Analisis dan Pembahasan Puisi Dalam Doaku karya Sapardi Djoko Damono

Dalam Doaku
Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak
memejamkan mata yang meluas bening siap menerima
cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan
menerima suara-suara
Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku
kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa,
yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil
kepada angin yang mendesau entah dari mana
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang
mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap
di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu,
yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan
mangga itu
Magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat
pelahan dari nun di sana, yang bersijingkat di jalan kecil
itu menyusup di celah-celah jendela dan pintu dan
menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi
dan bulu-bulu mataku
(Sapardi Djoko Damono)

Ilustrasi



Puisi karya Sapardi ini menggambarkan pergantian waktu dari terbitnya fajar (subuh) hingga senja hari (magrib). Puisi ini menggambarkan seorang pemeluk agama Islam yang beribadah di subuh hari, siang hari, petang hari, dan senja hari. Kata yang digunakan untuk mewakili istilah beribadah adalah dalam doaku. Dan Sapardi memang benar-benar pintar dalam meilih kata-kata hingga puisi ini bersifat universal, bisa dibaca oleh siapa pun dengan latar agama selain Islam. Namun bagi pembaca yang beragama Islam tentu saja langsung akan tertuju dengan istilah sholat, yang juga adalah ritual berdoa kepada Allah dengan waktu yang telah ditentukan pelaksanaannya. Dalam agama Islam istilah beribadah itu adalah sholat: sholat subuh, dzuhur, ashar, magrib, dan isya’.
Pada bait pertama adalah penggambaran suasana subuh. Dimana si aku khusyuk berdoa di tengah suasana subuh yang masih hening, sepi, dengan langit yang bersih, membentang luas, dan siap menerima sinar matahari pertama kali. Si aku begitu takjub akan kebesaran Sang Pencipta dan Yang Maha Memiliki langit di waktu subuh.
Dalam bait kedua menggambarkan waktu siang hari, waktu dzuhur: Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,…. Si aku merasakan Sang Khalik begitu dekat dengannya, seakan-akan Ia menjelma pucuk-pucuk cemara yang selalu hijau. Angin yang mendesau memberikan kesejukan di tengah hari yang biasanya begitu panas, namun dengan adanya pucuk-pucuk cemara yang hijau seakan-akan semuanya menjadi segar dan sejuk.

