Basa-Basi #55 : Baik
Saya percaya bahwa
manusia harus berbuat baik di dunia—apapun alasannya, entah itu karena memang
ingin berbuat baik dari lubuk hatinya atau dengan iming-iming pahala, surga,
dan semacamnya. Hanya saja, dalam beberapa kesempatan saya menyadari bahwa
hal-hal sederhana semacam ini terlalu ‘di-bakukan’ dan diatur dalam aturan-aturan
formal yang sifatnya semi-mengikat.
Etika deontologis
(Deontological
Ethics) yang digagas oleh Immanuel Kant agaknya lumayan
bagus untuk mendeskripsikan keresahan saya saat ini. Kant, sang filsuf asal
Jerman itu mengatakan kurang-lebihnya bahwa penting untuk melakukan kebajikan bukan
karena ‘aturan’ atau ‘apa kata masyarakat’. Hal ini tidak akan menjerumuskan
manusia masuk ke dalam jurang. Melainkan sebaliknya—manusia akan rasional dalam
melakukan segala sesuatu. Tidak tergantung pada pandangan masyarakat, tidak
dibayang-bayangi oleh aturan semu yang ‘menekan’ manusia untuk berbuat baik.
Menurut Kant, sebuah ‘tindakan baik’ yang ‘murni’
berasal dari itikad baik (good will)—dan kemudian dikenal sebagai
imperatif kategoris (categorical imperative). Menurut Kant, imperatif
kategoris adalah prinsip moral yang harus diikuti tanpa terkecuali. Contohnya,
jika seseorang ingin membantu orang lain, imperatif kategoris akan mengatakan
bahwa 'membantu orang lain adalah kewajiban moral yang harus dilakukan tanpa
mempertimbangkan hasilnya'. Hal ini berbeda dari imperatif hipotetis yang
mengatakan 'membantu orang lain jika ingin mendapatkan pahala atau pengakuan'.
Fafifuwasweswos
ini kemudian membuat saya bermuara di satu tempat : apakah memang ada standar
untuk ‘kebaikan’?
—
Saya rasa, ‘baik’ ini cenderung lebih universal
dibandingkan ‘benar’—yang tetap saya yakini sampai sekarang bahwa tidak ada
kebenaran absolut. Menolong orang lain, membuang sampah pada tempatnya, dan
hal-hal semacam ini kiranya bisa dianggap sebagai ‘kebaikan universal’ yang
diamini hampir semua orang. Beda dengan ‘kebenaran’ yang nilainya berubah-ubah
tergantung kelompok, daerah, atau bahkan individu.
Ketika SMA, sebagian besar waktu saya adalah berpikir
apakah sebuah hal ‘benar karena benar’ atau ‘benar karena faktor x’. Di usia
saat ini, saya memikirkan hal lain : kebaikan itu rasanya universal, tapi
apakah ada ‘kebaikan yang sebenarnya bersifat subjektif’?
Pemikiran saya pada akhirnya mentok dengan gagasan
Kant, bahwa kebaikan yang ‘tulus’ itu tanpa pamrih. Mirip seperti ikhlas dalam
agama—meskipun Kant mungkin akan bilang bahwa ‘ikhlas’ itu tetap punya ‘motivasi
religius’ karena kita tetap berharap akan izin Tuhan atau pahala menanti di depan
mata. Untuk sebagian orang, memahami konsep ‘ikhlas’ saja kiranya sudah cukup.
Pikiran saya melayang lagi pada satu hal yang lain. Jika
seseorang katakanlah memiliki kekayaan luar biasa—lebih dari cukup untuk
membeli Harley Davidson, misalnya—kemudian ia diajak (atau disuruh) untuk
berderma, memberikan sebagian hartanya, kemudian ia menolak. Bisa jadi ia salah
secara sosial atau agama, tapi apakah ia jadi orang yang ‘tidak baik’?
Pertama, orang kaya ini mungkin punya prioritas lain.
Memberangkatkan haji orang tuanya misalnya, atau membangun panti asuhan untuk
anak-anak terlantar. Jadi kita tidak bisa melihat nilai kebaikan ini dan
mengukurnya berdasarkan apa yang tampak dari luar. Karena toh, ia
mungkin mengemban ‘misi’ yang ‘sama baiknya’.
Kedua, kalaupun ia ingin menggunakan hartanya untuk membeli
seratus botol Smirnoff dan menenggaknya di kamar hotel bersama lima belas
pekerja seks—apakah lantas kita bisa memberinya cap ‘buruk’ hanya gara-gara ia
tidak mau berderma? Atau lebih personal lagi, apakah ia jadi orang yang buruk
karena lebih memilih menyenangkan perut dan bawah perut dibandingkan membantu
orang-orang yang kesusahan?
