Seseorang yang Mati Tadi Pagi - Agus Noor
Hai pembaca, kali ini saya mau membagikan cerpen karya Agus Noor yang juga memenangkan Anugerah Sastra Pena Kencana Tahun 2008 (20 Cerpen Terbaik)
Selamat membaca!
--
Seseorang yang Mati Tadi Pagi
Agus Noor
1.
SEBAGAIMANA sudah ia yakini sejak lama, ia
akan mati hari ini, tepat pukul sembilan pagi. Ia
ingin segalanya berlangsung tenang dan nyaman.
Ia ingin menikmati detik-detik kematiannya
dengan karib. Maka ia pun mandi, merasakan air
yang meresap lembut dalam pori-porinya dengan
kesegaran yang berbeda dari biasanya. Kulitnya
terasa lebih peka. Ia bisa merasakan gesekan yang
sangat lembut pelan, ketika sebutir air bergulir di
ujung hidungnya. Bahkan ia bisa merasakan dingin
yang menggeletarkan bulu-bulu matanya. Betapa
waktu yang berdenyut lembut membuat
perasaannya terhanyut. Dan ia memejam, mencoba
merasakan segala suara dan keretap cahaya yang
masuk lewat celah ventilasi kamar mandi.
Ia merasa bersyukur, betapa ia telah lama
mengetahui kematiannnya sendiri, hingga bisa
mempersiapkan segalanya tanpa tergesa-gesa. Ia
memotong kuku, mencukur cambang, dan
merapikan kumisnya yang tipis. Ia ingat, teman-
temannya selalu bilang kalau ia terlihat lebih
ganteng bila berkumis tipis. Ia tersnyum. Ia ingin
tampak ganteng saat mati pagi ini. Ia menyisir
rambuhnya belah tengah, mengoleskan minyak
rambut hingga tampak klimis, mengenakan
pakaian terbaik miliknya, kemeja motif batik, dan
tentu ia tak lupa menyemprotkan minyak wangi.
Sedikit di bawah ketiak, di leher, di lengan dan
menggosoknya pelan. Ia tak ingin wangi yang
berlebihan.
Ini akan jadi kematian yang menyenangkan,
batinnya. Sungguh ia merasa beruntung karena
bisa menikmati kematian seperti ini. Ia tak perlu
susah-susah beli racun, lalu menenggaknya.
Alangkah menyedihkan mati seperti itu. Ia juga tak
perlu repot-repot menyiapkan tali, dan
menggantung diri. Mati dengan cara seperti itu
selalu menimbulkan kerumitan tersendiri. Ia pun
tak perlu menabrakkan diri ke laju kereta api.
Betapa tidak sedapnya mati dengan tubuh remuk
terburai seperti itu: merepotkan dan menjijikkan.
Orang-orang mesti memunguti tetelan tubuhnya
yang berserakan di tanah dan lengket di bantalan
rel kereta. Sungguh beruntung ia tak harus mati
dengan cara-cara mengenaskan seperti itu. Ia tak
perlu mati menderita lantaran usia tua atau
penyakit menahun yang menggerogoti tubuhnya. Ia
merasa segar – bahkan jauh merasa lebih segar
dari hari-hari biasanya – hingga ia tak perlu
merasa cemas kalau-kalau kematian akan
membuatnya merasa kesakitan.
Tinggal berbaring tenang di ranjang, dan
membiarkan maut bersijengkat mendekatinya
perlahan.
Ia merasakan waktu yang beringsut
berdenyut, dan cahaya mengusapnya lembut.
Lihatlah, cahaya matahari seperti susu segar yang
ditumpahkan ke lantai, terasa kental. Cahaya yang
terlihat begitu jernih dan bening membuat semua
benda lebih memancarkan warnanya. Permukaan
meja kayu yang sudah ia bersihkan makin terlihat
kecoklatan dan begitu detail alur serat kayunya.
Barut tipis bekas paku pada cermin, nampak jelas.
Sepasang sandal kulit di pojok terlihat bersih,
warnanya yang coklat tampak lebih cerah. Detak
jam begitu lembut. Kamarnya jadi terasa hangat
dan menenangkan.
Lewat jendela yang ia biarkan terbuka, ia
bisa merasakan senyum bunga-bunga. Ia bisa
mendengar suara lembut gesekan kelopak-kelopak
bunga yang perlahan-lahan rekah. Ia mencium
harum kambium meruap di udara yang ranum.
Harum yang sebelumnya tak pernah ia cium. Juga
bau aroma bawang goreng yang samar-samar
mengambang di udara yang bergeletaran pelan,
membuat setiap aroma jadi terasa begitu kental
dalam penciumannya. Ia dengar suara sayap kupu-
kupu yang terbang melintasi pagar. Beginikah
rasanya saat kematian makin mendekat? Segala
terasa melambat. Segala terasa lebih pekat dan
hangat. Seperti ada yang memeluknya.
Menyelimutinya dengan kesunyian. Seperti ada
yang ingin membisikkan penghiburan di dekat
telinganya. Dan ia merasakan ada yang perlahan
mendekat, seakan mengingatkan agar ia berkemas,
meski tak perlu bergegas. Biarkan segalanya
berjalan sebagaimana yang direncanakan. Ia akan
mati dengan nyaman, tenang dan membahagiakan.
Sungguh, bila saat-saat menjelang kematian ini
merupakan saat-saat yang paling syahdu dalam
hidupnya, ia ingin menghayati dan merasakan
kesyahduan itu dengan sempurna. Mati, barangkali
memang tak lebih melankoli, seperti puisi pucat
pasi. Tapi ia ingin menghayati. Bukan untuk
kenangan yang akan dibikinnya abadi, tapi sekadar
ingin mengerti bagaimana rasanya mati.
Ketika ia merasakan segalanya makin
mendekat, ia pun segera menemui tukang kebun
itu. Seperti yang telah lama ia rencanakan, ia pun
pamit untuk penghabisan kali pada tukang kebun
yang sudah menunggunya dengan sabar.
“Ini sekadar biaya buat pemakaman. Maaf,
bila saya merepotkan…”
Kemudian ia berbaring tenang, hingga detik
terakhir kematiannya datang.
2.
TEPAT pukul sembilan pagi, laki-laki itu
pun mati. Alangkah menyenangkan bisa mati
dengan lembut seperti itu, batin tukang kebun
sembari memandangi jenazah yang terbaring
tenang. Rasanya baru kali ini ia melihat wajah
jenazah yang begitu bahagia. Bahkan dalam mati
pun laki-laki itu tampak santun dan
menyenangkan.
Lalu tukang kebun itu teringat pada saat
laki-laki itu datang hendak mengontrak kamar di
rumah yang dijaganya. Laki-laki itu mengatakan,
ia akan tinggal di sini untuk menanti kematian. Di
sebutnya hari dan jam kapan ia akan mati. Tentu
saja, ia – pada saat itu – menganggap laki-laki itu
hanya bercanda. Usianya masih muda dan terlihat
segar. Kematian memang tak bisa di duga, tetapi
tukang kebun itu yakin laki-laki itu masih akan
hidup lama. Tidak, katanya, saya akan mati. Dan,
sekali lagi, disebutnya hari dan jam kapan
persisnya ia akan mati.
Laki-laki tampan yang kesepian, tukang
kebun itu membatin, sambil menatap wajah
tenang laki-laki itu. Mungkin dia hendak bunuh
diri. Entah kenapa, tukang kebun itu tiba-tiba saja
merasa kasihan. Semuda dan sebagus itu, tapi
sudah putus asa dan memilih mati. Karena itulah,
dengan halus dan sopan tukang kebun, yang
dipercaya pemilik rumah untuk menjaga kamar-
kamar kontrakan itu, menolak menerima laki-laki
itu. Di sini bukan tempat yang pantas untuk mati,
Nak. Kalau kau ingin bunuh diri, carilah tempat
lain. Mati di kamar hotel yang sejuk pasti jauh
lebih menyenangkan. Kamu bisa memilih tempat
yang paling pantas buat kematianmu. Asal jangan
di kontrakan ini.
