Ngebul #8 : Primata dan Legenda
Kembali ke masa
lalu, di era dimana vape dan produk turunannya tidak diatur seketat sekarang,
saya bisa mengingat bahwa di era itu masih sering ditemui liquid-liquid luar
negeri seperti Blueberry Jam-nya Monster Vape Labs dari Amerika Serikat. Di era
itu juga, lahir produk-produk Indonesia yang terinspirasi bahkan
digadang-gadang sebagai ‘pesaing berat Monster Vape Labs’ secara ‘kualitas
maupun harga’. Ada beberapa liquid yang dikatakan demikian, dua diantaranya
yang bisa saya ingat adalah liquid Dua dan Gorilla Jam.
Dua liquid itu
bisa saya ingat jelas karena pertama kali saya benar-benar menyukai liquid
adalah rasa blueberry dan rasa pisang. Urusan harga tidak perlu ditanya, karena
di zaman itu liquid tidak diatur batas maksimalnya, jadi cukup umum kita
membeli liquid ukuran 100ml—tidak seperti sekarang yang maksimal di 60ml (itu
pun konon mau disunat lagi oleh peraturan baru jadi 20ml atau semacamnya).
Sedikit nostalgia
sebelum sampai ke intinya, saya ingin sedikit mengingat masa-masa saya
menggunakan Dead rabbit V1 rainbow—yang kala itu dipasangkan dengan Smoant
Naboo rainbow—dengan beberapa liquid favorit. Pertama, liquid favorit saya
adalah Dua Blueberry Butter Toast hasil karya Indo Brew—ini liquid yang penuh
cita rasa menarik. Bisa dibilang bahwa Dua Blueberry Butter Toast adalah satu
di antara sedikit pintu gerbang saya memahami apa itu creamy, apa itu
liquid fruity, dan apa saja yang berada di antara keduanya—atau yang
tidak bisa dikategorikan secara langsung pada keduanya.
Kedua, masih dalam
urusan blueberry, saya juga suka Gorilla Jam : Blueberry Jam karya Indonesia
Juice Cartel. Boleh dibilang bahwa antara dua liquid ini perbedaannya tipis,
tapi tipisnya perbedaan itu justru membuat lidah saya terbiasa dengan perubahan
meski sedikit. Untuk saya, Gorilla Jam terasa sedikit lebih asam segar
sementara Dua rasanya lebih manis dengan hint gurih.
Ketiga, liquid
favorit saya adalah Bananalicious hasil karya Emkay Brewery—meski akhirnya saya
menyukai juga Bule Bolu yang pulen, tapi Bananalicious alias Banci tetap di
hati. Terakhir saya menggunakan Bananalicious adalah beberapa tahun lalu,
ketika Emkay memutuskan merilis versi high nic dengan nikotin 12mg untuk
saya gunakan MTL. Ini adalah liquid pisang pertama yang membuat saya jatuh
cinta.
Keempat, ini yang
terakhir daripada tulisan ini terlalu panjang oleh nostalgia, adalah Exo Mango.
Liquid karya Monk Liquid satu ini benar-benar menghadirkan rasa mangga yang
pulen, tajam, tapi juga punya karakteristiknya sendiri. Untuk saya saat itu,
Exo Mango adalah favorit ketika membutuhkan liquid segar, posisinya sebelas-dua
belas dengan Slow Blow—nah kalau Slow Blow entah ke mana sekarang.
—
Hari ini, saya
mengerling ke arah tempat penyimpanan liquid. Ada satu liquid dengan label nama
yang mengingatkan saya dengan masa lalu, tapi maskotnya juga mengingatkan saya
dengan masa lalu. Liquid itu adalah Monkyman Egg Roll Blueberry Cheese. Kalau
dilihat dari labelnya, liquid ini diproduksi oleh PT. Monk Kreasi
Indonesia—yang kalau dipikir-pikir, adalah Monk Liquid!
Ya, produsen vape
legendaris ini masih bertahan sampai sekarang, meski kalau dilihat mungkin
lumayan bersusah payah mengikuti pergerakan pasar. Setidaknya, saya bisa
kembali merasakan racikan mereka yang penuh nostalgia, penuh rasa, dan tentu
saja throat hit yang di atas rata-rata. Tidak bohong, Exo Mango yang
dulu jadi favorit saya itu saya sukai karena nikotinnya terasa berbeda di
tenggorokan—lebih garang, dan lebih sangar.
Jadi, liquid
Monkyman ini datang dengan kotak bergambar primata—saya tidak tahu pasti
jenisnya apa, yang jelas mungkin masih berbagi sekian puluh persen DNA dengan homo
sapiens. Gambar primata ini juga bisa ditemukan di labelnya, yang ditempel
di botol bening 60ml. Secara desain menurut saya agak kurang menarik, masih
lebih bagus Exo, tapi sudahlah mungkin preferensi tiap orang berbeda.
