Basa-Basi #30 : LIfe's a Dance
Sudah lama sekali tidak menulis. Sudah beberapa bulan
terlewati sejak terakhir kali saya menulis. Menulis pun rasanya tidak seenak
dahulu; kata-kata tidak mengalir, ia seakan tersendat oleh kekosongan yang saya
ciptakan sendiri.
Jika di suatu saat di masa depan;bulan depan, tahun depan,
satu dasawarsa ke depan saya membaca ini kembali, ada beberapa hal yang ingin
saya katakan hari ini.
*
Hidup adalah Ouroboros, seperti esai
yang saya tulis di Nyimpang. Saya menyadari ini, setelah lama berdiri,
mengembara, hangus dan terlahir kembali. Hidup adalah perkara reinkarnasi;
bagaimana kamu harus bangkit setelah terseok-seok dan jatuh. Bagaimana kamu
perlu sadar bahwa hidup adalah roda, chakra
manggilingan.
Saya membeli roman Perancis klasik, Count de Monte Cristo beberapa pekan lalu, berbahasa Inggris dan
masih sangat sulit untuk dibaca dengan keterbatasan bahasa Inggris saya saat
ini. Walau begitu, roman ini saya hapal betul : saya membaca versi bahasa
Indonesia terbitan KPG dalam seri sastra dunia beberapa waktu sebelumnya.
Count de Monte Cristo barangkali
menjadi tragedy yang tepat untuk menggambarkan realita perputaran hidup.
Bagaimana Dantes, seorang awak kapal yang difitnah dan dipenjara bisa membalas
dendam dan menunjukkan pada dunia bahwa hidup itu berputar. Dengan usaha, lebih
banyak belajar dan percaya pada diri sendiri dibandingkan orang lain merupakan
salah satu cara Dantes menggulirkan roda hidupnya.
Seperti kata John
Michael Montgomery dalam lagu country
yang terkenal itu “Life’s a dance,
you learn as you go, sometimes you lead, sometimes you follow”
*
Karir hari ini bisa dibilang agak membuat deg-degan walau sebenarnya cashflow cukup stabil dan membuat saya
cukup senang bisa membeli beberapa buku setiap bulan, membeli paket data, atau
sekadar membeli barang-barang tidak penting dan menyenangkan diri sendiri.
Tapi yang namanya freelancer,
kita hidup dengan dan dari kemungkinan. Mungkin hari ini ada pesanan masuk,
mungkin tidak. Mungkin ada repeat order, mungkin
tidak. Inilah yang membuat saya cukup bersyukur telah mengena filsafat
sebelumnya. Bagaimana agar kita senantiasa melatih pikiran kita dengan
kemungkinan, dari yang terburuk hingga yang terbaik.
Filsafat stoic alias
stoa yang beberapa waktu lalu saya
baca rupanya cukup berguna disini. Yang berperan dalam kebahagiaan kita
bukanlah keluarga, sahabat, idola atau lingkungan sosial, tapi diri kita
sendiri. Tepatnya pikiran. Bagaimana kita bisa mengelola pikiran jauh lebih
penting dibanding bisa mengelola income ribuan
dollar. Walau keduanya jika digabung
akan menjadi sangat luar biasa.
Awal agustus sampai kembali awal September ini saya mengerjakan
satu jilid buku komik 26 halaman untuk klien dari Amerika Serikat. Tentu ini
yang menjadi penghasilan rutin mingguan saya, hingga saya bahkan bisa menambah
peralatan untuk bekerja.
Selain yang satu itu, saya bisa mengerjakan multiple project dalam satu waktu. Cara
mengendalikannya gampang-gampang susah. Karena saya berhadapan dengan manajemen
waktu. Bagaimana saya harus bisa memaksimalkan 4 jam sehari untuk bekerja multiple project. Tapi disinilah
pelajarannya. Lagi-lagi John Michael
Montgomery “… you learn as you go..”.
Makin banyak saya berurusan dengan proyek-proyek bersamaan, deadline yang sama-sama mepet atau jumlah pembayaran yang sama
besarnya, makin terlatih pula saya untuk menuntaskannya dalam waktu minimal.
Disini ilmu-ilmu yang saya dapatkan dari membaca kembali keluar, dari teknik
komunikasi hingga psikologi bisa dipraktekkan.
Perkara karir, saya yakin bisa survive dan stabil untuk selanjutnya.
*
Hal kedua adalah kesehatan pikiran. Dibandingkan dengan era
dimana saya banyak berkecimpung di media sosial, bermain game online, atau melakukan terlalu banyak hubungan dengan orang
yang tidak benar-benar perlu dilakukan hubungan, sekarang saya merasa jauh
lebih bahagia.
Saya bersama orang-orang yang saya kasihi;dan mengasihi saya
balik. Saya menjalin pertemanan dengan mereka yang mau berteman. Saya
melepaskan diri dari atribut-atribut yang bisa menghalangi saya menjadi Azi
Satria sebenarnya.
Tidak ada lagi Azi Satria yang fanatik terhadap kubu
politik, agama, anti-agama, atau bahkan pada kelompok tertentu. Saya tidak
terikat dengan hal-hal yang banyak menguras tenaga namun tidak memberi
kebahagiaan. Karena seperti yang dikatakan Epicurus: segala sesuatu bernilai
saat ia memberikan kebahagiaan dan kenikmatan.
Saya memang tidak netral, bahkan kita semua tidak bisa
netral. Tapi di ruang-ruang publik, saya tidak memiliki hasrat untuk
mengemukakannya. Selain karena postingan-potingan sensitif bisa menyinggung dan
rawan mendatangkan kesal di hati orang lain; saya sadar bahwa preferensi
pribadi adalah masalah personal.
Heteroseksual atau homoseksual, beragama maupun tidak
beragama, politik kubu A maupun kubu B, semuanya adalah perkara pribadi. Publik
tidak harus mengetahui semua itu. Pertama buang-buang tenaga, kedua hanyalah
masturbasi pikiran dan hanya upaya narsistik yang berlebihan.
Dibanding menulis status saya mengeluh karena capek hari ini di Facebook, saya jauh lebih senang membagikan lagu dari Youtube atau Spotify. Lebih netral. Orang pun boleh jadi mengklik tautan yang
aya bagikan, kemudian merasa senang setelah mendengar lagunya.
Intinya sih, saya
menemukan medium yang tepat untuk menyalurkan keluh kesah. Membaca, menulis
atau menggambar. Jauh lebih less harmful dibandingkan
dengan menulis postingan di facebook atau
marah-marah di twitter. Tidak ada
yang sakit hati kalau saya membaca Paulo Coelho seharian karena saya merasa
kecewa. Tidak ada pula yang akan protes kalau saya menggambar kucing aneka
warna sebagai bentuk keluhan karena saya merasa capek.
*
Mungkin saya akan menulis lagi beberapa bulan ke depan. Atau
mungkin tidak.
Ciamis,
12:34
15/09/19
Komentar
Posting Komentar