Basa-Basi #28 : Bagaimana Saya Memutuskan Untuk Tidak Lagi Benar

Azi Satria
Buatan Pribadi : 1 Juli 2019

Kita tidak bisa menyalahkan apa yang terjadi pada diri kita selain pada diri kita sendiri.

Begitulah satu hal yang saya dapatkan dari ratusan buku yang saya baca, ribuan lagu yang saya dengar, dan jutaan detik yang saya tempuh hingga saat ini. Karena pada akhirnya, tiada yang lebih paham dirimu dibandingkan dirimu sendiri.

Saya bekerja sebagai komikus freelance dan ilustrator. Pekerjaan saya ketika libur sekolah dan di waktu senggang adalah menggambar, jika kemudian tidak menulis atau membaca. Hal yang saya paparkan di awal berlaku juga untuk dunia kerja ini.

Saya bisa saja menonton ratusan jam video tutorial, membaca ribuan kata kisah sukses para seniman, atau membeli berbagai perlengkapan gambar yang harganya bisa puluhan juta rupiah. Tapi tanpa benar-benar melakukannya, kita tidak benar-benar berjalan.

Banyak orang yang saya kenal terus bermimpi, dan ketika saya tanya “Kapan kamu mau melakukannya?”

“Nanti, jika sudah ada waktunya.”

Itu adalah hal paling buruk yang pernah saya dengar. Karena sebanyak apapun mimpimu dan bagaimanapun kamu menjelaskannya dengan mulut berbusa, mimpi-mimpi itu hanya akan menguap ke udara, bersatu dengan asap knalpot dan debu musim kemarau.

Tenang saja, ini hal yang wajar. Saya pun pernah mengalami masa tersebut. Untungnya lagi, saya rajin menulis sejak dulu, sehingga kebodohan apa saja yang pernah saya pikirkan, sering mengeras dan menjadi prasasti berbentuk tulisan. Saya tidak menyesalinya, karena saya yakin sekecil apapun hal yang kita lakukan di masa lalu berimbas pada diri kita di masa sekarang.

Saya sering bermimpi menjadi penulis besar, tapi tidak benar-benar paham bagaimana caranya menulis dan apa saja yang perlu saya persiapkan. Saya ingin menjadi seniman, tanpa paham esensi seni. Bahkan ingin menjadi filsuf tanpa benar-benar mempelajari logika dasar.

Hal ini benar-benar berdampak pada eksistensi saya, setidaknya di dunia maya. Saya tidak ingin bicara terlalu banyak, takut saya mengatakan hal yang--bisa saja-- diharapkan orang lain terjadi tapi ternyata tidak. Saya tidak paham esensi kebaikan dan kebenaran, maka dari itu saya tidak mau bicara kalau ini baik atau buruk, saya tidak mau menjerumuskan orang lain.


Menulis dan menggambar adalah kegiatan yang setidaknya, memiliki risiko paling kecil mencelakakan orang lain. Walau ada jutaan kemungkinan kamu diarak keliling kampung atau dibakar hidup-hidup karena berpikir dan menulis hal-hal yang berlawanan dengan norma. Siti Jenar atau Al-Hallaj misalnya, yang harus mati karena memiliki pikiran yang tidak sesuai zamannya.

Tapi setidaknya, saya tidak mengatakan apa yang membuat orang lain sedih dan marah sehingga mengganggu pikiran mereka selama berhari-hari. Karena kemudian saya sadar bahwa tidaklah perlu untuk melakukan apa yang kita tidak ingin orang lakukan pada diri kita.

Saya tidak memiliki masalah sekarang dengan kepercayaan, perbuatan atau kegiatan orang lain. Jika saya melihat arsip tulisan-tulisan saya beberapa tahun ke belakang, benar-benar bodoh menyadari bahwa saya terlalu peduli apa yang saya tidak harus pedulikan. Masalah personal seperti kepercayaan sering saya persoalkan.