Pada bait berikutnya adalah gambaran suasana sore hari yang sedang gerimis. Angin yang mendesau di siang hari ternyata menandakan suasana yang hendak hujan. Si aku kembali berdoa di sore hari dan melihat ada seekor burung gereja yang hinggap di ranting pohon jambu. Burung gereja itu kehujanan di tengah gerimis dan tampak gelisah lalu hinggap di dahan mangga. Burung gereja diibaratkan hidayah dari Allah oleh si aku. Ia hinggap dimana pun ia mau, begitu juga dengan hidayah akan turun kepada manusia yang berusaha dan Allah menghendakinya.
Kemudian pada bait terakhir adalah suasana di senja hari, waktu magrib, dan si aku kembali berdoa. Si aku merasa Sang Khalik begitu dekat dengannya dengan menjelma menjadi angin yang turun sangat perlahan, yang bersijingkat dan menyusup di celah-celah jendela dan pintu yang kemudian menyentuh dahi dan bulu mata serta rambut si aku. Kita membayangkan mungkin saja si aku sedang bersujud. Suasana yang hening dan damai membuat si kau dapat merasakan perjalanan angin menuju ke arahnya. Angin yang merupakan berkah dari Allah.
Puisi Sapardi ini mengingatkan kita akan pentingnya waktu. Waktu yang tidak kita gunakan sebaik-baiknya untuk kegiatan yang berguna atau beribadah kepada-Nya akan menjadi sia-sia dan tidak menghasilkan apapun. Kita akan menjadi orang yang merugi. Masalah waktu memang sangat penting dalam agama Islam, waktu adalah pedang, jika kita tidak pandai menggunakannya maka waktu itu akan melukai kita. Dalam Islam waktu beribadah yang wajib sudah ditentukan yaitu sholat. Di luar itu umat Islam bisa menggunakannya untuk ibadah yang lain dan amalan sholeh lainnya. Seperti yang tercantum dalam Al-Quran surat Al-‘Asr:1-3.
“Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”
Yang dimaksud orang-orang beriman dalam agama Islam diantaranya adalah orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya, seperti yang termaktub dalam Q. S. Al-Mu’minun:1-6.
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam sholatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan orang yang menuanikan zakat, dan orang yang memelihara kemaluaannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki , maka sesungguhnya mereka tidak tercela.”
Begitu dalam makna puisi karya Sapardi, sebuah pencapaian seorang hamba yang tekun beribadah kepada Sang Khalik menemukan kedamaian dan kekhusyukan.
Bila kita analisis unsur-unsur intrinsiknya satu persatu maka akan kita temukan permainan bunyi yang memakau pembaca. Coba perhatikan larik demi larik puisi tersebut, pasti terdapat permainan bunyi yang menarik. Dalam bait pertama misalnya dapat kita temukan paduan vokal a dan u.
Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak
memejamkan mata yang meluas bening siap menerima
cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan
menerima suara-suara
Paduan vokal a dan u ini menimbulkan suasana yang gembira namun tetap khusyuk. Begitu juga yang terdapat pada bait kedua, adanya paduan vokal a dan u
Irama yang ada dalam puisi ini juga menarik karena adanya perulangan bunyi yang berturut-turut dan bervariasi, diantaranya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Seperti yang disebutkan di atas bahwa puisi ini didominasi asonansi a dan u. Aliterasi yang ada dalam puisi ini tampak jelas pada bait kedua dan ketiga.
Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku
kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa, 
yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil
kepada angin yang mendesau entah dari mana
Aliterasi /ng/ dan /n/ tampak jelas dalam bait puisi di atas. Dengan adanya aliterasi ini menimbulkan irama yang benar-benar membuat pembaca tidak bosan untuk terus melanjutkan membaca puisi ini. Sedangkan sajak yang paling banyak ada dalam puisi ini adalah sajak mutlak. Rima identik juga menghiasi puisi ini, yaitu antara bait pertama dan ketiga.
Majas metafora banyak digunakan dalam puisi ini. Menjelma langit, menjelma pucuk-pucuk cemara, menjelma seekor burung gereja, dan menjelma angin. Majas personifikasi juga ada dalam puisi ini.
…kau menjelma langit yang semalaman tak
memejamkan mata yang meluas bening siap menerima 
cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan
menerima suara-suara
Dalam bait kedua, ketiga, dan keempat pun terdapat majas personifikasi.
Pilihan kata yang digunakan oleh Sapardi adalah kata-kata yang sudah kita kenal. Sangat sederhana memang dalam pilihan kata yang dipakai tapi dengan diksi yang sederhana mampu menciptakan suasana yang bersahaja dan mampu membuat pembaca hanyut ke dalam puisi ini. Penggambaran waktu subuh yang damai dengan menggunakan kata langit yang semalaman yang tak memejamkan mata yang meluas bening….. Begitu juga dengan penggambaran waktu siang hari: matahari yang mengambang tenang di atas kepala….
Gaya bahasa Sapardi banyak repetisi sehingga tampak memperjelas maksud yang ingin disampaikannya. Dalam satu bait banyak terulang kata-kata yang sama namun dengan hal tersebut mampu menggambarkan suatu keadaan kepada pembaca.
Magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat
pelahan dari nun di sana, yang bersijingkat di jalan kecil
itu menyusup di celah-celah jendela dan pintu dan
menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi
dan bulu-bulu mataku
Bentuk tipografi puisi yang dipakai oleh Sapardi pun turut menyumbang dukungan terhadap kesatuan puisi ini. Setiap penggambaran waktu yang berbeda, ditulis dalam bait baru sedangkan baris di bawahnya ditulis menjorok (menggantung) ke dalam seolah-olah memberi penekanan pada awal bait di baris pertama begitu istimewa.

Pengimajian juga begitu kuat dalam puisi ini. Pembaca seakan-akan merasakan apa yang dirasakan oleh si aku dalam doanya. Citraan perasaanlah yang mendominasi dalam puisi ini dan hampir tiap bait terdapat citraan ini. Citraan perabaan terdapat pada bait keempat: menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi dan bulu-bulu mataku. Citraan penglihatan tampak pada bait pertama, kedua, dan ketiga.

Dari :

Tags:
Analisis puisi Dalam Doaku, Unsur Intrinsik Puisi Dalam Doaku, Makna Puisi Dalam Doaku, Makna terkandung dalam sajak Dalam Doaku karya Sapardi Djoko Damono, pencitraan dalam puisi Dalam Doaku

Komentar

  1. Bagus kak ... Semoga memambah wawasan. Ilmu menulis sy

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga Bung Faisol bisa mendapatkan yah~ sedikit ilmu dari post ini, saya cuma berbagi, agar orang-orang nggak perlu bolak balik ke perpustakaan :D

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Jagat Alit - Godi Suwarna

Seseorang yang Mati Tadi Pagi - Agus Noor