Tidak, Pak. Saya tak hendak bunuh diri.
Sungguh. Saya memang mau mati, tetapi tak
hendak bunuh diri. Sudah lama saya tahu, saya
akan mati di tempat ini. Di kamar kontrakan yang
sederhana dan tenang. Ini kematian yang telah
saya pilih. Izinkan saya menentukan kematian saya
sendiri, Pak. Karna itulah satu-satunya
kebahagiaan yang saya miliki dalam hidup.
Bukankah tak ada yang lebih menyenangkan selain
kita tahu kapan di mana dan bagaimana kita mati?
Kita bisa mempersiapkan segalanya sendiri. Kita
bisa menantinya dengan tenang. Menyambutnya
dengan cara yang paling karib. Dan saya ingin
mati dengan tenang di sini, Pak.
Bila itu lelucon, pastilah itu lelucon yang
paling tak lucu. Tapi laki-laki itu tampak tak
sedang berkelakar. Matanya yang teduh membuat
tukang kebun itu terpesona dan mempercayai kata-
katanya. Sepanjang ia menjaga rumah kontrakan
ini, ia sudah bertemu banyak orang yang terlihat
aneh, tertutup bahkan misterius, yang datang
mengontrak kamar sebentar kemudian pergi dan
tak pernah kembali. Rasanya laki-laki inilah yang
paling aneh dan tak ia mengerti.
Bahkan kini pun ia tak kunjung bisa
mengerti, kenapa laki-laki itu bisa tahu dengan
persis kapan ia mati. Ada rasa iri yang menyelusup
ketika ia pelan-pelan menutup jenazah laki-laki itu
dengan selimut yang sudah dipersiapkan. Rasanya
memang tak ada yang lebih membahagiakan selain
mengetahui kapan kita akan mati. Karna dengan
begitu tak ada lagi rahasia yang menakutkan
dalam hidup ini. Ah, betapa ia juga ingin mati
seperti laki-laki ini. Mati dengan tenang – bahkan
terasa riang – dan segalanya berlangsung dengan
biasa dan sederhana.
3.
DI warung kopi, sore itu, sahabatmu
mendengar tukang kebun itu bercerita tentang
seseorang yang baru saja mati dengan tenang dan
bahagia, tadi pagi.
“Aku menyaksikannya sendiri, detik-detik
ketika ia perlahan-lahan mati,” tukang kebun itu
bercerita, dan sahabatmu mendengarkan sembari
menyeruput kopi. “Aku merasakan cahaya yang
perlahan jadi lanum. Seperti ada yang perlahan
mendekat, seperti langkah-langkah ringan yang
melompati jendela dan masuk ke dalam kamar di
mana laki-laki itu berbaring tenang. Aku
bayangkan maut mengecup keningnya pelan, dan
ia tersenyum. Pada detik itulah aku merasakan ada
cahaya kelabu lembut, yang lebih tipis dari kabut,
melayang terbang mengelangut serupa senandung
maut…”
Setiap sore, sahabatmu memang suka
mampir ke warung kopi di sudut jalan itu. Tak
seperti sore-sore biasanya, yang gaduh dengan
celoteh dan percakapan, sore itu sahabatmu
merasakan kemurungan yang luar biasa.
Kemurungan, yang sepertinya terbawa oleh cerita
tukang kebun itu.
“ Betapa aku ingin mati seperti laki-laki itu,”
suara tukang kebun itu terdengar gemetar dan
hambar. “Aku sudah tua, aku sering
membayangkan aku akan mati kesepian. Tapi aku
selalu cemas karena tak pernah tahu kapan.”