Saya adalah manusia buruk yang mengintervensi kepercayaan orang lain. Seperti kisah abangnya Joseph dalam novel John Steinbeck berjudul To A God Unknown. Saya lupa nama abangnya ini, tapi dia adalah seorang yang terlalu banyak mengintervensi kehidupan bersama.

Niatnya sih baik, sebagai pendeta utamanya, ia melarang Joseph, sang adik untuk tidak memberhalakan pohon di depan rumahnya. Tapi sayang, karena Joseph menolak permintaan abangnya, si abangnya ini malah memotong akar pohon hingga pohonnya mati.

Kemudian itu membuat Joseph sedih, ia marah dan pikirannya terganggu. Hingga akhirnya keluarga petani itu hancur. Ini barangkali menjadi buku yang menegur saya agar tidak terlalu banyak mengintervensi kehidupan personal orang lain. Tidak semua orang sama dengan saya, dan saya wajib menghormati keputusan mereka.

Jadi saat ini, bahkan ketika Pride Month, bulannya LGBTQ, saya tidak protes kenapa mereka merayakan itu. Saya tidak lagi mempermasalahkan kenapa ada penistaan agama atau kenapa teman saya berbeda aliran. Saya berusaha menjadi lebih baik. Karena kata-kata bisa setajam pedang dan saya tidak cukup kuat untuk melihat orang-orang yang saya kenal sekarat karena saya tikam organ dalamnya.


Rasa kasih sayang pada akhirnya bukanlah rasa ingin mengintervensi, meluruskan dan membimbing orang secara membabi buta. Rasa sayang adalah ketika kita mengasihi orang lain dengan cara memberikan mereka tempat untuk kehidupan personalnya. Apa yang mereka percayai, apa yang mereka ingin rahasiakan.

Kamu tidak benar-benar bijak jika kamu masih merasa orang lain perlu kamu bimbing secara membabi buta. Ada batasan-batasan yang perlu kamu hormati. Kamu tidak perlu sebarbar itu untuk mengajak orang lain berada dalam kebenaran dan kebaikan yang sama denganmu.

Akhirnya pelajaran ini saya dapatkan setelah ratusan hari saya berpikir bahwa saya benar. Itu semua kini salah. Saya tidak tahu apa itu kebenaran, begitu pula dengan kebaikan. Saya tidak ingin tahu, karena begitu saya tahu, disitulah saya akan menemukan bahwa orang lain salah. Cukup tahu bahwa saya salah, saya tidak ingin meluruskan hidup orang lain yang bahkan saya sendiri tidak cukup paham dua puluh empat jam dalam sehari apa yang ada di dalam kepalanya.

Ini pemikiran saya, tertulis tanggal 5 bulan Juli 2019. Tepat hari ini, saya meninggalkan atribut benar dan salah. Kecuali memang saya paham apa yang terjadi, saya tidak mau melabeli orang lain. Karena sudah cukup apa yang saya lihat, saya baca, saya rasakan bahwa kebenaran bisa berujung pada peperangan, bui dan pertumpahan darah.

Hidup manusia itu rumit, dan tidak bisa disederhanakan dengan kata benar maupun salah. Tahun depan, atau tahun-tahun berikutnya mungkin saya akan berubah pikiran. Dan mari kita lihat, bagaimana perkembangan pemikiran saya ke depannya.

Setidaknya saat ini saya bertanggung jawab sepenuhnya atas keputusan yang saya ambil, termasuk keputusan-keputusan di masa lalu hingga masa kini. Karena saya memutuskan semuanya sendiri, dan tidak ada yang perlu saya salahkan apabila akhirnya saya terjerembab ke dalam kubangan kepedihan kecuali diri saya sendiri.

Band favorit saya, Epica seharusnya bisa menutup curhatan kali ini dengan baik :

If you blame all your failures on someone else
Without any remorse
You lost your chance to learn
From yourself”



Jum'at 5 Juli 2019,
Ciamis. Libur semester dan sedang berkutat dengan freelancing

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna