Basa-Basi #29 : Nrimo


Betapa indahnya hidup apabila kita tidak menyimpan dendam, apalagi permusuhan. Tapi itu tidak mungkin. Manusia, sebagai mahluk sosial, sebagaimana dikatakan oleh Sartre, saling merasa lebih superior dibanding yang lain. Hubungan dan aktivitas sosial kita, konon adalah hubungan antara yang menekan dan yang ditekan, yang menggurui dan digurui, yang merasa kuat dan lemah. Hingga akhirnya Sartre menarik kesimpulan ‘Neraka adalah orang lain’ (Hell is other people).

Di Kompasiana, saya menemukan tulisan menarik yang membahas ini. Begini bunyinya : Hubungan antar manusia itu dikonkritkan dan disimbolkan dengan tatapan (“le regard”). Dengan memandangku, subyek lain merampas adanya subyek daripadaku, ia membinasakan subyektivitasku (“pour-soi”). Aku direndahkan sehingga terbekulah otonomi dan kebebasanku menjadi “entre-soi”. Maka, manusia yang satu selalu merupakan ancaman bagi yang lain.

Manusia, dengan segala kebutuhannya serta kehausannya akan hubungan serta interaksi sosial harus menyadari fakta ini. Bahwa kita senantiasa melemparkan diri kita pada konflik-konflik, dari percakapan ke percakapan lain; dari satu tatapan ke tatapan yang lain. Kita senantiasa mengalahkan, atau dikalahkan.

Saya kemudian berpikir bahwa jika ini merupakan sebuah hal yang Sunnatullah atau hukum alam. Dalam tradisi Islam, Buddha, Kristen dan hampir semua agama di muka bumi, semuanya diciptakan berpasangan, ada penciptaan begitu pula penghancuran. Seperti Yin dan Yang, Angra Mainyu dan Spenta Mainyu, sebagaimana hitam dengan putih.

Maka rasa ingin lebih tinggi tentu akan bersanding dengan rasa rendah. Yang bersedih dan berbahagia, yang menang dan yang kalah. Sebagaimana dalam kehidupan sosial, yang satu ingin diakui sebagai individu yang lebih tinggi dari yang lain, dengan yang lain harus berpuas diri melayani individu ini merasa tinggi. Maka, bagi saya tiada lain obat dari dilema ini adalah sikap nrimo.

Jika tidak mengancam nyawa, ya sudah tidak usah balik dibalaskan, apalagi disimpan menjadi dendam. Dengan itulah kiranya hubungan kita akan baik-baik saja. Dengan sikap nrimo, dimana kita tidak perlu merasa bersedih saat berada di titik hitam ketika lawan bicara di titik putih. Ketika sahabat kita A dan kita B, karena kita pasti berada di tempat yang sama suatu waktu.

Kecemasan akan orang lain, bentuk ketidaksukaan berkelanjutan, serta rasa terdistorsi karena kita diposisikan di wadah A sedangkan yang lain lebih tinggi tidak seharusnya menjadi ancaman serius. Kita selalu menjadi objek di mata orang lain, sebagaimana kita menjadikan orang lain sebagai objek di mata kita sendiri.

Atau mungkin seperti yang dianjurkan oleh ajaran Stoik, bahwa kita hanya perlu nrimo dan tawakkal atas kehidupan kita di dunia ini. Tidak perlu bersedih oleh faktor-faktor eksternal, karena sejatinya kebahagiaan terletak di dalam diri kita, di dalam pikiran dan nalar kita sendiri. Ketika nalar kita sehat, tidak perlu ada kecemasan dan rasa terdistorsi oleh hal-hal di luar diri kita.

Tulisan ini dipicu oleh banyak sekali status Facebook yang muncul di beranda saya. Mengeluh tiada habisnya, saling nyinyir dan menghakimi satu sama lain. A tidak mau tersaingi oleh B, sedangkan B merasa tidak perlu berbagi udara yang sama dengan A. Kebencian ini seolah berputar membentuk lingkaran keabadian; bergerak konstan, melahirkan rasa benci yang kian dahsyat.

Akhirnya facebook saya copot kembali, dan saya berganti membaca buku. Betapa hidup jauh lebih indah apabila kita hanya menerima hal-hal positif. Tapi karena kadang hidup ini tidak selalu mempertemukan kita dengan orang yang bermulut positif, alangkah lebih baiknya kita nrimo dan senantiasa tidak perlu terusik dan marah karena perbuatan orang lain. Apalagi disimpan, dijadikan dendam dan ditumpuk sampai menggunung.

Oleh karena itu, marilah kita nrimo atas segala keadaan yang terjadi. Apapun yang ada di depan mata atau apa yang kita hadapi. Betapa hidup akan jauh lebih indah apabila kita tidak terlalu banyak memikirkan sesuatu yang diluar diri kita.


- 13-7-19 
Ciamis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Macam-Macam, Jenis dan Contoh Cara Penggambaran Tokoh dalam Cerita

Jagat Alit - Godi Suwarna