Basa-Basi #52 : Cinta dan Hubungan


 Listrik mati, dan sialannya sinyal juga ikut mati. Setiap kali hujan lebat turun seperti ini, saya kadang kebingungan harus berbuat apa. Sebetulnya ada beberapa opsi—misalnya membuka Football Manager dan melanjutkan permainan saya sebagai manajer untuk Dover Athletic di Divisi 6 Liga Inggris, atau bisa saja saya menonton film-film konyol untuk menghabiskan waktu. Tapi rasanya saya tidak mau buang-buang baterai laptop dan ponsel, akhirnya mengambil iPad dan menulis saja.


Beberapa tahun terakhir, saya merasa ada penurunan signifikan dalam gaya menulis dan kemampuan saya menulis. Misalnya, saya kesulitan menulis dengan runut, memilih diksi yang tepat, bahkan sekadar memikirkan apa yang harus ditulis saja bingungnya minta ampun. Entah kenapa, mungkin karena saya tidak se-gila itu lagi dengan buku, atau karena semakin tua saya semakin banyak menghabiskan waktu untuk hiburan-hiburan ringan seperti menonton video pendek atau bermain Football Manager.


Demi mempertahankan kewarasan dan setidaknya kemampuan menulis yang tak seberapa (dan semakin menurun) ini, saya sepertinya harus menulis satu dua hal meskipun bukan sesuatu yang penting. Saya ingat memulai blog ini pasca-berhenti ngeblog di MyWapBlog era 2015 atau 2016an. Sejak saat itu, ada beberapa tulisan yang sok tahu, konyol, bahkan terlalu ‘radikal’ dan terdengar tolol untuk ditulis remaja belasan tahun. Sayangnya, beberapa tahun terakhir saya kehilangan hasrat untuk menulis sesuatu yang bermutu.


*


Selama beberapa waktu terakhir, saya dan Vita membicarakan hal-hal konyol. Misalnya apa fungsi sebagian organ tubuh yang jarang dipakai manusia, bagaimana evolusi manusia dari ikan-ikanan berubah bentuk menjadi homo sapiens, sampai cerita nabi-nabi palsu yang kian marak terjadi. Favorit saya adalah fakta bahwa ada beberapa ‘Nabi’ yang turun dengan ‘kekonyolan’. 


Misalnya, tahun 2022 ada seorang tukang cilok yang tiba-tiba mengaku dirinya adalah nabi. Hendra Sugianto, sang pedagang cilok mungkin mendapatkan ‘wahyu’ saat mengaduk adonan—entahlah, tapi itu tetap jadi cerita paling lucu soal kenabian. Kemudian yang jadi juara dua adalah Nabi Nanang. Jadi ada seorang bapak-bapak di Probolinggo dengan santainya membuat ‘wahyu’ dan bersabda melalui Facebook bahwa ia adalah Nabi Nanang dan Tuhan memilihnya untuk membantu manusia di akhir zaman.


Cerita-cerita semacam ini, yang menjadi guyonan untuk saya dan Vita rasanya tidak pernah habis. Hari ke hari, selalu ada tingkah manusia yang melewati ambang nalar—sebagian diantaranya berpotensi kriminal, sebagian lainnya hanya bisa dijadikan bahan gunjingan. Misalnya soal oknum dan betapa politik semakin lama semakin mirip dengan pentas komedi.


Di satu titik, saya dan Vita berdiskusi soal hubungan dan keseriusan. Karena sepanjang hidup, saya kesulitan dalam mendefinisikan bagaimana bentuk ‘hubungan yang serius’ itu—apakah sebuah hubungan yang serius harus selalu diisi dengan ‘hal-hal serius’, apakah hubungan yang serius harus selalu diisi dengan barang-barang romantis dan puisi-puisi cinta?


Rasanya, saya mendekati kesimpulan bahwa hubungan yang serius adalah yang bisa dinikmati. Adapun perkara ‘menikmati hubungan’ ini bersifat subjektif dan kompleks untuk dijadikan satu pakem universal. Saya kira, hubungan yang baik itu tidak punya kriteria absolut. Satu hubungan bisa jadi sangat baik untuk satu pasangan tapi belum tentu cocok untuk pasangan yang lain.


Hubungan yang dipenuhi gelak tawa seperti saya dan Vita misalnya, mungkin akan terlihat konyol dan nampak seperti dua orang bodoh yang terlalu banyak punya waktu luang. Tapi meskipun begitu, kami menikmatinya sebagai bentuk cinta kasih—saya tidak yakin apakah Vita menikmatinya, tapi saya suka mendengar dia tertawa-tawa di tengah malam. Meskipun terdengar konyol, rasanya bentuk kasih sayang ‘monoton’ dan ‘dramatis’ seperti orang-orang tidak bisa diaplikasikan dalam hubungan kami. Alasannya sederhana, kehidupan ini sudah terlalu serius, terlalu kejam dalam menghujamkan taringnya, dan hubungan yang kami bangun adalah rumah tempat kami berteduh. Sebuah tempat untuk kami bersama-sama berlindung, saling melindungi, dan sejenak mengambil jarak dari kehidupan yang kian kencang berlari. Bahkan terlampau kencang untuk diimbangi.


*


Belajar dari pengalaman hidup dan serangkaian kisah absurd yang terjadi, saya mulai memahami bahwa ada tanda-tanda ketidakcocokan yang bisa dianalisis sejak awal. Sayangnya, saya terlambat menyadari hal-hal itu di sebagian besar hubungan saya. Apa yang seharusnya tidak ditempuh, dipaksakan dengan alasan ‘badai kuterjang, lautan kusebrangi’—padahal di akhir, itu hanyalah bualan bodoh yang tidak mengubah apa-apa. Bersama Vita, saya menyadari bahwa tidak ada satu pun tanda-tanda nestapa itu hadir. Saya tidak melihat adanya kesulitan yang berarti yang menghadang di depan mata.


Sebagian besar orang mengatakan bahwa keluarga adalah salah satu faktor terbesar dalam sebuah hubungan dewasa—tapi saya akan menolak pernyataan ini. Awalnya saya berpikir demikian, bahwa keluarga pasangan akan ‘kejam’ dan tak berperikemanusiaan. Tapi dari sekian banyak hubungan yang saya jalani, hal ini tak ubahnya cuma mitos. Mayoritas orangtua dan keluarga selalu mendukung anak mereka, dan ini tidak bisa diganggu gugat. Segalak apapun bapaknya, serewel apapun ibunya, kebahagiaan anak mereka yang utama. 


Apa yang terjadi dalam kasus sebagian besar orang adalah ‘usaha’ dari si anak atau pasangan ini dalam sebuah hubungan, terutama ketika kasusnya sudah naik ke tingkat yang ‘agak serius’. Orangtua pasangan kadang melihat keraguan dalam mata anak mereka, sehingga mereka cenderung bersikap terlalu defensif atas pendiriannya. Hal ini disalah artikan sebagai ‘tidak diterima keluarga’—padahal yang terjadi adalah pasanganmu tidak mencintaimu sedalam itu, sehingga mereka menyisakan ruang-ruang hampa berisi keraguan. Keraguan dan ketidakpastian inilah yang kemudian dianggap sebagai ‘lampu kuning’ alias tanda bahaya di mata orang tua. Keluarga merasa si anak tidak cukup aman, hubungan si anak tidak memiliki pondasi yang cukup kuat untuk dilepaskan begitu saja.


Maka dari itu, saya kira pondasi hubungan yang kuat jauh lebih penting dari fafifu soal mertua galak. Di dunia ini tidak ada mertua yang galak tanpa sebab (kecuali untuk beberapa orang yang mungkin kepribadiannya agak lain), semua mertua menyayangi anak mereka sepenuh hati, dan ketika waktunya tiba, kita juga anak mereka. Begitu pun sebaliknya, mertua kita adalah orangtua kita sendiri. Mereka memiliki jatah yang sama untuk diberikan kasih sayang, mereka adalah orangtua kita sendiri, mereka adalah orang-orang luar biasa yang menghadirkan pasangan kita di bumi ini.