Urusan desain,
agak jadul secara tampilan. Entah disengaja agar pengguna merasa nostalgia
dengan kemasan liquid-liquid lama, entah tidak diniatkan demikian. Beberapa
yang perlu saya soroti sebagai seseorang yang bergelut di dunia visual adalah
pemilihan font, pemilihan warna dan layoutnya. Tulisan ‘Monkyman’ di depan
dibuat gradasi dari warna oranye-merah muda-biru tua-biru muda, yang absurd
karena latarnya berwarna biru. Jenis font yang digunakan juga terlalu banyak
dan cenderung inkonsisten di bagian komposisi, subtitle, sampai
penjelasan nikotin dan PG:VG. Ini juga menarik karena bagian PG:VG dan kadar
nikotin dibuat tampak seperti capaian kompetensi seorang fresh graduate dalam
CV ATS agar gampang diterima HRD.
Akan panjang jika
saya malah bedah desain, jadi kita lanjut ke bagian berikutnya : apakah Monk
yang kita kenal bertahun-tahun lalu itu bisa kembali layaknya legenda?
—
Saya punya dua
liquid ini, satu varian 3mg dan satu lagi adalah 7mg. Karena saya paling enak pakai
liquid di single coil, akhirnya saya putuskan membuka yang 7mg lebih
dulu. Toh yang versi 3mg juga sama saja, hanya beda sedikit nikotinnya.
Pengetesan rasa
ini dimulai dengan menggunakan Tauren Solo RDA, sebuah RDA single coil andalan
saya. Untuk wire, saya pakai round wire berupa Kanthal A1 kurang
lebih empat atau lima wrap dengan hasil 0.26 Ohm. Kemudian saya gunakan
di 50 watt—sekitar 3.6 volt.
Liquid ini bisa
dikatakan mengingatkan saya dengan Dua Blueberry Butter Toast, tapi ada hint
rasa yang berbeda. Saat inhale, yang masuk ke mulut dan pecah adalah
rasa selai blueberry yang asam-manis ditambah sedikit rasa gurih creamy.
Saat exhale, yang bisa dirasakan adalah gabungan dari semua itu—semacam
menjadi lebih solid, lebih ngena, dan lebih harmonis.
Jika di labelnya
tertulis bahwa ini adalah rasa ‘egg roll blueberry cheese’, maka yang paling
dominan adalah blueberrynya. Untuk rasa egg roll dan keju tidak
benar-benar saya dapatkan dengan sempurna. Entah karena settingan yang
kurang mendukung, tapi rasa creamy saat exhale cenderung hanya
rasa adonan pada umumnya. Bagi saya ini cenderung memiliki rasa seperti Nissin
Wallens Blueberry Soes.
Rasa kejunya yang justru jadi pertanyaan karena saya
tidak bisa merasakannya—entah jika itu sudah bercampur dan membuat lidah saya
kebingungan. Tapi secara rasa, saya suka jenis blueberry yang digunakan, karena
tidak terlalu manis, tidak terlalu terasa seperti ‘selai blueberry pada umumnya’,
karena memberikan rasa segar juga. Campuran rasanya juga enak, meskipun bagi
saya ini bukanlah ‘egg roll blueberry cheese’, tapi lebih ke kue sus dengan filling
blueberry.
Bagi saya, egg roll dan cheese itu
karakteristiknya harus sama kuatnya dengan blueberry yang disajikan—atau
setidaknya mendekati. Sementara di liquid ini, si rasa pastry yang
dihadirkan seolah hanya menjadi cangkang tipis saja untuk rasa blueberry yang
jadi bintang utama. Ketika exhale, campuran rasa adonannya terasa lebih
seperti mentega dibanding keju—kalaupun mau dikatakan demikian.
Untuk throat hit yang dihadirkan memang lumayan
garang, ia terasa seperti ‘7mg asli’, saking seringnya saya mendapati liquid
6mg atau 7mg yang masih ‘soft’. Bagian nikotinnya ini tidak mengecewakan,
memang khas dari Monk.
Secara keseluruhan, ini liquid yang betul-betul enak,
dan secara subjektif, saya memang menyukai blueberry dalam liquid. Menurut
saya, poin terbesar yang menjadikan liquid ini efektif secara rasa adalah
bagaimana blueberrynya disajikan. Ia tidak disajikan sebagai ‘blueberry yang
diproses berulang kali sampai tersisa manisnya saja’, tapi lebih ke selai
blueberry segar yang masih mempertahankan sensasi buahnya.
Untuk daily, liquid ini jelas bisa diandalkan.
Terutama karena rasa manisnya yang tidak berlebihan, segar, dan masih punya
elemen ‘pastry’ yang ringan. Entah karena yang saya coba varian 7mgnya,
yang jelas liquid ini adalah representasi dari ‘liquid yang manisnya pas’
menurut selera saya.
Tentu saja bukan liquid yang buruk dan ini masuk ke
dalam list liquid yang akan saya beli lagi jika ada kesempatan. Semoga saja
tidak jadi ‘liquid musiman’ yang hanya diproduksi sekali kemudian hilang. Kerja
bagus untuk Monk sebagai peracik liquid ini, meski saya masih bete dengan
desain kemasannya yang absurd. Rasanya tidak mengecewakan dan layak dicoba.
Sepertinya ujaran ‘don’t judge a book by its cover’ memang harus kita
pegang erat-erat.
Ciamis, 11 September 2025.
.png)





Komentar
Posting Komentar