Manusia memang kompleks. Apalagi jika pertanyaannya
dialihkan melalui jalur yang lain : apakah kita jadi ‘orang baik’ saat kita
menelisik dan menghakimi ‘baik dan buruk seseorang’? apakah penting untuk
menelisik nilai baik-buruk seseorang yang menghabiskan waktu untuk melakukan
pesta seks sambil menenggak miras? Apakah jika kita menelisik baik dan buruknya
seseorang itu justru membuat tindakan kita lebih baik? Atau buruk?
Moralitas. Kebajikan. Dan hal-hal yang masih belum
bisa saya temukan ujungnya.
—
Mudah untuk menjawab pertanyaan semacam itu dari sudut
pandang hukum, agama, atau sosial. Tapi saya rasa, justru kompleks ketika
berusaha dijawab secara utuh. Ia buruk karena melanggar undang-undang, ia buruk
karena melanggar aturan agama, atau ia buruk menurut pandangan masyarakat. Tapi
apakah ia ‘benar-benar buruk’?
Kata orang, sebuah perkara bisa dengan mudah dikuliti
dengan ‘pisau bedah’ yang cocok. Sayangnya, saya belum memiliki pegangan yang
cukup kuat untuk bisa menyelesaikan perkara ini.
Sisi baiknya, saya tidak menghakimi siapapun. Entah
dia menenggak miras dicampur dengan obat-obatan, entah dia melakukan pesta seks
di kubangan lumpur, entah ia lari telanjang bulat sambil orasi penuh semangat.
Saya tidak peduli, karena saya tidak memahami bagaimana kondisi psikologisnya,
saya tidak memahami apa ‘moralitas’ yang mengatur dirinya di dalam kepalanya. Bisa
jadi ia tidak perlu penghakiman, melainkan perlu bantuan. Bukan sekali dua kali
seseorang gantung diri atau loncat dari jembatan diawali oleh hal semacam ini.
Jelas bukan perkara mudah memahaminya. Meskipun tentu saja, sebagian orang
menggunakan pisau bedah ‘moral’, ‘agama’, atau ‘pidana’ dan tidak ada yang
salah dengan itu. Malah lebih baik, karena bisa ditolong dengan pendekatan yang
lebih manusiawi—atau bahkan lebih efisien. Saya sama sekali tidak bersebrangan
dengan pandangan apapun.
Sisi buruknya, tentu saja saya jadi permisif. Mungkin
permisif adalah harga yang harus dibayar untuk tidak menghakimi orang lain.
Tapi malah timbul pertanyaan lain : bukankah ini justru membuat saya tidak
punya aturan moral dan etika?
—
Contoh di atas hanyalah contoh. Saya belum pernah
seumur hidup melihat atau mendengar seseorang yang saya kenal bercinta dengan
15 pekerja seks sekaligus, atau menenggak seratus botol Smirnoff dalam satu
malam. Kalaupun ada, saya akan lapor RT—tentu saja, karena agaknya meresahkan
kalau ada manusia dengan kemampuan super semacam itu.
Hingga saat ini, saya kadang masih bengong ketika berada
dalam peristiwa yang mengharuskan saya untuk memberikan cap pada orang lain—atau
bahkan saya sendiri yang bertindak. Kadang saya mempertanyakan : apakah yang
saya lakukan benar-benar kebaikan ketika saya menginginkan sesuatu sebagai imbalannya?
Apakah yang saya lakukan adalah kebaikan hanya karena masyarakat menganggap itu
baik?
Hanya waktu yang bisa menjawab—dan tentu saja, pengalaman
hidup yang akan menerjang. Mungkin suatu saat saya akan kembali membaca tulisan
ini sambil bergumam “Goblok sekali.” Sama seperti hari ini saya membaca
tulisan-tulisan saya di 2017 dan 2016. Tapi begitulah hidup, prinsip itu tidak
bisa diwariskan. Prinsip tidak bisa diajarkan. Prinsip hanya akan tumbuh ketika
sudah dialami.
Saya akan menutup ini dengan kalimat yang konon diucapkan
Mama Mei Kartawinata, pendiri ‘Aliran Kebatinan Perjalanan’ sekaligus salah
satu tokoh penting dari Jawa Barat—baik itu dalam gerakan perumusan kebangsaan dan
kemerdekaan maupun spiritual.
Sagala anu dicaritakeun éta disebut dangiang, tapi sagala anu dilakonan jeung ngajadikeun pangarti keur urang disebut élmu, nu matak élmu ulah ceuk batur komo ceuk cenah—kudu ceuk AING da geus ka alaman. (Mei Kartawinata)
Ciamis,
29/04/2025.
Komentar
Posting Komentar