Kadang, orangtua pasangan mungkin terlihat canggung atau segan—dan disalahartikan sebagai galak atau ‘jutek’ hanya gara-gara hal itu—tapi sejujurnya itu karena mereka tidak mengenal diri kita seutuhnya. Satu-satunya informasi yang didapatkan oleh orangtua pasangan soal kiya adalah dari pasangan kita sendiri. Bagaimana kita berperilaku, bagaimana kita bersikap, berpikir, baik-buruknya. Oleh sebab itu, rasanya terlalu aneh untuk menghakimi ‘mertua galak’ hanya karena ketidaktahuan mereka. Lagipula, hubungan itu dijalani berdua. Sisanya hanyalah penonton, yang dengan setia membimbing dan menyaksikan ceritanya bergulir.


*


Soal cinta dan pondasi, ini bagian menarik yang semakin lama kita hidup di dunia, rasanya semakin sederhana. Ketika sebagian orang berpikir semakin tua usia kita maka semakin kompleks dalam urusan hubungan, saya punya pendapat sebaliknya. Saya kira, justru dengan bertambahnya usia, semakin mengerucut pula hal-hal fundamental dalam hubungan. Apa yang tadinya dikira ‘esensial’, ternyata hanyalah perkara minor. Begitu pula sebaliknya, apa yang tadinya diremehkan, ternyata memegang peranan penting dalam hubungan.


Akhir-akhir ini sering muncul berbagai ‘tips asmara’ di media sosial. Kontennya macam-macam, mulai dari menganalisis pasangan, red flag dan green flag (yang mana ini adalah hal paling kekanak-kanakan, paling konyol, dan tidak berguna), alpha male dan female (atau superioritas semu untuk orang-orang yang tidak laku), sampai kriteria perempuan atau pria idaman. Saya tidak masalah sebetulnya dengan ‘ideal’ semacam itu, karena toh semua orang bebas berpendapat. Tapi yang menganggu, hal-hal ini kadang seolah dijadikan ‘pakem absolut’ yang dipaksakan untuk diterapkan pada hubungan yang jelas-jelas dinamis.


Sebagian konten ini kadang-kadang memakai embel-embel psikologi—yang mana jelas pseudo-psikologi alias psikologi semu dan cuma fafifuwasweswos. Misalnya, ada seseorang bilang bahwa jika ada pria yang datang untuk kencan pertama menggunakan celana pendek artinya red flag alias harus dihindari. Ada pula yang bilang kalau perempuan yang tidak suka pakai sepatu dan lebih suka sandal juga red flag. Ini adalah opini-opini konyol yang rasanya hanya berlaku untuk anak-anak SMP yang baru kenal cinta-cintaan.


Saya tidak masalah jika pasangan saya menggunakan sandal karakter, kemana-mana pakai sandal hotel, pakai baju bergambar Alucard, atau hanya pakai sunscreen untuk perawatan wajah. Saya tidak merasa hal-hal bodoh semacam itu sebagai ‘berbahaya’ dan harus dihindari. Hal-hal semacam inilah yang harusnya tidak dijadikan patokan. Pertama karena konyol, dan kedua karena terlalu bodoh untuk dijadikan undang-undang yang diamini bersama.


Perkara-perkara konyol semacam ini seolah hal esensial dalam hubungan bagi beberapa orang—meskipun kebanyakan anak-anak remaja—dan rasanya, tidak bisa diaplikasikan untuk hubungan yang lebih dewasa. Kembali ke urusan pondasi, saya menyadari bahwa sepertinya struktur sebuah hubungan tidak akan kuat tanpa beberapa hal penting yang menjadi dasarnya.


Pertama, kesetaraan pemikiran. Ini terdengar klise tapi ada benarnya. Bayangkan memiliki hubungan dengan seseorang yang tidak bisa diajak membicarakan banyak hal, seperti berusaha mengajak ngobrol tumbuhan. Pemikiran dalam konteks ini bisa diartikan secara luas, maupun lebih spesifik. Misalnya, kedua belak pihak sama-sama memiliki wawasan di level setara untuk berbincang-bincang menghabiskan waktu. Keduanya memiliki selera humor yang sama, atau keduanya sama-sama menyukai bidang tertentu. 


Bayangkanlah menghabiskan sisa umur bersama seseorang yang tidak bisa ‘mengimbangi’ pembicaraan, tidak punya ketertarikan yang sama, atau tidak punya selera humor yang mirip. Betapa tersiksanya hidup dengan skenario semacam itu. Betapa membosankannya, dan betapa menyedihkannya pernikahan yang monoton.


Kedua, keberlanjutan lebih penting dari romantisme semu cinta-cintaan. Saya punya beberapa kawan yang hidupnya tidak pernah sepi. Dalam dua tahun, ia bisa berganti dua atau tiga perempuan, dan semuanya selalu dimulai dan diakhiri dengan cara yang mirip-mirip. Kawan saya ini melakukan ‘love bombing’ alias menghujani pasangannya dengan berbagai macam hadiah, ribuan bait puisi, sampai ribuan kilometer menemaninya berjalan-jalan kesana-kemari. Tapi begitu menginjak usia hubungan ke-tiga bulan, ia mulai lelah. Ia merasa si pasangan tidak memberikan usaha yang sama dan mulai kehilangan ketertarikan.


Hubungan intensitas tinggi semacam ini tidak akan berhasil kecuali keduanya sama-sama hiperaktif, sama-sama tidak kenal rasa lelah, dan sama-sama meledak-ledak. Karena begitu ‘masa romantis’ ini berakhir, semuanya akan menurun dengan drastis. Keberlanjutan dalam hubungan jauh lebih penting dari sekadar impulsif melakukan tindakan-tindakan bodoh. Karena pada akhirnya, hubungannya tidak akan berjalan. Energinya habis di awal, begitu kata orang-orang.


Urusan keberlanjutan ini juga punya ikatan kuat dengan poin selanjutnya : keterbukaan. Sebuah kata klise yang tak pernah absen dalam perkara cinta-cintaan. Ini adalah poin yang paling fundamental. Keterbukaan akan masa lalu, misalnya, atau keterbukaan atas situasi keluarga, situasi keuangan, situasi emosional. Secara kasarnya, lebih baik saya menelan pil pahit kebenaran dibanding terbuai dalam manisnya kebohongan. Keterbukaan inilah yang akan menentukan keberlanjutan alias sustainibility sebuah hubungan. Karena tanpa kejujuran dan keterbukaan, rasanya mustahil sebuah hubungan bisa melangkah maju, bahkan sejengkal pun.


Terakhir, kebahagiaan. Ini hal absolut yang tidak boleh dilupakan. Kita memulai hubungan bukan untuk bersedih, bukan untuk menenggelamkan diri kita sendiri ke dalam nestapa, melainkan untuk bersenang-senang. Sebuah hubungan yang tidak didasari dengan kebahagiaan terdengar seperti hal konyol dari luar planet bumi. 


Saya menyukai Vita bukan karena ia bisa menghitung karbon dalam tumbuh-tumbuhan, bukan karena ia punya pengetahuan luas soal cara kerja organisasi dan politik, bukan pula karena ia mirip Dorami. Saya suka Vita karena ia memberikan kebahagiaan, memberikan warna-warna yang sulit untuk saya temukan dari kehidupan saya yang monoton. Kadang hubungan hanya perlu didasari oleh satu kalimat sederhana, dan ini jauh dari fafifuwasweswos para motivator asmara itu : saya suka dia karena ia memberikan kebahagiaan untuk saya. 


*


Lampu sudah kembali menyala dan sinyal kembali muncul. Dibandingkan menulis ini dan ngelantur kesana-kemari, saya akan mengakhiri tulisan ini di sini. Terima kasih untuk Vita yang selama ini selalu membuat saya tersenyum bahagia, membuat saya jatuh cinta setiap hari, dan meskipun kadang menyebalkan, saya harus jujur bahwa seumur hidup, baru kali ini saya merasa benar-benar dicintai. Entah do’a siapa yang dikabulkan sehingga ia bisa hadir di hidup saya, dengan segala keindahannya, dengan segenap rasa cintanya. Tuhan selalu bersama niat-niat baik, dan tiada sedikitpun usaha kami untuk bersama ternodai oleh niat-niat buruk. Di titik ini, hubungan ini hanyalah awal. Ini adalah bibit bunga yang baru saja naik ke permukaan, menunggu waktu untuk perlahan-lahan tumbuh dan mekar sempurna, dengan segala keistimewaannya, dengan segala keindahannya. 


Saya mungkin masih harus menata ulang bagaimana cara saya bersikap, masih harus memahami lebih jauh bagaimana Vita berpikir, berperilaku, atau berbicara. Saya merasa kasih sayang yang diberikan bertubi-tubi ini masih sulit untuk diimbangi, masih terlampau istimewa untuk saya yang kadang kesulitan memperlakukan Vita dengan baik. Tapi seiring berjalannya waktu, saya yakin bahwa kami pada akhirnya akan menemukan titik itu. Titik di mana bibit bunga yang kami tanam mekar dengan sempurna, dengan akar yang jauh lebih kuat, dengan putik bunga yang jauh menengadah ke langit—jauh menuju tempat yang hanya jadi bayang-bayang kami saat ini.


Saya akan mengakhiri ini dengan puisi karya Pablo Neruda, Sonet XVII :


No te amo como si fueras rosa de sal, topacio

o flecha de claveles que propagan el fuego:

te amo como se aman ciertas cosas oscuras,

secretamente, entre la sombra y el alma.


Te amo como la planta que no florece y lleva

dentro de sí, escondida, la luz de aquellas flores,

y gracias a tu amor vive oscuro en mi cuerpo

el apretado aroma que ascendió de la tierra.


Te amo sin saber cómo, ni cuándo, ni de dónde,

te amo directamente sin problemas ni orgullo:

así te amo porque no sé amar de otra manera,


sino así de este modo en que no soy ni eres,

tan cerca que tu mano sobre mi pecho es mía,

tan cerca que se cierran tus ojos con mi sueño.


 //


I don’t love you as if you were a rose of salt, topaz,

or arrow of carnations that propagate fire:

I love you as one loves certain obscure things,

secretly, between the shadow and the soul.


I love you as the plant that doesn’t bloom but carries

the light of those flowers, hidden, within itself,

and thanks to your love the tight aroma that arose

from the earth lives dimly in my body.


I love you without knowing how, or when, or from where,

I love you directly without problems or pride:

I love you like this because I don’t know any other way to love,

except in this form in which I am not nor are you,

so close that your hand upon my chest is mine,

so close that your eyes close with my dreams.


 //


Aku mencintaimu tidak seperti mawar, ratna cempaka,

atau panah anyelir yang menyebarkan nyala:

Aku mencintaimu layaknya hal kelam dicintai,

tersembunyi di sela bayangan dan hati.


Aku mencintaimu layaknya tanam tak mekar, yang membawa

dalam dirinya, cahaya terselubung bunga-bunga,

berkat cintamu, tumbuh kelam dalam raga ini

wangi pekat yang terangkat dari dalam bumi.


Aku mencintaimu, tanpa tahu bagaimana, kapan, atau dari mana

aku mencintaimu begitu saja, tanpa masalah, tanpa pongah

maka aku mencintaimu karena aku tak mengetahui caranya

selain ini, dalam ketiadaan diriku maupun dirimu,

sedekat ini, hingga tanganmu pada dadaku milikku

sedekat ini, hingga matamu terpejam seiring lelapku *





Ciamis, 

Jum’at, 10 Januari 2025.

Hujan—seperti biasa.



Note :

* Sonet XVII bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Amanda K


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis dan Pembahasan Puisi Sajak Matahari karya W.S Rendra

Jagat Alit - Godi Suwarna

Seseorang yang Mati Tadi Pagi - Agus Noor