Sembari terus diam mengetuk-ngetuk tepian
cangkir dengan ujung-ujung jari, pura-pura abai
pada cerita tukang kebun itu, seketika sahabatmu
terkenang pada cerita yang sering kau kisahkan
perihal seseorang, yang pernah menjadi karib
dalam hidupmu, tetapi kemudian memilih hidup
menyendiri untuk menanti mati. Biasanya,
sahabatmu begitu betah menghabiskan waktu di
warung kopi itu. Tapi cerita kematian yang
dituturkan tukang kebun itu membuatnya ingin
cepat-cepat bertemu denganmu.
4.
KAU hanya terdiam, saat sabahatmu
bercerita.
“Begitulah yang kudengar dari tukang kebun
itu, ia sudah mati dengan tenang dan bahagia pagi
tadi, tepat jam sembilan pagi.”
Biasanya, menghabiskan waktu berjaga, kau
dan sahabatmu akan bertukar kelakar sembari
bermain kartu, untuk mengusir kantuk dan jemu.
Bertahun-tahun menjadi penjaga malam di kamar
mayat rumah sakit, kau sudah teramat tahu, bahwa
kematian terasa lebih menakutkan ketika
dipercakapkan pelan-pelan. Tapi kau sudah
terbiasa dengan ketakutan seperti itu. Ketakutan
yang selalu muncul bersama bau yang membeku di
udara. Bau yang sepertinya sengaja ditinggalkan
maut untuk sekadar menjadi tanda. Kau selalu
membayangkan bau itu seperti jejak – atau tapak –
kaki kucing yang mungil. Jejak yang melekat di
lantai dan tembok dan mengapung di udara. Kau
sering melihatnya ada di mana-mana, membuatmu
seperti bocah pramuka yang sedang mencari jejak
agar tak tersesat. Kau bisa mencium bau kematian
itu bergerak pelan, tetapi kau tak pernah tahu
pasti kapan kematian akan menjemputmu. Kau
hanya merasa. Tapi tak kuasa menduga. Dan itu
selalu menakutkan. Mencemaskan. Tapi juga selalu
membuatmu penasaran.
Itulah sebabnya kenapa kau melamar – dan
akhirnya diterima – jadi penjaga malam di kamar
mayat rumah sakit. Kau hanya mau giliran jaga
malam, karna kau percaya kematian akan jauh
lebih terasa pada malam hari. Seperti tinta hitam
yang dituangkan ke kolam. Kau jadi seperti bisa
meraba dan menyentuhnya.
Kau suka sekali memandangi mayat yang
terbaring beku dan pucat. Memandanginya lama-
lama. Menyentuh dan merasakan tilas hangat yang
masih tersimpan di bawah kulit. Sering kau
merasakan denyut lembut yang masih terasa
merayapi otot mayat-mayat itu.
Dan malam ini, kau jadi makin mencintai
bau kematian, saat sahabatmu menceritakan
kematianku tadi pagi. Kau ingin menangis – entah
kenapa. Yang pasti bukan karena kehilangan. Kau
hanya merasa betapa menyenangkannya bisa
mengetahui kematian sendiri. Karena itu, kau pun
dulu tampak iri ketika aku bercerita betapa aku
telah mengetahui kapan aku mati. Kau merasa iri,
karena aku kau anggap telah mampu memecahkan
teka-teki.
“Kau tahu,” ucapmu pelan pada sahabatmu
yang bersandar di kursi, “aku selalu menginginkan
kematian yang tenang dan bahagia seperti itu.”
Dan kau pun mencoba membayangkan kelopak
mataku yang tampak rapuh ketika perlahan
terkatup. Kau bayangkan sisa redup cahaya
terakhir yang melekat di retina mataku.
Kau ingin sekali bisa bertemu denganku.
Kau ingin sekali bertanya, bagaimana mengetahui
kunci teka-teki kematian sendiri, dan mati dengan
begitu tenang. Begitu bahagia.
Ingin sekali kau tanyakan itu kepadaku yang
telah mati jam sembilan pagi tadi.
Yogyakarta, 2007
Komentar
Posting Komentar