Ayam dan Penari - Yasunari Kawabata


Seorang penari mengepit seekor ayam – meskipun tengah malam si penari niscaya tidak mau. Bukan ia sendiri yang memeliharanya. Ibunya yang memelihara ayam itu. Jika seandainya ia menjadi penari yang terkemuka mungkin ibunya takkan mau lagi memelihara ayam.
*
“Kami akan bersenam telanjang di atas atap rumah.”
Mendengar itu ibunya terkejut.
“Bukan hanya satu-dua orang. Empat atau lima puluh orang berbaris dan bersenam seperti para pelajar wanita. Walaupun telanjang, tapi hanya kaki saja yang telanjang.”
Di atas atap beton penuh dengan sinar musim semi. Si penari merasa tangan dan kakinya memanjang seperti rebung.
“Walaupun di sekolah dasar sekarang anak-anak tak bersenam di atas tanah.”
Ibu datang menjemput anaknya di tempat masuk bilik rias.
“Ayam berkokok pada malam hari. Saya kuatir jangan-jangan sesuatu yang kurang baik terjadi padamu.”
Sampai habis latihan menari di panggung, si ibu tetap menunggu di luar.
“Mulai besok kami menari telanjang di depan penonton.”
Hal itu tak dikatakannya, tetapi terlanjur katanya:
“Ada orang yang aneh. Di sebelah tempat Ibu menunggu ada kamar mandi ruang rias. Ada seseorang yang terus berdiri kira-kira satu jam menatap pada kamar mandi itu, walaupun tak nampak bayangan orang karena kaca jendelanya tak tembus pandang. Rupanya ia hanya menatapi tetesan uap yang mencair pada kaca itu.”
“Itu sebabnya maka ayam berkokok tengah malam.”
*
Ada kebiasaan ayam yang berkokok tengah malam dibuang di kuil Kannon di Asakusa. Dengan begitu orang dapat melepaskan diri dari bencana. Rupanya ayam-ayam yang hidup bersama dengan burung merpati di kuil Kannon itu semuanya peramal yang taat pada pemeliharanya.
Keesokan malamnya si penari pulang ke rumah, tapi segera ia datang ke Asakusa dari Honjo menyeberangi jembatan Kototoi. Ia mengepit ayam yang dibungkus dengan furoshiki. Di depan kuil dibukanya bungkusan tersebut dan begitu ayam itu turun di atas tanah, ia mengepak-ngepakkan sayap dan cepat-cepat berlari entah ke mana.
“Betul bodoh ayam itu!”
Ia merasa sayang kalau ayam itu bersembunyi di sudut-sudut sekitar itu. Maka ia mencoba mencarinya, tapi tak berhasil. Si penari sekarang ingat bahwa ia disuruh berdoa di kuil itu.
“Ya Kannon, apakah engkau pun pernah menari juga dulu?”
Sejenak ia menundukkan kepala, lalu menengadah dan terkejut. Dilihatnya empat-lima ekor ayam bertengger tidur di atas ranting pohon icho yang tinggi.
*
“Bagaimana ayam itu sekarang?”
Si penari berhenti di depan kuil Kannon itu dalam perjalanan ke tempat pertunjukan. Entah dari mana ayam semalam datang mendekatinya. Ia menjadi merah padam dan berlari. Ayam itu juga berlari mengikutinya. Orang-orang di taman tercengang melihat si penari dikejar ayam.
Ayam itu di tengah-tengah keramaian orang, dari hari ke hari makin liar. Ia menjadi bisa terbang agak jauh juga. Sayapnya menjadi putih karena dilekati pasir dan debu; ia makan kacang-kacangan bersama burung merpati atau membanggakan diri di atas kotak sumbangan uang di depan kuil, dengan sikap acuh tak acuh yang menyolok seperti anak muda gelandangan Asakusa.
*
Si penari tak mau lagi lewat di depan kuil Kannon. Walaupun kalau ia lewat di sana, ayam itu sudah lupa akan dia. Di rumah si penari, dua puluh ekor anak ayam sudah menetas. Anak ayam, walaupun bersuara di tengah malam tidak meramalkan bencana.
“Bayi manusia juga biasa menangis malam hari.”
“Betul. Aneh juga kalau orang dewasa menangis malam hari.”
Si penari mengatakan sesuatu yang remeh tetapi ia pun jadi sedikit merasakan sesuatu makna pada perkataannya itu. Ia sering juga berjalan bersama murid-murid SMP. Rupanya penari-penari yang tidak terkemuka ada kalanya berjalan bersama murid SMP. Waktu ia tiba di rumah:
“Bagaimana? Ayam mulai berkokok tengah malam. Engkau pergi lagi ke kuil Kannon dan berdoa.”
Si penari agak terkejut, namun tertawa.
“Kalau anak ayam menetas dua puluh ekor, saya barangkali punya dua puluh orang laki-laki dengan siapa saya boleh berjalan. Itu cukup banyak untuk seumur hidup saya.”
*
Tapi sangkaan si penari salah. Yang diramal oleh ayam itu bukan pelajar SMP. Si penari yang mengepit bungkusan ayam itu diikuti oleh seorang laki-laki yang aneh. Ia lebih merasa malu oleh ayam itu, daripada merasa takut. Ia bingung – mau mencoba berteriak. Tapi pasti si penari yang mengepit ayam dicurigai orang. Laki-laki itu berpikir, inilah kesempatan yang baik.
“Mpok mau ikut kami bikin banyak untung? Aku saban hari mencari-cari dalam tong sampah di tempat pertunjukanmu. Walaupun begitu aku bukan pengemis. Yang kucari surat-surat cinta yang dialamatkan kepada para penari yang dibuang ke dalamnya.”
“Wah!”
“Kau mengerti? Kami pakai surat-surat itu untuk menguras uang dari laki-laki yang tolol. Kalau bisa bekerja sama dengan seorang wanita dari balik rias, tentu lebih mudah lagi.”
Si penari mencoba melarikan diri. Tapi ditangkap si lelaki. Ketika ia menyiku muka si laki-laki dengan tangan kanan – ada ayam. Ayam dalam bungkusan furoshiki itu didesakkan pada muka si laki-laki dan ayam itu mengepak-ngepakkan sayap – bagaimana bisa ditahan. Si laki-laki berteriak “Aduh!” dan ia melompat menjauhkan diri. Ia tak tahu, bahwa itu ayam.
*
Keesokan paginya ketika si penari berjalan di depan kuil Kannon ada ayam semalam di situ dan berlari mendekati kakinya. Ia tertawa kecil dan kali ini ia tidak cepat-cepat melarikan diri, melainkan dengan tenang meninggalkan ayam itu.
Demi ia masuk ke dalam bilik rias ia berkata:
“Kalian simpan baik-baik surat-surat yang datang dan jangan membuangnya ke dalam tong sampah. Mari kita menyampaikan hal itu ke semua bilik rias di taman ini. Itu untuk menjaga moral.”
Betul juga. Dengan demikian tak lama lagi ia akan menjadi penari yang terkemuka.


