Basa-Basi #24 : Masturbasi


Masturbasi. Begitu satu kata yang terlintas di pikiran saya akhir-akhir ini, melayang-layang tak jelas di udara, kadang bermunculan riak-riak pemikiran liar kecil dibaliknya beberapa waktu.

Masturbasi bagi saya bukan sekadar kata porno dan cabul yang digunakan untuk menjelaskan tentang kegiatan solo-player seseorang dengan fantasi seksualnya, tapi ada ribuan makna yang berdesakan dalam kata masturbasi itu sendiri. Misalnya bagaimana sosial media saya terisi penuh oleh kata-kata sarkas dari kaum unbeliever yang bilang ‘masturbasi iman’ atau ‘masturbasi ego’ tatkala mereka merasa kecewa saat mengetahui lawan debatnya tidak sungguh-sungguh menguasai materi debat.

Walaupun secara definisi :

Masturbasi adalah secara umum didefenisikan sebagai rancangan yang disengaja yang dilakukan pada organ genital untuk memperoleh kenikmatan dan kepuasan sexual. Masturbasi ialah menyalurkan hasrat seksual dengan cara merangsang alat kelamin menggunakan gerakan tangan atau lainnya (Rasyid M. 2008)

Masturbasi, tampaknya memang menjadi kebutuhan manusia, apapun bentuknya. Kegiatan yang dimaksudkan untuk menyenangkan diri sendiri itu sejatinya sangat bermanfaat, baik itu untuk menyegarkan kembali ruwetnya pikiran atau untuk sekadar membangkitkan serotonin di otak.

Tapi, apa benar masturbasi yang lain-lain dan lain lagi bisa bermanfaat?

Konon tatkala saya berselancar di dunia maya, banyak kasus-kasus soal ‘masturbasi iman’ atau ‘masturbasi ego’. Biasanya muncul pada forum-forum debat, atau dialog-dialog politik berisi debat kusir tak menentu. Lantas apa bedanya masturbasi biasa dengan masturbasi yang memakai embel-embel ‘iman’ atau ‘ego’?

Masturbasi ego, bisa dimaknai sebagai kegiatan seseorang yang menampik segala macam fakta yang ada dan terus menerus ngotot dengan hal yang hanya mendukung pendapatnya. Orang-orang tipe ini tidak mau mendengarkan orang lain, hanya mau bersikukuh dengan hal yang ia sukai saja.

Kegiatan ini memang betul-betul masturbasi, karena mau dikata apa lagi, peristiwa seseorang yang gemar sekali menyenangkan dirinya sendiri secara terus menerus tanpa mau legowo atas kekalahannya.

Ini sekelumit reka ulang peristiwa yang biasa terjadi di suatu forum debat :

A : Teroris itu bukan mutant! Mutant belum tentu teroris, itu hanya konspirasi yang digelontorkan oleh kaum-kaum elitis yang berusaha menjelek-jelekkan citra mutant di universe ini!

B : Lho, tapi jelas-jelas kejadian kemarin sore di halaman depan Stark Tower yang meledakkan diri itu mutant, sudah fix dilihat dari kartu identitasnya dia Mutant. Mau data-data?

A : Heh! Memang ada berapa mutant yang jadi teroris?! Avengers membunuh kami di Attilan, NOVA corps membunuh kami di galaksi, lantas hanya karena satu oknum kalian bilang mutant itu teroris?

B : Apa susahnya sih mengaku saja kalau teroris kemarin itu mutant?

A : Lho, nggak bisa! Pokoknya dia cuma oknum!

Itu kira-kira kejadian yang biasa terjadi. Dimana seseorang hanya mau membanggakan ucapannya sendiri tanpa mau melihat fakta yang ada. Pokoknya asal dia senang, peduli dengan kejadian yang terjadi beneran di lapangan.

Manusia itu mudah sekali untuk bicara dan menggenggam argumennya, tapi sangat sulit untuk menerima kekalahan dan kesalahannya. Apalagi jika konteksnya berhubungan dengan hal-hal yang intim, seperti kepercayaan atau permasalahan rasial. Makanya kata-kata “Pendapat kamu ada benarnya juga” sudah jarang sekali kita lihat, lebih banyak yang malah lebih galak dan ad hominem kemana-mana.

Saya termasuk kaum milenial yang sejak SD disuguhi dengan pelajaran kewarganegaraan, yang konon zaman emak-bapak dahulu lebih dikenal dengan PMP (Pendidikan Moral dan Pancasila). Isinya setiap tahun pasti menyertakan pentingnya musyawarah dan keputusan bersama untuk memulai segala sesuatu.

Bahkan kelas 1 SMA, kami masih membahas tentang pentingnya menghormati pendapat orang lain. Lantas apakah krisis rasa menghargai dan menghormati benar-benar melanda negeri ini?

Sebetulnya, ini hal wajar untuk negara-negara berkembang yang sedang dilanda ‘gejolak’ rasa egoisme tinggi antar warganya. Kita juga perlu maklum, negeri ini bukan negara maju yang minimal mutakhir di bidang tatakrama atau sopan santunnya, kita bukan Jepang yang memiliki rasa disiplin tinggi atau Amerika yang konon memiliki nasionalisme dan pluralisme tinggi.

Amerika Serikat, yang konon negara maju dan mutakhir pun di masa lampau pernah mengalami krisis toleransi tinggi, dimana terjadinya diskriminasi ras dan kulit terhadap orang-orang kulit hitam. Tapi sekarang, berbekal pengalamannya Amerika berhasil memanjat dinding sejarah, kemudian berdiri tegak menantang masa depan tanpa tergoyahkan.

Mungkin ini masalah proses. Toh dengan proses semua akan berjalan meskipun lambat, entah itu ke depan atau ke belakang. Seperti fenomena media sosial, dimana kita mengenal tulisan alay masa-masa transisi dari SMS ke internet pada masanya, mungkin sekitar 10 tahun lalu. Kemudian muncul zaman meme, sekarang beralih menjadi fenomena shitposting.

Tanpa kita sadari, zaman bergerak dengan ritmenya sendiri. Bagaimana di masa lalu propaganda harus disebarkan lewat brosur atau radio, kini bisa viral lewat hoax yang dirancang di media sosial.

Jika dahulu masturbasi merupakan pekerjaan paling buruk di dunia, maka sekarang masturbasi adalah gaya hidup. Sampai-sampai jika seseorang tidak masturbasi ego di sosial media ia merasa jati dirinya berkurang atau bahkan hampa sama sekali.

Sehubungan mensukseskan masturbasi virtual itulah sekarang banyak orang-orang yang membagikan berita hoax, berita yang mencengangkan, berita yang dari judulnya saja bisa membuat seseorang kejang-kejang. Tak peduli apakah berita itu valid atau tidak, yang penting sejalan dengan keinginan penulisnya dan khalayak ramai.

Makanya saya pernah manggut-manggut ketika ada ujaran “Orang paling berbahaya adalah mereka yang hanya membaca satu buku”.

Betul. Mereka yang berbahaya adalah yang hanya ingin memandang segala sesuatu dari kacamatanya saja. Hal ini juga menjadi landasan bagi orang-orang pintar untuk terus menggali segala sesuatu, karena mereka tidak terus menerus berada di zona nyaman, tapi menggali lebih dalam apa yang mereka tidak ketahui.

Bahwa sesungguhnya seseorang akan menemukan makna sejati dari kebahagiaan setelah menemukan kebencian, atau seseorang akan mengetahui ia berada dalam kesuksesan setelah terjerembab dalam kegagalan. Manusia tidak perlu berkelana mengelilingi bumi, jika pikirannya tak beranjak dari tempatnya.

Sebagaimana kita memandang masturbasi bukan hanya sekadar kegiatan untuk menuntaskan hasrat sendiri tapi juga kegiatan yang bermanfaat untuk menyenangkan sekaligus meyakinkan diri kita sendiri. Tapi, masturbasi berlebihan juga tak baik, sekali-kali anda perlu merangsang diri anda dengan lontaran argumen orang lain.


Ciamis,
Jum’at pagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna