Lintah - Djenar Maesa Ayu | Cerpen

Sebenarnya awal perkenalan saya dengan Djenar Maesa Ayu yakni pada tahun 2015-an, dimana saya mendapatkan ebook dari kawan sesama blogger. Judulnya sendiri cukup nyleneh dan kontroversial 'Jangan main-main dengan kelaminmu' dengan sampul berwarna merah menyala. Mungkin suatu saat nanti saya akan mempostingnya juga di blog ini.


Lintah

karya



Djenar Maesa Ayu



I
bu saya memelihara seekor lintah. Lintah itu dibuatkan sebuah kandang yang mirip seperti rumah boneka berlantai dua, lengkap dengan kamar tidur, ruang makan, ruang tamu dan kamar mandi dan ditempatkan tepat di sebelah kamar Ibu. Saya selalu merengek kepada Ibu untuk memelihara hewan lain, namun Ibu bersikeras memelihara lintah itu dan mempertahankannya sebagai hewan peliharaan tunggal di rumah kami.

Saya penyayang binatang. Namun saya sangat benci kepada lintah. Lintah tidak pernah puas atas apa yang dimilikinya. Begitu juga dengan rumah pribadi istimewa. Sepulang sekolah, sering saya temui lintah itu duduk di sofa ruang tamu kami. Kadang ia mengganggu saya ketika saya sedang menonton televisi dengan mengganti saluran seenak hati. Bahkan ia sering kedapatan sedang pulas tertidur di atas tempat tidur saya, dan tentunya membuat saya mengurungkan niat untuk beristirahat.

Dari hari ke hari kebencian saya memuncak. Sudah lebih enam bulan lintah itu tinggal bersama kami. Dan tabiatnya bertambah hari semakin kurang ajar. Pada suatu hari saya mengadu kepada Ibu, bahwa saya sulit beristirahat karena lintah itu sering meniduri tempat tidur saya. Di luar dugaan, Ibu membela lintah ketimbang saya. Ia mengatakan bahwa saya melebih-lebihkan. Ibu tidak percaya semua pengaduan yang saya utarakan. Yah… lintah ini memang sangat pandai menarik hati Ibu. Setiap Ibu pulang kerja, lintah duduk manis di dalam rumahnya. Lalu Ibu akan mengecupnya mesra dan membawanya masuk ke dalam kamarnya. Entah apa yang mereka lakukan disana. Saya hanya mendengar sayup-sayup suara ibu tertawa. Kadang hening tanpa satu suara. Namun pernah juga saya mendengar desahan napas Ibu dan lintah berbaur jadi satu.

Pada suatu hari Minggu, keingintahuan saya mendesak kuat. Saya mengintip dari sela-sela tirai yang sedikit terbuka ke dalam kamar Ibu. Dan saya sangat kaget melihat seekor ular yang merah menyala. Lidahnya menjulur keluar dan liurnya menetes ke bawah. Saya sangat jijik melihatnya. Namun Ibu dengan rakusnya menelan habis liur ular besar itu tanpa menyisakan satu tetes pun! Yang lebih mencengangkan lagi, ular itu berangsur-angsur mengecil. Saya tidak bisa membayangkan sebelumnya bila ular itu tidak lain adalah lintah.

Hubungan Ibu dengan lintah semakin erat saja. Kalau dulu Ibu hanya akan mengeluarkan lintah dari rumahnya dan membawanya ke dalam kamar, sekarang Ibu membawanya ke mana-mana. Bila kami makan bersama, lintah itu ditaruhnya di atas kepala dan berubah menjadi ular-ular kecil tak terhingga banyaknya. Setiap Ibu menyendok satu suap nasi ke dalam mulutnya, tidak lupa Ibu melemparkan sedikit makanan ke atas kepalanya dan ular-ular itu berebutan dengan rakus di sana.* Tentu saja saya mual dengan pemandangan ini. Namun Ibu tidak mau mengerti. Kalau saya tidak kuasa lagi menghabiskan makanan yang masih tersisa, Ibu akan memaki dan memaksa saya untuk menuntaskan. Saya dapat melihat mata ular-ular itu lebih menyala melihat penderitaan saya. Saya dapat melihat mereka tertawa tanpa suara.

Bila kami sedang menonton televisi, lintah itu tertidur di atas pangkuan Ibu. Dengkurannya sangat mengganggu dan bau tidak sedap menyergap seisi ruangan itu. Bila ada acara musik di televisi, lintah langsung terbangun dan Ibu akan memindahkannya kembali di atas kepalanya. Lalu lintah akan kembali berubah menjadi ular-ular kecil dan menari gembira. Saya pernah mencoba pura-pura terganggu nyamuk dan menyemprotkan obat serangga ke seluruh ruangan dengan harapan racun serangga itu dapat membunuh lintah. Tapi Ibu langsung melompat dari duduknya dan menempeleng muka saya. Dan mata kelihatan lintah benar-benar tertawa.

***

Akhir-akhir ini Ibu lebih sering tinggal di rumah. Ibu memang bukan pekerja tetap. Ibu adalah seorang penyanyi yang tentu saja tidak tentu jadwal kerjanya. Kadang Ibu pergi pagi sekali dan tiba larut malam. Kadang Ibu pergi sore hari dan baru kembali siang hari. Sering juga berhari-hari Ibu tidak pulang bila mendapat tawaran menyanyi di luar kota. Kalau dulu saya sering merindukan kehadiran Ibu, sekarang saya mengharapkan Ibu tidak pernah kembali. Saya sudah muak melihat kedekatan Ibu dengan lintah. Bila Ibu pergi, saya merasa tenang karena Ibu sudah mulai membawa lintah itu ke mana-mana. Saya pernah melihat Ibu di televisi menyanyi dengan lintah yang sudah berubah menjadi ular-ular kecil itu di atas kepalanya dan menari-nari. Saya pernah membaca di surat kabar bahwa Ibu sudah diberi julukan penyanyi Medusa. Memang banyak sekali tawaran sesudahnya. Dan ini membuat Ibu semakin saying kepada lintah. Mungkin karena Ibu sudah demikian terkenal, Ibu menjadi pilih-pilih tawaran. Dan inilah yang membuat Ibu lebih sering berada di rumah.

Ekonomi kami pun membaik. Kami jadi sering pergi jalan-jalan. Ibu membelikan saya berbagai macam barang yang tidak ingin saya punyai. Saya hanya ingin Ibu berpisah dengan lintah. Mungkin barang-barang yang Ibu belikan untuk saya semata-mata rayuan supaya saya tidak lagi membicarakan lintah.

Di luar rumah, bila kami sedang berjalan-jalan, Ibu tidak menaruh lintah di atas kepalanya. Ibu menaruh lintah di dalam kantung supaya tidak ada yang mengenali Ibu yang sudah berubah menjadi selebriti. Sering lintah licik itu diam-diam membelah dirinya menjadi dua, dan seekor menyelinap masuk ke dalam kantung saya tanpa sepengetahuan Ibu. Saya tidak berani mengadu, takut Ibu marah seperti dulu. Sesekali Ibu memasukkan tangannya ke dalam kantung untuk memeriksa keberadaan lintah. Dan alangkah puas mukanya bila tangannya bersentuhan dengan tubuh lintah.

Beberapa kali berhasil membelah diri tanpa sepengetahuan Ibu, lintah makin menjadi-jadi. Ia lalu membelah dirinya menjadi tiga, empat, bahkan lima. Dan kali ini sudah tidak lagi menyelinap ke bawah baju saya. Yang satu menyelinap ke pinggang saya. Yang satunya lagi ke perut saya. Dan mereka berputar-putar sesuka hati menjelajahi tubuh saya sambil mengisapi darah saya. Saya semakin membenci lintah. Dan saya mulai membenci Ibu.

***

Hari itu terik matahari begitu menyengat. Seragam sekolah saya basah oleh peluh yang tidak kunjung berhenti menetes. Sesekali saya merasakan perih saat setitik peluh jatuh tepat pada luka-luka bekas gigitan lintah. Namun penat dan perih mendadak hilang setibanya saya di rumah. Saya sangat bahagia mendapatkan mobil Ibu tidak ada. Saya masuk melalui ruang tamu yang kosong tanpa mereka. Saya menengok rumah lintah yang rapi tak terjamah. Saya masuk ke dalam kamar lengang dan kembali bahagia bersemayam dalam dada. Saya membuka pintu kamar Ibu. Bau wangi menyergap hidung saya, menyergap kerinduan, menyergap perasaan. Saya melangkah masuk. Memutar kunci dan merebahkan diri di atas tempat tidur Ibu sambil memandang lukisan kami berrdua yang terpampang di atasnya. Apakah semua lukisan keluarga yang menampakkan senyum bahagia hanyalah sandiwara? pikir saya. Tiba-tiba tercium bau yang sangat saya kenal dan begitu saya benci. Tanpa dapat saya hindari lintah sudah berdiri tepat di depan mata saya. Lintah itu sudah berubah menjadi ular kobrayang siap mematuk mangsanya. Matanya warna merah saga menyala. Jiwa saya gemetar. Raga saya lumpuh. Ular itu menyergap, melucuti pakaiaan saya, menjalari satu persatu lekuk tubuh saya. Melumat tubuh saya yang belum berbulu dan bersusu., dan menari-nari di atasnya memuntahkan liur yang setiap tetesnya berubah menjadi lintah. Lintah-lintah yang terus menghisap hingga tubuh saya menjadi merah.

***

Senja kelam hari itu. Hujan deras. Suara petir bertalu-talu. Sebekas kilat menerangi wajah Ibu.

“Ibu mau bicara padamu, Maha.”

“Saya juga ingin bicara pada Ibu.”

“Ibu akan bicara dulu, Maha. Sesudah itu giliranmu.”

Kembali petir meledak dan kilatnya memperjelas senyum Ibu.

“Kamu sudah besar. Sudah saatnya kamu mempunyai adik.”

Ibu diam menunggu jawaban. Namun saya lebih diam.

“Ibu mengandung, Maha. Dan sebentar lagi Ibu akan menikah. Sudah lama Ibu hidup sendiri semenjak ayahmu meninggal. Dan kamu sudah lama hidup tanpa Ayah.”

Mata saya membeliak lebar. Suara petir tidak lagi terdengar.

“Siapakah lak-laki yang berbahagia itu, Ibu? Siapakah laki-laki yang akan menjadi ayah saya?”

Angin membuka tirai jendela. Sekejap cahaya menerangi pengharapan jiwa.

“Lintah… .”

Angin mereda. Tirai kembali tertutup. Menghadirkan gelap, menghadirkan sunyi… .


Jakarta, 4 Juli 1999

*) Seorang tokoh wanita berambut bagai Medusa dalam novel Jazz, Parfum dan Insiden karya Seno Gumira Ajidarma.

Terimakasih banyak untuk sahabat bagusline yang telah membagikan cerpen ini ke jagat maya untuk pertama kalinya.

Komentar

Postingan Populer