--------
Ditulis tahun 1930, namun jika ditarik ke kondisi kekinian, ‘Ayam dan Penari’ karya Yasunari Kawabata ini menggambarkan kondisi idol-idolan. Bercerita tentang seorang (calon) idol yang sembarangan membuang fanletter.
Cerita ini merupakan terjemahan langsung dari Bahasa Jepang oleh Ajip Rosidi dan Matsuoka Kunio yang diterbitkan dalam kumcer Penari-Penari Jepang (Penerbit Djambatan, 1980).
yasunari kawabataYasunari Kawabata (川端 康成, lahir di Osaka, 14 Juni 1899 – meninggal di Zushi, Kanagawa, 16 April 1972) adalah seorang pengarang Jepang pertama yang memperoleh Penghargaan Nobel Sastra pada 1968. Karya-karyanya hingga kini masih dibaca bahkan di dunia internasional.
Kawabata menjadi terkenal lewat cerpen Penari Izu yang ditulis pada 1926, karena kisahnya yang mengeksplorasi erotisisme cinta anak muda ini disenangi pembaca. Kawabata memakai tokoh yang melankolis dengan menyelipkan kepahitan dalam kemanisan ceritanya. Kebanyakan karyanya di kemudian hari menjelajahi tema-tema seperti ini.

Direblog dari blog Arip Abdurahman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna