjaan yang
menuntut konsentrasi lebih.
Karena saya bukan pengamat dan penikmat rokok betul-betul, bagian review
rasa seperti liquid tidak perlu saya tulis di sini. Agaknya di Google lebih
banyak yang punya kompetensi dalam mengulas rasa Marlboro Crafted ini. Untuk
tulisan ini, biarlah hanya curhat biasa dan bicara pengalaman.
Kalau dalam sisi desain, nah ini baru saya bisa ulas dan suka. Gaya
desain bungkusnya luar biasa minimalis dan premium, terutama per batang dikemas
dengan rapi dan unik. Mirip-mirip dengan Magnum Kretek yang sering dibeli kawan
dekat saya, hanya saja beda dalam urusan desain sedikit. Kalau Magnum Kretek
ibarat Kali Linux, Marlboro Crafted ini lebih mirip Arch Linux dengan XFCE.
Tampak minimalis dan timeless.
Urusan aroma tidak perlu ditanya lagi, kawan saya selalu bilang semua
rokok putih aromanya sama : bau kertas dibakar. Saya terkekeh dengan pandangan
itu, karena ada benarnya. Semua rokok putih memang baunya begitu—tidak ada
aroma wangi sedap khas kretek, dan baunya cenderung menyebalkan bagi yang tidak
biasa. Termasuk ibu saya, ia selalu marah-marah dan membuka jendela. Bau kebakaran
katanya.
Dengan harga yang relatif murah dan sensasi rasa putihan yang cukup jarang
dalam bentuk SPT, saya rasa Marlboro Crafted ini akan selalu jadi andalan
ketika darurat. Cocok untuk tenggorokan, dan cocok di dompet. Hanya saja,
karena lama tidak merokok secara aktif, kadang kalau kebanyakan sesak juga di
dada dan napas terasa lebih pendek. Duh!
Untuk sekarang, agaknya saya harus menikmati Marlboro Crafted ini dengan
lebih santai, karena sepertinya paket liquid tak kunjung datang. Semoga saja
sampai lebih cepat, agar saya bisa kembali mengotak-atik Gate RTA yang lumayan
nganggur selama dua minggu belakangan ini.
Ciamis,
4 September 2025.




Komentar
Posting Komentar